Dampak Sistem Zonasi Pemerimaan Peserta Didik Baru di Sekolah Negeri Bagi Para Guru dan Siswa

24 Juni 2019

.

Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.

.
 

Meski sudah diluncurkan sejak 2017, sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis zonasi-penerimaan siswa baru di sekolah negeri berdasarkan jarak terdekat dari rumah ke sekolah-masih menuai polemik.

Kebijakan sistem penerimaan siswa baru berbasis zonasi menuai protes, terutama dari orang tua dan siswa dari kelas menengah ke atas yang sebelumnya diuntungkan oleh sistem penerimaan berdasarkan prestasi. Orang tua merasa bahwa sistem zonasi ini justru menyulitkan mereka dalam mendaftarkan anaknya ke sekolah.

Bahkan, sebagian orangtua terpaksa menginap untuk memastikan anak mereka diterima di sekolah yang dituju. Mereka merasa lebih nyaman dengan sistem lama yang menggunakan prestasi anak pada jenjang sebelumnya sebagai variabel seleksi.

Kebijakan penerimaan siswa berbasis zonasi ini mengalokasikan minimal 90% kuota sekolah negeri untuk menerima calon siswa berdasarkan jarak rumah-ke-sekolah dan 10% sisanya untuk prestasi dan perpindahan. Pekan lalu, kebijakan kuota siswa diubah oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi minimal 80% untuk jalur zonasi, 15% jalur prestasi, dan 5% jalur pindahan.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 tahun 2017No. 14 Tahun 2018, dan No. 51 Tahun 2018, Kementerian berargumen bahwa sistem PPDB zonasi ini bertujuan meningkatkan akses layanan pendidikan di sekolah negeri, tanpa memandang kelas ekonomi orang tua siswa. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan PPDB zonasi juga bertujuan untuk menghapus predikat sekolah favorit.

Kementerian Pendidikan beranggapan bahwa sistem PPDB sebelumnya, yang menggunakan nilai ujian sebagai basis seleksi penerimaan, cenderung menerima siswa dengan capaian akademik yang relatif tinggi yang umumnya berasal dari keluarga mampu. Konsekuensinya, siswa dengan kemampuan rendah, khususnya yang berasal dari keluarga tidak mampu, terpaksa bersekolah di sekolah swasta atau bahkan berisiko putus sekolah.

Dengan kata lain, sekolah negeri yang kualitasnya relatif baik dan dibiayai penuh oleh pemerintah justru sebagian besar dinikmati oleh penduduk mampu. Sedangkan, sebagian besar peserta didik dari keluarga tidak mampu bersekolah di sekolah swasta berbayar dengan kualitas yang relatif rendah. Pemerintah ingin mengakhiri ketidakadilan akses tersebut.

 

Dampak sistem zonasi

Untuk melihat dampak awal dari pelaksanaan PPDB zonasi sejak 2017, saya terlibat dalam Program RISE (Research on Improving Systems of Education) di Indonesia untuk melakukan studi bersama Pemerintah Kota Yogyakarta di 46 sekolah menengah pertama (SMP) negeri dan swasta yang risetnya dimulai Agustus 2018. Temuan awal kami menunjukkan bahwa PPDB berbasis zonasi di sana berdampak tidak hanya pada karakteristik peserta didik yang diterima sekolah tapi juga proses pembelajaran di kelas.

Siswa baru yang diterima melalui PPDB zonasi memang tinggal lebih dekat dengan sekolah negeri dibanding PPDB berbasis prestasi. Namun, komposisi siswa yang diterima melalui sistem zonasi memiliki nilai rendah dan lebih beragam dibandingkan dengan siswa yang diterima melalui sistem prestasi. Keadaan ini menuntut guru-guru di sekolah negeri untuk beradaptasi dengan cepat.

Para guru yang terbiasa mengajar siswa dengan kemampuan rata-rata tinggi, kini harus mengajar siswa dengan nilai rata-rata rendah dengan kemampuan yang sangat beragam. Padahal, keterampilan yang dibutuhkan oleh guru yang mengajar anak-anak berkemampuan tinggi dan berkemampuan rendah berbeda. Anak-anak berkemampuan tinggi membutuhkan tantangan baru dan pengayaan dari guru agar bisa termotivasi dan meningkatkan kemampuannya. Di sisi lain, anak-anak berkemampuan rendah membutuhkan bantuan guru untuk membangun pemahaman ilmunya dengan benar.

Terlebih lagi, tantangan guru dalam mengajar anak dengan kemampuan beragam lebih berat daripada anak dengan kemampuan yang relatif homogen. Guru yang mengajar kelas yang homogen cenderung dapat mengajarkan seluruh siswa dengan seiring sejalan. Namun, ketika kelas yang diajar relatif heterogen, guru harus menyesuaikan pola mengajar untuk mengakomodasi anak yang cepat dan lambat dalam belajar. Semakin besar kesenjangan kemampuan anak, semakin besar beban guru dalam mengajar.

Masalahnya, penyesuaian kemampuan guru mengajar ini tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Alhasil, proses pembelajaran di kelas tidak bisa berjalan secara optimal dan menciptakan kekagetan yang justru mengganggu proses belajar di kelas.

Terlepas dari masalah yang dihadapi guru, siswa pun mengalami tantangan akibat komposisi kelas yang heterogen. Siswa yang lambat dalam belajar bisa tertinggal dari teman-temannya dan menjadi tidak nyaman dalam belajar. Kemudian, siswa yang cepat dalam belajar dapat kehilangan motivasi jika tidak mendapatkan tantangan.

Jika dilihat secara geografis, data lokasi sekolah di Sekolah Kita menunjukkan bahwa sekolah negeri tidak tersebar secara merata jika dibandingkan dengan persebaran tempat tinggal calon siswa. Dalam PPDB zonasi, kondisi ini merugikan calon peserta didik yang domisilinya relatif jauh dengan sekolah negeri di sekitarnya. Satu-satunya peluang lain bagi calon siswa tersebut untuk terdaftar di sekolah negeri adalah dengan mengejar kuota jalur prestasi yang paling banyak hanya 5% dari total kuota.

Meski sekolah swasta tidak diwajibkan mengikuti sistem PPDB zonasi, sekolah swasta terpapar dampak tidak langsung dari perubahan di sekolah negeri. Sekolah swasta yang letaknya berdekatan dengan beberapa sekolah negeri dan tidak berada pada perumahan padat penduduk akan merugi karena mereka berpotensi kehilangan calon siswa dalam jumlah besar. Di sisi lain, sekolah swasta dengan kualitas yang relatif baik akan diuntungkan karena berpotensi menerima lebih banyak pendaftar dengan capaian kemampuan tinggi yang tidak diterima di sekolah negeri akibat sistem PPDB zonasi.

 

Langkah ke depan

Secara umum, rancangan sistem PPDB akan bergantung pada tujuan pemerintah. Rancangan sistem PPDB yang ditujukan untuk mengurangi segregasi akan berbeda dengan yang didesain untuk meningkatkan efisiensi pembelajaran. Oleh karena itu, untuk mendapatkan tujuan yang tepat, pemerintah harus terbuka dalam melihat permasalahan yang ada di lapangan. Dalam konteks PPDB, pemerintah harus memprioritaskan sistem yang efisien dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat.

Niat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meningkatkan akses layanan pendidikan memang baik, namun tujuan tersebut seharusnya diikuti dengan kebijakan yang tepat. Di satu sisi, melaksanakan zonasi setelah menunggu infrastruktur pendidikan merata memang bukan pilihan yang tepat. Meski demikian, memaksakan PPDB zonasi yang tanpa persiapan pun bukan keputusan yang bijaksana. Seharusnya, pemerintah melakukan pemerataan secara bertahap.

Pemerataan melalui PPDB zonasi seharusnya dilakukan secara bertahap dan diiringi oleh dukungan kepada guru berupa pelatihan dan instrumen pembelajaran yang tepat. Selain itu, peningkatan kualitas secara merata dapat dilakukan dengan merekrut, mendidik, dan mendistribusikan guru berkualitas ke sekolah-sekolah yang dinilai masih di bawah standar minimal.

Saat implementasi, keselarasan pandangan dan koordinasi antara Kementerian Pendidikan dan pemerintah daerah pun dibutuhkan. Undang-undang otonomi daerah mendistribusikan kewenangan pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah. Dengan kata lain, kebijakan Kementerian Pendidikan tidak serta-merta akan diadopsi secara penuh oleh pemerintah daerah apabila keduanya melihat isu terkait dengan pandangan yang berbeda.

Contohnya, pemerintah DKI Jakarta merasa tidak memiliki masalah dengan isu ‘sekolah favorit’ yang ingin ditanggulangi dengan PPDB zonasi yang dicanangkan, sehingga DKI Jakarta bersikukuh tetap menggunakan sistemnya sendiri dengan kuota persentase yang berbeda dari peraturan nasional. Selain itu, Kota Yogyakarta yang telah mengadopsi Permendikbud No. 14 Tahun 2018 pada 2018 pun mengevaluasi kebijakannya, dengan kembali mengadopsi jalur prestasi, agar lebih akomodatif pada 2019.

Meski Kementerian Pendidikan mengatakan akan memberikan sanksi bagi pemerintah daerah yang menyimpang dari peraturan, sanksi yang diberikan tidak akan berdampak signifikan kepada daerah. Pertama, sanksi teguran tertulis akan tidak berpengaruh jika kepala daerah pasang badan. Kedua, sanksi anggaran pun sepertinya tidak akan efektif karena sebagian besar anggaran pendidikan daerah merupakan Dana Alokasi Umum (DAU) yang harus dialokasikan setiap tahunnya.

Sistem PPDB merupakan layanan yang bertujuan untuk memudahkan masyarakat memasukkan putra-putrinya ke sekolah. Oleh karena itu, orang tua yang merupakan pemangku kepentingan utama dalam PPDB seharusnya didengar dan diberikan kesempatan untuk menyuarakan sistem pendidikan apa yang mereka inginkan.

Bagikan laman ini

Penulis

Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.