Meski Isu Pendidikan Kerap Diabaikan, Pilkada Berdampak Serius pada Kebijakan Pendidikan

24 November 2024

.

Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.

.

Tanggal 27 November 2024, warga akan menentukan pilihan politik mereka atas kepala daerah. Hasil pemilihan ini akan berdampak signifikan terhadap kebijakan publik di daerah dalam lima tahun ke depan, termasuk di bidang pendidikan. Sebab, sistem desentralisasi Indonesia mengamanatkan pemerintah daerah (Pemda) bertanggung jawab terhadap layanan pendidikan (dan layanan publik lainnya).

Sayangnya, kebijakan pendidikan, khususnya terkait kualitas pendidikan sering kali luput dari perhatian politisi. Padahal, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan investasi jangka panjang yang hasilnya sering kali tidak dapat dilihat dalam 4-5 tahunan siklus pemilihan pemimpin politik.

Dalam hal pendidikan, politikus lebih tertarik pada peningkatan akses sekolah karena kebijakan populis seperti ini lebih mudah dikelola dan dapat meningkatkan elektabilitas mereka.

Kami melakukan penelitian di beberapa daerah di Indonesia, yakni Kawi, Lontara dan Nagari (bukan nama sebenarnya) pada tahun 2021. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dua hal yang memengaruhi ada tidaknya kebijakan Pemda yang berorientasi pada kualitas pendidikan. Pertama batasan terhadap kekuasaan kepala daerah dalam menentukan pejabat birokrasi daerah, dan kedua, komitmen politik kepala daerah.

 

Dampak positif pembatasan kekuasaan

Batasan terhadap kekuasaan kepala daerah dalam menentukan pejabat birokrasi dapat mengurangi politisasi birokrasi dan mendorong tumbuhnya meritokrasi—sistem yang memberikan kesempatan seseorang untuk memimpin atau mendapatkan jabatan berdasarkan kualifikasi, kompetensi dan kinerja.

Ini juga berdampak positif terhadap hal-hal lain, seperti peningkatan kapasitas birokrasi pemerintah daerah, yang diperlukan untuk memastikan pembangunan berjalan dengan baik, serta kualitas pembelajaran.

1. Pembatasan kekuasaan oleh lembaga adat

Dibandingkan daerah lain yang kerap berganti kepala dinas, Dinas Pendidikan Nagari memiliki kapasitas birokrasi lebih tinggi dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pendidikan.

Dari awal era desentralisasi hingga saat penelitian dilakukan, Dinas Pendidikan Nagari hanya dipimpin oleh tiga orang kepala dinas (dengan masa jabatan rata-rata 6.5-7 tahun) yang terkenal memiliki rekam jejak yang baik.

Di Nagari, naiknya kekuatan adat pada awal era desentralisasi menghadirkan kembali norma tradisional yang mengatur hubungan pemimpin daerah dan lembaga adat. Kepala daerah perlu berkonsultasi dengan lembaga adat dalam mengambil keputusan-keputusan penting.

Selain itu, birokrat dan ASN dapat mengadukan kebijakan kepegawaian yang menyalahi aturan, seperti mutasi yang tidak berdasar, kepada lembaga adat. Melalui pengaruh yang mereka miliki pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), lembaga adat dapat mencegah mutasi tersebut. Kondisi ini memungkinkan berkembangnya meritokrasi dalam sistem birokrasi Pemda.
 

2. Responsif sesuai kebutuhan

Kapasitas birokrasi yang tinggi juga memungkinkan Dinas Pendidikan Nagari untuk lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Pada saat pandemi COVID-19, dinas pendidikan bersama pengawas mampu mengambil keputusan yang tepat untuk menjaga kualitas pembelajaran.

Pada awal pandemi, pengawas melakukan survei terhadap guru sebagai landasan untuk membuat kurikulum esensial daerah yang menjadi panduan bagi guru selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Dinas pendidikan juga menyebarkan kuesioner online kepada orangtua sebelum menentukan PJJ termasuk ketika sekolah akan dibuka kembali.

Nagari juga menerapkan supervisi silang untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Pengawas dan kepala sekolah dalam satu gugus tugas akan berkeliling untuk melakukan observasi praktik pengajaran guru di sekolah lain secara bergantian. Supervisi semacam ini lebih baik dari supervisi yang biasanya dilakukan kepala sekolah seorang diri. Pasalnya, supervisi silang memungkinkan guru dan kepala sekolah saling belajar, terutama dari sekolah yang memiliki prestasi akademis lebih bagus.

Kawi dan Lontara juga memiliki kebijakan pendidikan yang berorientasi kualitas pembelajaran siswa. Kedua wilayah ini pernah dipimpin dua kepala daerah yang memiliki perhatian besar terhadap kualitas sumber daya manusia.

Kepala daerah sebelumnya sudah fokus pada program pendidikan sejak beliau berkecimpung di Dewan Pendidikan. Dulu beliau banyak merintis sekolah adiwiyata, menyediakan bus sekolah, lalu membuat Jam Belajar Siswa. Sedangkan kepala daerah sekarang lebih memfokuskan kebijakan pada bidang UMKM…Kalau yang pegang di atas bukan orang Pendidikan, sulit, bagaimana orang proyek, pebisnis mau memperhatikan Pendidikan?”. (Wawancara mendalam, Akademisi, Kawi, 4 Februari 2021)

Pemda Kawi juga menekankan pentingnya kualitas pembelajaran dengan menerapkan program jam belajar siswa. Program ini meminta orang tua murid untuk memastikan anak belajar setiap petang dengan, antara lain, mematikan perangkat televisi di rumah. Orang tua juga diminta menyediakan lingkungan dan prasarana yang diperlukan untuk mendukung anak belajar.

Kepala daerah berpandangan bahwa sumber daya manusia yang berkualitas mutlak diperlukan untuk membangun Kawi mengingat terbatasnya sumber daya alam yang mereka miliki. Akan tetapi, ketergantungan pada komitmen personal kepala daerah berisiko terhadap keberlanjutan kebijakan.

 

Komitmen politik yang kerap berubah

Berbeda dengan batasan terhadap kekuasaan kepala daerah, komitmen politik lebih bersifat personal sehingga dapat berubah seiring pergantian kekuasaan.

Lontara beruntung karena pergantian kepala daerah pada 2016 tidak mengubah arah kebijakan pendidikan Pemda. Kepala daerah yang baru tetap mempertahankan perhatian kepala daerah sebelumnya pada pendidikan dan kualitas sumber daya manusia.

Namun di Kawi, pergantian Kepala Daerah pada 2018 turut mengubah arah kebijakan pendidikan. Program Jam Belajar Siswa tidak diteruskan karena perhatian Kepala Daerah yang baru lebih pada akses sekolah.

Saya berharap kedepannya pergantian kepala daerah tidak berakibat pada pergantian kebijakan, masa ganti koki, ganti resep. Jangan seperti sekarang, ganti kepala daerah, ganti kebijakan, dan pola dasarnya juga berubah. Sehingga apa yang baik di kepala daerah sebelumnya terputus dan hilang begitu saja”. (Wawancara mendalam, Anggota DPRD Kawi, 6 Februari 2021)

Politisasi birokrasi yang sering terjadi di Kawi, dan juga daerah lain, menghasilkan birokrat yang kurang kompeten. Penunjukan dan mutasi jabatan sering didasarkan pada preferensi kesukaan (like or dislike), atau dukungan politik dalam pemilihan kepala daerah. Akibatnya, birokrasi tidak memiliki kapasitas untuk merumuskan kebijakan, dan sebatas menjalankan instruksi kepala daerah.

Keberlanjutan Jam Belajar Siswa sebenarnya dipengaruhi kemampuan evaluasi (para birokrat). Ketika evaluasi tidak berjalan, maka kecil peluang program tersebut akan berkelanjutan karena menjadi tidak ada dasar pertimbangan kelayakan program. Jadi menurut saya, tidak dilanjutkannya Jam Belajar Siswa’ bukan semata-mata kehendak kepala daerah tetapi juga karena masalah kapasitas para birokrat”. (Wawancara mendalam, politisi senior, Kawi, 14 Februari 2021)

 

Kapasitas birokrasi perlu ditingkatkan, politisasi ditiadakan

Belajar dari beberapa kasus di atas, meritokrasi dan kapasitas birokrasi dinas pendidikan sangat diperlukan untuk mewujudkan kebijakan pendidikan yang berorientasi kepada kualitas pembelajaran. Kasus Nagari menunjukkan bahwa batasan terhadap kekuasaan kepala daerah dalam mengangkat pejabat atau birokrat dapat membantu mengurangi politisasi birokrasi dan meningkatkan kapasitas birokrasi.

Pembatasan kekuasaan kepala daerah dalam pengangkatan pejabat atau birokrat memerlukan kesepakatan bersama dari kekuatan politik daerah. Cara lain adalah memperkuat fungsi kontrol DPRD terhadap pelaksanaan aturan kepegawaian yang sudah ditetapkan pemerintah pusat untuk membatasi politisasi birokrasi.

Melalui pemilihan kepala daerah, pemilih semestinya mengutamakan kandidat yang memiliki perhatian khusus terhadap kualitas pendidikan. Jika pilihan ini tidak tersedia, warga dan lembaga nonpemerintah perlu aktif meminta kepala daerah terpilih untuk memberikan perhatian serius terhadap kualitas pendidikan. Sebab, tanpa kapasitas birokrasi atau komitmen politik kepala daerah, sulit untuk mewujudkan kebijakan yang berorientasi pada kualitas pendidikan.

Bagikan laman ini

Penulis