.
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.
.
Cakupan pemberian air susu ibu eksklusif (ASIX) untuk para bayi di bawah enam bulan di Indonesia secara umum meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, cakupan itu sebenarnya hanya capaian semu.
Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 menunjukkan secara umum angka ASIX untuk bayi berusia kurang dari enam bulan mencapai 52%. Selain meningkat sekitar 11% dibandingkan riset serupa pada 2012, capaian ini memenuhi target minimal 50% yang ditetapkan dalam rencana pembangunan nasional lima tahun terakhir.
Namun, sumber data yang sama juga memperlihatkan bahwa persentase ASIX ini menurun seiring dengan pertambahan usia anak. Untuk anak usia di bawah satu bulan persentasenya lumayan tinggi, 67%. Angka ini berkurang menjadi 55% pada anak usia 2-3 bulan, dan anjlok lagi hanya 38% pada anak usia 4-5 bulan.
Ini berarti angka ASIX 52% sebenarnya merupakan capaian semu karena belum menggambarkan persentase bayi yang benar-benar memperoleh ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupannya, tanpa asupan lain seperti susu formula (susu pengganti ASI buatan pabrik), pisang, air tajin, dan makanan/minuman lainnya.
Kalau begitu, siapakah yang harus bertanggung jawab atas rendahnya cakupan ASIX? Apakah ibu menjadi “satu-satunya tertuduh”?
Faktanya, walaupun ibu yang secara langsung menyusui anaknya, pemberian ASI tidak hanya dipengaruhi oleh keputusan ibu.
Riset kami menemukan bahwa pembentukan keputusan ibu terjadi akibat interaksi antara karakteristik individual ibu dan sistem serta perilaku berbagai pihak di sekitarnya.
Kami menggali informasi dari berbagai pihak yang memengaruhi dinamika pemberian ASIX yakni ibu, masyarakat, tenaga kesehatan, pihak swasta, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.
Berdasarkan model ekologi sosial, kami menemukan sistem yang turut mempengaruhi keputusan ibu untuk menyusui anaknya meliputi: faktor interpersonal (hubungan dengan suami, orang tua, dan masyarakat), faktor institusional (pelayanan kesehatan dan dukungan tempat bekerja), dan faktor lingkungan (tradisi, iklan susu formula, dan kebijakan).
Faktor ibu dan orang-orang dekat
Berbagai penelitian di Indonesia menemukan bahwa kondisi individual ibu seperti tingkat kesejahteraan dan status bekerja berkaitan dengan praktik ASIX.
Semakin tinggi tingkat kesejahteraan ibu, semakin mungkin ibu untuk tidak memberikan ASIX.
Begitu pula halnya dengan status pekerjaan ibu. Ibu bekerja memiliki kemungkinan lebih besar untuk tidak mempraktikkan ASIX dibandingkan ibu yang tidak bekerja, terutama setelah ibu selesai cuti melahirkan.
Faktor kesehatan ibu dan anak juga menjadi penentu untuk memberikan ASI seperti diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.39/2013.
Dalam interaksi interpersonal, dorongan dari keluarga, terutama nenek begitu besar untuk memberikan makanan tambahan pada bayi. Rasa sayang dan kasihan terhadap bayi yang sering menangis mendorong mereka untuk menyuapi makanan atau susu formula. Pada masa lalu, praktik ini mungkin tidak menimbulkan persoalan kesehatan sehingga tetap disarankan. Ibu yang cenderung tidak mampu menentang orang tua, akhirnya menuruti saran tersebut.
Temuan serupa juga terjadi di berbagai negara, bahwa nenek memiliki kapasitas untuk memengaruhi keputusan ibu untuk menyusui anaknya secara eksklusif. Apalagi bila pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) dini dan susu formula menjadi hal yang lumrah di lingkungan tempat ibu tinggal.
Kurang dukungan dari tempat kerja
Masih banyak tempat kerja yang belum menyediakan ruang menyusui.
Berdasarkan sebuah penelitian, hanya sekitar 21% ibu bekerja yang memiliki akses terhadap ruang laktasi di Indonesia. Ketersediaan ruang laktasi, dalam studi kami, menjadi persoalan tidak hanya di perusahaan swasta, tapi juga di instansi pemerintah.
Tidak jarang ibu terpaksa harus memerah ASI-nya di toilet karena tiadanya ruang laktasi di kantornya.
Di antara buruh perempuan, permasalahannya lebih kompleks karena terdapat dilema antara memerah ASI dan risiko penurunan penghasilan. Memerah ASI berarti mengurangi jam kerja dan mengurangi hasil kerja. Dampaknya juga akan mengurangi penghasilan.
Persepsi yang keliru
Pengetahuan, persepsi dan keputusan ibu, baik secara sadar atau terpaksa, menjadi pintu masuk apakah anak memperoleh haknya atas asupan ASI atau tidak.
Persoalannya, sebagian ibu belum memiliki pemahaman yang cukup tentang pentingnya ASI bagi bayi. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama bisa mencegah penyakit infeksi seperti diare dan saluran pernapasan. ASI juga untuk memasok nutrisi dan cairan yang dibutuhkan bayi untuk berkembang secara optimal.
Masih ada anggapan bahwa susu formula lebih bernutrisi dan dapat membuat anak mereka lebih cerdas. Ada pula persepsi bahwa memperkenalkan bayi dengan makanan sejak dini dapat menstimulasi mereka agar mau makan saat usia enam bulan.
Secara psikologis, ibu juga terkadang tersugesti bahwa produksi ASI-nya tidak mencukupi dan merasa kesulitan jika harus memerah ASI di kantor (bagi ibu bekerja). Akhirnya mereka menyerah.
Alasan-alasan ini yang membuat ibu memutuskan untuk menambahkan asupan selain ASI (baik makanan, air putih, maupun susu formula) kepada bayi yang berusia kurang dari 6 bulan.
Bahaya paparan iklan
Walau studi kami menunjukkan tidak ada tayangan iklan susu formula untuk bayi di bawah satu tahun terutama di televisi pada saat riset tahun 2015-2016, persepsi bahwa susu formula lebih bergizi ketimbang ASI tetap terbentuk bahkan hingga sekarang karena masih adanya iklan susu formula untuk anak usia di atas satu tahun.
Kemiripan kemasan dan tidak adanya pernyataan yang jelas pada iklan bahwa produk hanya untuk kelompok umur tertentu membuat ibu dan masyarakat cenderung berasumsi bahwa produk yang diiklankan juga sesuai untuk anak di bawah enam bulan.
Persepsi positif terhadap susu formula juga diperkuat oleh adanya kasus promosi susu formula yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan, perawat, dan pihak rumah sakit).
Dalam studi ini kami juga menemukan bahwa kesadaran dan pengetahuan tenaga kesehatan terkait ASIX masih rendah sehingga komitmen mereka untuk mempromosikan ASIX juga lemah.
Bangun ekosistem dan kapasitas
Sosialisasi dan edukasi mengenai pentingnya ASIX untuk ibu sangat penting untuk mendorong komitmen menyusui secara eksklusif selama enam bulan pertama. Karena setiap ibu memiliki tantangan yang berbeda, aktor-aktor yang terlibat dalam penyuluhan perlu memahami kondisi yang dihadapi ibu pada setiap lapisan ekologi sosial.
Karena itu, kapasitas tenaga kesehatan harus ditingkatkan agar mereka mampu mempromosikan ASIX secara lebih efektif sehingga berdampak besar mengubah persepsi dan perilaku para ibu.
Ibu bukan satu-satunya target penyuluhan.
Suami, keluarga, nenek, tenaga kesehatan, dan tempat bekerja, juga harus menjadi sasaran untuk menciptakan sistem yang mendukung ibu dalam memberikan ASI eksklusif.
Pemerintah harus mengawasi dan menerapkan sanksi kepada tenaga kesehatan dan perusahaan susu formula yang memasarkan susu secara tidak etis. Perlu lembaga yang punya otoritas jelas untuk mengawasi dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran tersebut. Sampai saat ini lembaga itu belum ada. Lembaga ini juga harus mendorong penyediaan ruang laktasi di tempat bekerja.
Bagaimana pun, membangun sistem ekologi sosial yang mendukung ibu untuk menyusui bayinya menjadi langkah strategis yang berperan penting dalam mencapai keberhasilan pemberian ASI eksklusif.