.
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.
.
Jumlah pengguna internet di Indonesia telah meningkat pesat, per Januari 2024 saja telah mencapai 185,3 juta.
Namun, alih-alih memperkaya diskursus penguatan proses demokratisasi, para pengguna internet di Indonesia justru mengalami kekhawatiran akan kebebasan berekspresi, mulai dari ancaman di dunia maya hingga kriminalisasi. Akibatnya, muncul budaya swasensor (self-censorship untuk berekspresi dan mengurangi publikasi konten yang kritis.
Kekhawatiran tersebut juga dialami oleh insan pers, khususnya pada media digital/daring. Tekanan dari pemerintah maupun pemilik modal terhadap jurnalis mendorong praktik swasensor di kalangan jurnalis dan media.
Misalnya, jurnalis menghindari pemberitaan yang kritis terhadap pemerintah dalam artikel mereka karena khawatir akan risiko tuntutan hukum.
Dapatkan rangkuman isu terkini langsung dari editor-editor kami
Berlangganan sekarang
Padahal, seiring perkembangan penggunaan internet yang pesat di Indonesia, media digital memainkan peran penting dalam menjaga kebebasan pers di Indonesia melalui peliputan isu-isu publik secara kritis dan independen.
Berangkat dari situasi ini, Australian Broadcasting Corporation International Development (ABCID) berkolaborasi dengan The SMERU Research Institute melakukan penelitian tentang kebijakan, regulasi, kode etik, dan studi kasus seputar lanskap media digital di Indonesia.
Kami menemukan bahwa regulasi terkait pers dan internet seringkali membatasi kebebasan pers. Ini diperparah dengan masih adanya kesenjangan pemahaman tentang perlindungan data pribadi di sektor media. Selain itu, diskriminasi gender yang terjadi di dunia maya juga masih menjadi tantangan yang membutuhkan penyesuaian hukum.
1. Relevansi aturan dan celah hukum yang kerap bermasalah
Lanskap media di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan pascatumbangnya Orde Baru. Sebelum 1998, media di Indonesia berada di bawah kendali ketat pemerintah. Masuk ke masa Reformasi, Indonesia memiliki peraturan yang bertujuan melindungi kebebasan pers.
Namun, seiring perkembangan teknologi pada saat ini, peraturan-peraturan tersebut mulai dirasakan kurang mengakomodasi kebutuhan media digital.
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, misalnya, memang menjamin pers nasional yang bebas dari sensor dan larangan penyiaran, serta melindungi hak-hak jurnalis. Namun, UU ini belum secara eksplisit mendefinisikan “kepentingan umum” saat menjabarkan peran pers dalam “melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum”.
Definisi istilah ini justru ditemukan dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). UU PDP mengartikan “kepentingan umum” sebagai kepentingan masyarakat secara luas. Akan tetapi, definisi tersebut lebih menekankan pada kepentingan penyelenggaraan pemerintahan serta pertahanan dan keamanan nasional.
Dengan kata lain, “kepentingan umum” lebih dimaknai sebagai kepentingan negara, sehingga otoritas kerap merasa berhak menekan konten yang dianggap mengganggu kepentingan tersebut.
Di sisi lain, UU PDP sebenarnya dapat melindungi jurnalis media digital dari serangan digital seperti doxing (perbuatan membuka data pribadi seseorang dan membagikannya di ruang publik tanpa persetujuan) dengan memberikan mereka landasan untuk melaporkan penyebaran data pribadi sebagai pelanggaran hukum.
Namun, pasal-pasal dalam UU PDP justru berpotensi membatasi kerja jurnalistik. Contohnya adalah Pasal 65 yang melarang pengumpulan data pribadi tanpa izin. UU PDP sebenarnya mengecualikan kewajiban perlindungan data pribadi untuk sejumlah kepentingan tertentu (Pasal 15), tetapi kegiatan jurnalisme tidak termasuk dalam pengecualian ini.
Padahal, dalam naskah akademik RUU PDP, kepentingan pers termasuk yang dikecualikan. Hal ini dipandang mempersulit jurnalis dalam menghimpun informasi dalam peliputannya.
Adapun Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang tidak mengatur media secara khusus, tetapi justru menjadi penghambat yang signifikan. Ini karena UU ITE mengatur terkait pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong, dan ujaran kebencian berbasis SARA.
Kasus jurnalis Diananta Putera Sumedi pada 2020 menjadi satu contoh penggunaan UU ITE yang mengkriminalisasi peliputan berita.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kotabaru memutuskan bahwa artikel yang diterbitkannya, berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel”, mengandung unsur-unsur yang menyentuh isu SARA sehingga melanggar Pasal 28 UU ITE. Sumedi pun mendapatkan hukuman penjara tiga bulan 15 hari.
Contoh tersebut menunjukkan bahwa UU ITE memberi ruang bagi pembatasan ekspresi dan aktivitas jurnalistik media digital.
2. Diskriminasi gender bungkam suara perempuan di media digital
Kajian pustaka terkait media digital di Indonesia menunjukkan bahwa ketidaksetaraan gender masih menjadi tantangan di Indonesia, termasuk kekerasan berbasis gender online (KBGO) terhadap jurnalis perempuan. Hal ini turut menghambat suara perempuan dalam memperjuangkan kebebasan pers di media digital.
Studi menunjukkan bahwa laki-laki masih mendominasi baik dalam posisi wartawan dan manajerial, sehingga mengurangi daya tawar bagi perempuan. Isu gender juga mencakup peliputan media yang seringkali tidak sensitif, misalnya dalam kasus korupsi yang berbeda perlakuannya terhadap laki-laki dan perempuan.
Kekerasan daring terhadap jurnalis perempuan pun masih merajalela. Survei dari PR2Media dan AJI Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar dari 1.256 jurnalis perempuan yang diteliti mengaku pernah mengalami kekerasan selama karier mereka, termasuk dalam bentuk body shaming dan pelecehan seksual daring.
Sementara itu, regulasi media digital belum cukup mengatasi isu kesetaraan gender, dan kurangnya perlindungan hukum untuk media yang menangani topik sensitif menambah tantangan.
Menurut wawancara kami, beragam insiatif menunjukkan upaya untuk mengatasi masalah ini. Dewan Pers memiliki pedoman tata kelola media digital dan peliputan yang bertanggung jawab dalam Buku Saku Wartawan, termasuk peliputan terkait isu gender. Namun, Dewan Pers saat ini tidak memiliki aturan khusus untuk menyikapi kekerasan daring.
Wawancara kami juga menemukan bahwa organisasi media alternatif Konde.co sudah memiliki prosedur operasi standar (SOP) khusus untuk menghadapi kekerasan seksual dan saat ini sedang menyelesaikan panduan peliputan “ramah perempuan”.
Aksi Hari Perempuan Internasional di Bandung, Jawa Barat. Novrian Arbi/Antara Foto
Organisasi media lain, yakni Project Multatuli, juga mengadopsi SOP serupa. Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) juga telah memperkenalkan prinsip-prinsip penerbitan tepercaya untuk mencegah kekerasan jurnalistik dan menekankan perlindungan perempuan dan anak.
Namun, masih diperlukan regulasi dan pedoman yang lebih jelas untuk melindungi jurnalis perempuan dan memastikan peliputan etis terhadap isu sensitif.
Pentingnya meninjau ulang peraturan
Tantangan yang ditimbulkan oleh digitalisasi media tidaklah berdiri sendiri, tidak pula sederhana. Oleh karena itu, beragam pemangku kepentingan di media digital perlu menerapkan solusi multisektoral dan kontekstual yang mempertimbangkan implikasinya terhadap kebebasan jurnalistik, perlindungan data pribadi, dan kesetaraan di masyarakat.
Salah satunya, pemerintah perlu meninjau ulang peraturan yang memengaruhi media, khususnya UU ITE dan UU PDP, untuk memastikan bahwa aturan tersebut tidak mengancam kebebasan jurnalistik. Peninjauan ini perlu mengkaji sejauh mana peraturan ini menjawab tantangan-tantangan modern seperti KBGO secara memadai.
Khusus UU PDP, saat ini masih belum terdapat studi yang mengkaji pemahaman dan kesiapan industri media terkait UU PDP. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang spesifik untuk memahami sepenuhnya dampak dan pemahaman pemangku kepentingan tentang UU PDP di sektor media melalui kemitraan dengan akademisi.
Pemerintah telah berupaya meningkatkan ketahanan media digital melalui Program Literasi Digital Nasional Indonesia. Namun, meskipun memiliki jangkauan yang luas dan pendanaan yang besar, kami menemukan bahwa program ini belum sepenuhnya efektif dan inklusif.
Oleh karena itu, diperlukan penyempurnaan program dengan meninjau ulang target yang dicapai serta mengarusutamakan gender dalam desain dan pelaksanaannya.
Selain pemerintah, organisasi media juga perlu menerapkan kebijakan yang sensitif gender yang lebih ketat untuk memperkuat peran perempuan dalam pers. Menimbang implikasi sosialnya yang signifikan, isu KBGO perlu diteliti lebih lanjut untuk mengembangkan kerangka peraturan dan kebijakan media yang lebih baik untuk jurnalis perempuan.
Ke depannya, penelitian dan dialog yang berkelanjutan di antara para pemangku kepentingan tetap diperlukan untuk memastikan berkembangnya masyarakat digital yang aman dan adil, serta memiliki pemahaman yang memadai.