5 Prioritas Kebijakan Pendidikan untuk Memajukan Pembelajaran di Indonesia

7 Desember 2021

.

Artikel ini dimuat ulang dari Program RISE di Indonesia

.

Pemerintah Indonesia telah berhasil memperluas akses pendidikan bagi masyarakat. Dengan hampir semua anak di Indonesia kini dapat bersekolah, bagaimana memastikan mereka mendapat pembelajaran berkualitas dan menguasai keterampilan sesuai jenjang pendidikan yang mereka tempuh? Berikut lima langkah prioritas yang dirangkum dari temuan studi-studi RISE di Indonesia maupun di negara-negara lain.
 

1. Berkomitmen terhadap penguasaan kemampuan dasar literasi dan numerasi 

Pada blog sebelumnya (baca: Lawan Krisis Pembelajaran, Tingkatkan Kemampuan Dasar Siswa), kami telah menulis tentang pentingnya fokus kepada peningkatan kemampuan dasar siswa: literasi dan numerasi. Dalam Policy Paper “Focus to Flourish: Five Actions to Accelerate Progress in Learning” (unduh di sini) yang diterbitkan oleh RISE Programme, ditekankan bahwa komitmen terhadap pembelajaran dasar harus menjadi prioritas politik yang mendesak agar perubahan segera terjadi dan dapat diterjemahkan ke dalam perencanaan anggaran dan program. 

 

2. Mengukur pembelajaran secara berkala, akurat, dan relevan 

Mengukur pembelajaran perlu dilakukan bukan untuk menentukan lulus atau tidaknya siswa, bagus atau tidaknya kualitas sekolah, melainkan untuk mengetahui apakah siswa sudah menguasai kemampuan sesuai dengan jenjang pendidikan yang mereka tempuh.  

Di tingkat kelas, asesmen diperlukan untuk melihat kemajuan pembelajaran tiap siswa. Hal ini penting dilakukan karena berdasarkan analisis tim peneliti RISE dalam Profil Pembelajaran, jika anak-anak Indonesia tidak menguasai kemampuan dasar numerasi pada kelas 6, maka kemungkinan besar mereka tidak akan pernah menguasainya meski terus naik kelas. Padahal, tujuan asesmen yang baik adalah untuk memberi informasi sedini mungkin kualitas pembelajaran yang sedang berlangsung.

 

Tes yang digunakan dalam asesmen harus dapat membandingkan kemajuan belajar siswa secara berkala alih-alih yang bersifat penilaian di akhir pembelajaran. Oleh karena itu, mindset dari guru, sekolah, serta Pemerintah juga perlu diubah dari yang sebelumnya “Assessment of Learning” menjadi “Assessment for Learning”. Di tingkat sekolah dan daerah, asesmen penting untuk menilai kinerja sistem pendidikan secara lebih luas. Dengan begitu, pembuat kebijakan dapat menentukan intervensi yang tepat untuk membantu para siswa agar dapat belajar sesuai dengan tujuan pendidikan. 

 

3. Menyelaraskan sistem dengan komitmen pembelajaran 

Tujuan sistem pendidikan hanya bisa tercapai bila berbagai elemen di dalamnya berjalan dengan selaras dan mengarah kepada tujuan atau komitmen yang sama. Keselarasan berbagai elemen dalam sistem pendidikan perlu terwujud di semua lapisan, mulai dari kebijakan di tingkat pusat, daerah, hingga kelas. Misalnya, ketika Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan akses pendidikan pada tahun 1970-an, pemerintah membangun lebih dari 60.000 sekolah dasar melalui program Sekolah Dasar INPRES. Dua dekade kemudian, hampir seluruh anak Indonesia mampu mengenyam pendidikan dasar. 

Risa Wardatun Nihayah, pada presentasinya terkait sistem pendidikan dalam acara "Temu Media: Rekomendasi RISE untuk Atasi Krisis Pembelajaran" (tonton rekaman acaranya di sini), menyebutkan bahwa keselarasan dalam sistem pendidikan akan meningkatkan akuntabilitas. Misalnya, dalam usaha perekrutan guru di Indonesia yang tumpang-tindih. Jika proses tersebut selaras, maka semua elemen ini akan turut andil dalam memajukan kualitas guru di Indonesia mulai dari sistem perekrutannya. Namun, sejauh ini kita tidak melihat ada peran dari politisi untuk mendorong peningkatan kualitas dalam perekrutan guru, begitu juga dengan elemen-elemen lain dalam sistem pendidikan ini. 

Sumber: Kerangka kerja RISE.

 

Saat ini, Indonesia menghadapi tantangan berupa rendahnya kualitas pendidikan yang tercermin dari rendahnya penguasaan kemampuan dasar literasi dan numerasi. Oleh karena itu, berbagai elemen dalam sistem pendidikan perlu serempak memfokuskan perhatian pada tujuan atau komitmen untuk mengatasi masalah tersebut.  

Pada program pendidikan guru, misalnya, perlu diciptakan kurikulum yang membekali calon guru dengan pengetahuan mengenai cara mengajar literasi dan numerasi. Lalu pada perekrutan guru, perlu disepakati bahwa tujuannya adalah merekrut guru-guru yang berkualitas atau memiliki kompetensi mengajar yang baik. Studi RISE tentang perekrutan guru menemukan perekrutan guru selama ini belum berorientasi pada penyaringan guru yang berkualitas. Hal ini terjadi karena ada ketakselarasan komitmen di antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses perekrutan. Pembagian kewenangan pada lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses perekrutan guru—Kementerian PANRB, Kemendikbud, Kementerian Keuangan, dan pemerintah daerah—masih tumpang-tindih. Setiap lembaga seolah memiliki tujuan masing-masing sehingga hasil perekrutan tidak optimal. Kenyataan ini turut berkontribusi pada rendahnya kinerja guru di Indonesia.

 

Sumber: Infografik "Perekrutan Guru di Indonesia: Disfungsi Kelembagaan dan Dinamika Sosial" (2020).

 

Contoh terwujudnya keselarasan pada sistem pendidikan di tingkat lokal ditemukan oleh studi RISE yang mengkaji inovasi pendidikan di tingkat daerah. Di Kota Yogyakarta, kepala daerahnya memiliki komitmen kuat terhadap kualitas pendidikan. Kepala daerah maupun birokratnya kerap mendengarkan masukan dari berbagai pihak agar dapat memberikan pelayanan terbaik yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Selain itu, terdapat inovasi pendidikan di Yogyakarta yang diinisiasi oleh masyarakat dan kemudian disahkan menjadi kebijakan lokal. Rasa percaya warga yang kuat terhadap pimpinan daerah dan jajarannya mendorong mereka untuk seia sekata menjalankan kebijakan-kebijakan yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil temuan ini telah dipresentasikan kepada para pemangku kepentingan pendidikan di Kota Yogyakarta serta kabupaten/kota sekitar dalam Workshop Diseminasi Hasil Studi RISE “Belajar dari Inovasi Kebijakan Pendidikan di Kota Yogyakarta" (simak presentasinya di sini). 

 

4. Mendukung guru dalam proses belajar mengajar 

Guru perlu mendapat bekal dan dukungan yang memadai untuk dapat mengajar secara efektif. Dukungan tersebut diberikan sejak calon guru mengenyam pendidikan di program pendidikan keguruan maupun pendidikan profesi guru (prajabatan) hingga selama guru menjalani profesinya (dalam jabatan). Guru yang berkualitas adalah guru yang mampu mempraktikkan pengajaran yang efektif. Oleh karena itu, untuk menciptakan dan mempertahankan guru yang berkualitas, dukungan ini harus berjalan secara berkesinambungan agar mereka dapat mengajar dengan efektif secara terus-menerus. 

Namun, studi RISE yang mengevaluasi pendidikan guru menemukan bahwa lulusan program Pendidikan Profesi Guru/PPG prajabatan merasa ilmu yang mereka peroleh dari program tersebut terlalu teoretis dan tidak membantu mereka dalam menghadapi tantangan mengajar di dalam kelas. Program pendidikan guru juga belum memberi pembekalan yang memadai bagi calon guru untuk dapat mengajar literasi dan numerasi. Padahal, rendahnya penguasaan kemampuan literasi dan numerasi dasar pada siswa Indonesia menjadi akar masalah dari rendahnya hasil pembelajaran siswa Indonesia selama bertahun-tahun.

 

Sumber: Infografik "Perkembangan Hasil Studi Evaluasi Program PPG Prajabatan-Studi Tahun Pertama" (2018).

 

Oleh karena itu, program pendidikan guru perlu lebih fokus membekali calon guru dengan pengetahuan mengenai cara mengajar yang efektif, khususnya dalam mengajar literasi dan numerasi. Jadi, guru bukan sekadar menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa. Dukungan yang diberikan kepada guru dapat disesuaikan dengan level kompetensinya. Dukungan untuk guru baru, misalnya, tentu berbeda dengan dukungan yang diperlukan guru yang sudah mengajar selama bertahun-tahun. Guru baru memerlukan induksi atau pendampingan yang memadai dalam masa transisi dari calon guru menjadi guru yang mengajar di dalam kelas. Sementara, guru yang sudah mengajar selama bertahun-tahun, yang memiliki tingkat kompetensi yang lebih tinggi, perlu mengembangkan keterampilan mengajarnya sesuai dengan perubahan zaman ataupun masalah yang dihadapi di kelasnya. 

Hingga saat ini, guru-guru sering menjadi pihak yang disalahkan dalam rendahnya hasil pembelajaran siswa, padahal sistem pendidikan kita belum sepenuhnya mendukung mereka untuk dapat mengajar dengan baik dan efektif, malah dibuat bingung dengan segala komponen yang tidak selaras. Misalnya saja kurikulum dan buku paket, kedua “kitab suci” yang digunakan guru untuk mengajar ini belum mendukung pengajaran literasi dan numerasi.  

 

Di buku paket kelas 1 sekolah dasar, halaman pertamanya sudah langsung menyajikan teks (siswa diharapkan sudah bisa membaca) padahal baru pada halaman 12 terdapat pengenalan huruf. Sumber: Workshop RISE "Lawan Krisis Pembelajaran, Tingkatkan Kemampuan Dasar Siswa" (2022).

  

Oleh karena itu, berdasarkan Policy Paper “Focus to Flourish: Five Actions to Accelerate Progress in Learning” (unduh di sini), ada dua hal yang perlu mendapat perhatian para pembuat kebijakan untuk menciptakan ekosistem yang mendukung guru untuk mengajar dengan baik:

  1. Memfokuskan kembali pengembangan profesional pada keterampilan mengajar, serta
  2. Reformasi karier guru untuk menarik, mempertahankan, dan memotivasi guru agar dapat mengajar secara berkualitas (tonton video RISE tentang “Perjalanan Karier Guru dalam Sistem Pendidikan Indonesia”).

 

5. Mengadaptasi pendekatan dalam mengambil kebijakan pendidikan 

Desentralisasi pendidikan menimbulkan konsekuensi berupa masalah pendidikan yang bervariasi antarkabupaten/kota. Mengingat Indonesia adalah negara luas dengan 514 kabupaten/kota, maka pemecahan masalah pendidikan tidak bisa menggunakan pendekatan one size fits all, melainkan harus disesuaikan dengan persoalan yang dihadapi tiap daerah.

Studi RISE terkait inovasi kebijakan pendidikan di daerah meneliti beberapa kabupaten/kota untuk melihat adaptasi kebijakan untuk mengatasi krisis pembelajaran dan disesuaikan dengan keadaan sosial budayanya. Di Kota Bukittinggi, misalnya, ada beberapa kebijakan pendidikan dibuat karena peran aktif kepala sekolah dan partisipasi keluarga, yaitu program supervisi silang dan sekolah keluarga. Meskipun tidak ada insentif, tetapi program-program ini dapat berjalan secara berkelanjutan di Bukittinggi karena jaringan kekerabatan yang sangat kuat. Sementara itu di Yogyakarta, pembelajaran didukung oleh partisipasi aktif dari orang tua dan masyarakat, yang biasa dikenal dengan Paguyuban Orang Tua dan Jam Belajar Masyarakat (JBM). Kedua program ini didorong oleh tradisi kolaborasi di Yogyakarta: handarbeni dan guyub rukun.

Namun, ternyata berdasarkan temuan RISE, banyak pemerintah daerah yang sebenarnya belum memiliki kapasitas yang cukup untuk mendesain inovasi kebijakan pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, mereka membutuhkan dukungan dalam mengadaptasi kebijakan sehingga sesuai dengan konteks lokal. Pemerintah Pusat perlu memetakan daerah yang perlu bantuan ekstra agar kebijakan yang dilahirkan dapat fokus pada peningkatan kualitas pembelajaran. Sementara itu, pemerintah daerah juga dapat berkolaborasi dengan elemen masyarakat lain, seperti organisasi akar rumput maupun pihak swasta, dalam mendesain dan menjalankan inovasi pendidikan.  

 


Bantu RISE dalam menyebarkan 5 Prioritas Kebijakan Pendidikan ini kepada para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan pendidikan agar kita bisa bersama-sama melawan krisis pembelajaran! Kunjungi ️bit.ly/RISE5Actions untuk tahu lebih lanjut tentang kampanye ini.

Bagikan laman ini

Penulis

Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.
Editor dan Penerjemah
Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.