Ketimpangan di Dunia bukan tak Terelakkan: Oxfam

15 Februari 2018

.

Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia (TCID)

.

Baru-baru ini, Oxfam mengeluarkan laporan tahunan mengenai ketimpangan pada Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Laporan tahun ini, berjudul “Hargai Pekerjaan, Bukan Kekayaan”, menyoroti bagaimana sistem ekonomi dunia memungkinkan kelompok elit kaya raya menimbun kekayaan sementara ratusan juta orang berjuang untuk bertahan hidup dengan upah rendah.

Athia Yumna, peneliti senior di Institut Riset SMERU yang mengkhususkan diri pada masalah ketimpangan, berbicara dengan salah satu penulis laporan tersebut, Max Lawson, Ketua Kebijakan Ketimpangan di OXFAM International, untuk mendiskusikan pesan kunci laporan itu dan menggali relevansinya untuk Indonesia.


Athia: Laporan tahun ini menyoroti tema kerja dan cara memerangi peningkatan ketimpangan dengan mendorong pekerjaan yang layak. Apa itu pesan kuncinya?

Max: Ya, tepat sekali. Kita tahu, berdasarkan pengalaman negara-negara seperti Brasil dan Korea, kenaikan besar dalam upah minimum dapat menghasilkan perubahan besar dalam tingkat ketimpangan.

Ada grafik dalam laporan tersebut, yang kami dapatkan dari hasil kerja luar biasa Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Asia. Berdasarkan tingkat kepatuhan [penerapan] upah minimum serta [penerapan] upah minimum antara laki-laki dan perempuan, terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat besar antarnegara. [Dari situ terlihat bahwa] untuk mengurangi masalah ketimpangan jelas dibutuhkan investasi yang besar untuk [kebijakan] upah minimum yang lebih tinggi dan penegakan [kebijakan tersebut].

Hal lainnya yang benar-benar menarik perhatian saya dalam menulis laporan ini, yakni harga yang harus dibayar oleh orang-orang miskin akibat [kondisi di atas]. Di Bangladesh, pekerja perempuan tidak minum cukup air dalam kondisi yang sangat panas karena mereka tidak mau ke toilet [agar tidak kehilangan waktu untuk memenuhi target kerja mereka], dan akibatnya infeksi umum ditemukan[di sana]. Di AS, ada cerita-cerita mengenai pekerja di peternakan unggas yang mengenakan popok ketika bekerja.

Bagan: The Conversation Indonesia  Sumber: Credit Suisse Global Wealth Databook

Athia: Apa tujuan diluncurkannya laporan ini di Davos [di Forum Ekonomi Dunia]?

Max: Alasan utama meluncurkan laporan ini di Davos bukan karena kami pikir bahwa masalah krisis ketimpangan akan dipecahkan oleh orang-orang di Davos. Kami pikir krisis ketimpangan [pada akhirnya] hanya dapat diselesaikan oleh politik progresif dan kekuatan rakyat biasa yang menuntut perubahan.

Namun, dengan menggunakan panggung Davos, di mana media fokus pada orang-orang paling kaya, pemimpin bisnis dan politik yang menghadiri pertemuan ini, dan perhatian dunia internasional akan acara tersebut, [ada] kesempatan untuk menunjukkan bahwa masalah [ketimpangan] ini bertambah buruk.

Angka statistik yang paling saya sukai dalam laporan ini adalah bahwa kekayaan miliarder meningkat enam kali lipat lebih cepat daripada upah. Ini menggambarkan tesis dari buku Thomas Piketty yang berjudul “Capital”—yaitu jika kekayaan secara konsisten tumbuh lebih cepat daripada penghasilan maka krisis ketimpangan pun akan semakin buruk.


Sumber: Forbes/Forbes Indonesia

Athia: Apa pelajaran dari ketimpangan di masa lalu pada abad 19 dan awal abad 20? Adakah ciri khas berbeda antara ketimpangan masa lalu dan apa yang kita hadapi sekarang?

Max: Saya pikir jelas bahwa ketimpangan bukan hal yang tak terelakkan. Sejarah menunjukkan bahwa ketimpangan bisa dikurangi dengan cara damai melalui politik progresif, atau yang menyedihkan, melalui perang atau konflik berat.

Bila Anda melihat perkembangannya, pertama di AS setelah Depresi Besar kemudian di Eropa tepat setelah Perang Dunia Kedua, dan kemudian bila Anda melihat pertumbuhan alami dari negara-negara seperti Indonesia pada 1950-an sampai 1970-an, pertumbuhan pada saat-saat tersebut sangat inklusif.

Namun kontras dengan pertumbuhan yang kita lihat hari ini, lagi-lagi di Indonesia dan di tempat lain, di mana mayoritas pertumbuhan utamanya menuju ke puncak [kelompok pendapatan]. Sejarah menunjukkkan bahwa itulah yang dilakukan Barat pada 1950-an dan 60-an, Amerika Latin telah melakukannya [mengurangi ketimpangan] dalam 10 sampai 15 tahun terakhir, dan negara lain sedang melakukannya selagi kita berbicara [sekarang].

Athia: Apa rekomendasi kebijakan baru dalam laporan?

Max: Tidak ada [rekomendasi] yang benar-benar baru karena sejak lama kita tahu apa langkah yang benar dan kita hanya perlu menjawab pertanyaan mengapa [itu tidak dilaksanakan]. Jadi, ada elemen pengulangan yang selalu terjadi.

Saya pikir yang menonjol dalam laporan ini yakni [bahwa] beberapa perusahaan berhenti membayar dividen kepada pemegang saham sampai mereka dapat memberikan upah yang layak di seluruh rantai pasokan mereka. Kita belum pernah melihatnya sebelum ini.

Membatasi rasio antara pegawai dengan gaji tertinggi dan terendah juga menarik. Kami mempelajari model-model bisnis baru di mana perusahaan bisa beroperasi dalam cara yang tidak memperparah masalah [ketimpangan].

Contohnya Mondragon, perusahaan multinasional di Spanyol, yang membayar atasannya tidak lebih dari sembilan kali lipat dari pegawai yang digaji terendah. Ini adalah contoh-contoh perusahaan yang cara operasinya mengurangi ketimpangan, alih-alih meningkatkan ketimpangan.

Namun, dalam hal rekomendasi, pada dasarnya sama: Yang kaya harus membayar pajak lebih banyak, dan yang miskin perlu dibayar lebih tinggi.


Bagan: The Conversation Indonesia  Sumber: Asia Floor Wage

Athia: Apa yang bisa dipelajari Indonesia dari negara-negara lain yang telah mengembangkan kebijakan pajak mereka dengan sukses?

Max: Bila kita melihat seluruh kawasan, ada negara-negara yang memperkenalkan kebijakan pajak yang baik: pajak warisan di Thailand, tidak sempurna tapi setidaknya ada; atau pajak properti yang diterapkan di Kamboja.

Dalam waktu 10 tahun, saya ingin melihat pajak kekayaan yang lebih besar. Itu bisa berarti pajak kekayaan langsung tapi juga bisa berarti pajak pendapatan kapital, pajak properti, atau pajak warisan. Saya rasa ada kesempatan untuk ini dan berbagai negara berkembang sudah mulai melakukannya.

Berinvestasi dalam pengumpulan pajak adalah hal pertama yang perlu lakukan. Menaikkan anggaran tiga kali lipat untuk penegakan dan pengumpulan pajak dapat membuat perubahan besar.

Athia: Apa saran utama Anda untuk Indonesia untuk mengatasi ketimpangan?**

Max: Saya pikir tidak ada satu negara yang dapat menawarkan cetak biru biru untuk negara lain. Tentunya, pajak sangat penting tapi saya pikir dalam hal Indonesia, prinsip dasarnya adalah bahwa dalam empat hingga lima tahun ke depan, pajak untuk rasio PDB (produk domestik bruto) bisa dinaikkan jadi 4 sampai 5%, dilakukan seprogresif mungkin.

Saya rasa itu cukup masuk akal. Pendapatan tambahan [yang berasal dari pajak] itu bisa meningkatkan anggaran kesehatan Anda hingga dua kali lipat, memiliki implikasi besar bagi belanja publik, dan pada gilirannya, mengurangi ketimpangan.

Bagikan laman ini

Penulis

Wakil Direktur Bidang Penelitian dan Penjangkauan, Peneliti Senior
Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.