Tinjauan Strategis Ketahanan Pangan dan Gizi di Indonesia Informasi Terkini 2019-2020

Penelitian Kebijakan

Bersamaan dengan kemajuan pesat di bidang ekonomi yang dicapai dan kemunculannya sebagai negara berpenghasilan menengah ke atas, Indonesia juga mencatat beberapa perkembangan penting dalam meningkatkan ketahanan pangan dan gizi. Akses terhadap pangan meningkat dan prevalensi gizi kurang (undernutrition) terus menurun selama beberapa tahun terakhir. Namun, status gizi masyarakat Indonesia masih rendah menurut standar internasional dan perbedaan gizi antardaerah masih tetap besar. Pada saat yang bersamaan, Indonesia juga menyaksikan makin tingginya prevalensi kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas, serta defisiensi mikronutrien (micronutrient deficiency) di masyarakat. Indonesia menghadapi tiga beban malnutrisi, yaitu gizi kurang yang berdampingan dengan kelebihan gizi (overnutrition) dan defisiensi mikronutrien. Selain itu, di tengah upaya mengatasi persoalan-persoalan lama terkait ketahanan pangan dan gizi, Indonesia kini menghadapi krisis baru yang dipicu oleh pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Oleh karena itu, diperlukan strategi baru yang lebih baik agar Indonesia mampu mencapai Agenda 2030, khususnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDG) 2, yang menyebutkan bahwa Indonesia akan memberantas kelaparan dan mengatasi malnutrisi, serta meningkatkan produktivitas pertanian secara inklusif dan berkelanjutan paling lambat pada 2030.

Laporan ini merupakan pemutakhiran Tinjauan Strategis Ketahanan Pangan dan Gizi di Indonesia Tahun 2014–2015. Penyusunan laporan ini dimulai sejak Agustus 2019 dan diperpanjang sampai pertengahan Juli 2020 untuk mengupas dampak awal pandemi COVID-19 terhadap ketahanan pangan dan gizi. Laporan ini didasarkan pada data sekunder terbaru yang tersedia, informasi terbaru tentang kebijakan dan program yang berhubungan dengan ketahanan pangan dan gizi, serta wacana dan isu-isu terbaru yang muncul, termasuk dampak pandemi COVID-19 terhadap ketahanan pangan dan gizi. Laporan ini menyajikan (i) informasi terkini tentang kondisi ketahanan pangan dan gizi sejak dipublikasikannya Tinjauan Strategis Ketahanan Pangan dan Gizi di Indonesia Tahun 2014–2015, sebagian besar dengan merujuk pada data mulai 2013 sampai data terkini yang tersedia dan mencakup tiga dimensi ketahanan pangan (ketersediaan, akses, dan pemanfaatan), tren status gizi, efek bencana dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan dan gizi, dan tantangan baru dalam bidang gizi; (ii) analisis atas perkembangan terbaru dalam kebijakan dan program pemerintah dalam meningkatkan ketahanan pangan dan gizi, baik di tingkat pusat maupun daerah; (iii) potensi dampak pandemi COVID-19 terhadap ketahanan pangan dan gizi (sampai Juli 2020); serta (iv) kesimpulan dan saran terkait tindakan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi di Indonesia.

Analisis situasi menunjukkan bahwa Indonesia berhasil mencatat beberapa kemajuan penting dalam meningkatkan ketahanan pangan dan gizi. Meski demikian, masih terdapat beberapa tantangan yang dihadapi. Pertama, peningkatan produksi sebagian komoditas pangan, khususnya beras, belum bisa mengimbangi kenaikan konsumsi dan kebutuhan akan komoditas ini. Masih tingginya ketergantungan terhadap impor beras dapat mengancam ketahanan pangan selama krisis akibat pandemi COVID-19. Kedua, meski prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan (prevalence of undernourishment) terus menurun, sekitar 21 juta orang di Indonesia masih memiliki asupan kalori di bawah kebutuhan pangan minimum pada 2018. Kemiskinan dan relatif tingginya harga pangan terhadap pendapatan masih menjadi tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam upaya meningkatkan akses pangan. Ketiga, pola konsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia masih kurang ideal, dengan karbohidrat masih mendominasi asupan kalori; konsumsi protein, buah-buahan, dan sayuran masih belum mencukupi; serta peningkatan konsumsi makanan olahan dan siap saji di perkotaan maupun perdesaan. Keempat, meski prevalensi stuntingi , berat badan kurang (underweight), dan wastingii di kalangan anak usia di bawah 5 tahun menurun sejak 2013, prevalensi gizi kurang masih tinggi menurut standar internasional. Selain itu, prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas terus meningkat di kalangan anak usia 6 sampai 12 tahun, remaja, dan orang dewasa. Bukti juga menunjukkan bahwa defisiensi mikronutrien banyak terjadi meski data yang representatif belum dikumpulkan selama bertahun-tahun. Krisis yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 dan kebijakan pembatasan sosial dapat mengikis kemajuan yang telah dicapai selama ini.

Analisis kebijakan menyoroti beberapa perkembangan baru yang penting dan kesenjangan kebijakan yang ada di bidang ketahanan pangan dan gizi. Indonesia masih harus berjuang mengatasi tantangan besar dalam meningkatkan keragaman produksi pangan yang dapat mendukung perbaikan gizi menuju gizi yang lebih seimbang. Fokus pemerintah pada peningkatan produksi beras selama ini belum mampu memenuhi ambisi untuk mengurangi ketergantungan pada impor secara signifikan. Hal ini berkontribusi pada kurangnya upaya untuk meningkatkan produksi buah-buahan dan sayuran, serta sumber protein nabati dan hewani, dengan pengecualian pada ikan. Oleh karena itu, pemerintah perlu untuk tidak hanya meningkatkan produktivitas tanaman pangan, tetapi juga memberikan dukungan yang lebih besar pada produksi komoditas pangan yang lebih bervariasi. Selain itu, pengakuan dan dukungan terhadap peran perempuan dalam pertanian, serta ketahanan pangan dan gizi perlu ditingkatkan. Pemerintah juga perlu meningkatkan dukungan terhadap perempuan agar memiliki akses yang lebih baik terhadap peluang usaha di sektor pertanian sehingga dapat mengurangi kesenjangan gender yang masih ada.

Terkait akses pangan, Indonesia mencatat kemajuan yang signifikan dalam pengembangan skema perlindungan sosial sebagai sarana untuk memastikan bahwa akses pangan bagi masyarakat miskin dan rentan sudah memadai. Hal ini penting mengingat harga komoditas pangan, khususnya beras, di Indonesia masih lebih tinggi daripada harga di pasar internasional. Selain itu, pemerintah juga telah berupaya memperbaiki skema perlindungan sosial–khususnya Program Sembako dan Program Keluarga Harapan (PKH)–agar menjadi lebih peka terhadap kebutuhan gizi rumah tangga penerima. Namun, ada beberapa kendala pelaksanaan yang masih perlu diperhatikan, terutama dalam meningkatkan kualitas basis data rumah tangga penerima agar program perlindungan sosial dapat lebih tepat sasaran dan upaya untuk meningkatkan kepekaan program perlindungan sosial dan bantuan sosial rutin yang diberikan dalam situasi bencana atau krisis terhadap kebutuhan gizi rumah tangga penerima bantuan.

Indonesia masih menghadapi banyak tantangan dalam meningkatkan pemanfaatan pangan. Terkait keamanan pangan, peraturan yang ada terkait keamanan pangan perlu diperbarui. Kapasitas organisasi pemantau dan pendidikan keamanan pangan untuk masyarakat juga perlu ditingkatkan. Untuk meningkatkan keanekaragaman pangan, perumusan skor Pola Pangan Harapan (PPH) perlu diperbaiki agar dapat menyasar proporsi asupan karbohidrat yang lebih rendah dan proporsi asupan buah-buahan dan sayuran yang lebih tinggi sesuai dengan panduan gizi seimbang yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan. Terkait upaya untuk meningkatkan gizi, meski telah dilakukan beberapa hal penting untuk meningkatkan intervensi gizi sensitif dan gizi spesifik, efektivitas upaya-upaya tersebut perlu ditingkatkan dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan semua pemangku kepentingan di semua tingkat pemerintahan serta membuatnya lebih menyeluruh dan terpadu. Selain itu, pemerintah perlu pula memberikan perhatian lebih pada ketersediaan data defisiensi mikronutrien yang dapat dijadikan sebagai dasar pijakan dalam mengatasi semua aspek dari tiga beban malnutrisi, seperti melalui fortifikasi pangan.

Dalam hal kelembagaan, pendekatan terbaru yang melimpahkan kepemimpinan kepada wakil presiden dimaksudkan untuk memperkuat upaya koordinasi untuk meningkatkan gizi, khususnya terkait penurunan stunting. Usaha untuk mengaitkan aspek produksi, akses, dan pemanfaatan pangan dari ketahanan pangan dengan upaya perbaikan gizi memang membutuhkan perhatian lebih lanjut. Oleh karena berbagai kewenangan terkait ketahanan pangan dan layanan gizi sensitif berada di tangan pemerintah daerah (kabupaten/kota), para pemangku kepentingan perlu bersama-sama berupaya menerjemahkan kebijakan pusat ke dalam berbagai tindakan yang efektif di tingkat daerah. Terkait hal ini, pendekatan terbaru yang telah diambil pemerintah, yaitu penargetan daerah, dan fokus pemerintah pada pendekatan terpadu terhadap kabupaten/kota dan desa target berpotensi melahirkan hasil yang lebih efektif.

Pada 2020, tantangan untuk menangani kerawanan pangan dan malnutrisi menjadi makin besar akibat pandemi COVID-19. Badan Pusat Statistik (2020) menunjukkan bahwa akibat kontraksi ekonomi sebesar 2,4% (perbandingan antarkuartal) yang dialami Indonesia pada kuartal pertama 2020, sekitar 1,6 juta penduduk jatuh ke dalam kemiskinan antara September 2019 dan Maret 2020 (Badan Pusat Statistik, 2020d; 2020e). Pemerintah berupaya menangani hal ini dengan memperluas cakupan program perlindungan sosial. Namun, persoalannya adalah kurang mutakhirnya basis data rumah tangga penerima sehingga menimbulkan risiko kegagalan untuk menyasar kelompok-kelompok paling rentan, seperti rumah tangga berkepala keluarga perempuan dan penyandang disabilitas. Karena pandemi COVID-19 juga telah memengaruhi pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah di bidang kesehatan dan gizi, diperlukan tindakan-tindakan darurat guna memastikan keberlangsungan layanan-layanan tersebut.

Berdasarkan analisis tersebut, laporan ini mengajukan beberapa saran kepada pembuat kebijakan untuk mengatasi dampak COVID-19 terhadap ketahanan pangan dan gizi. Penanggulangan dampak COVID-19 mengharuskan pemerintah untuk mengutamakan perspektif jangka pendek guna memastikan agar pandemi tidak mengikis kemajuan yang telah dicapai selama ini dalam ketahanan pangan dan gizi dan memastikan Indonesia dapat melanjutkan upaya untuk mencapai TPB/SDG 2 pada 2030. Berikut adalah saran-saran tersebut.

  1. Ketersediaan pangan: Pemerintah perlu memantau stok beras secara ketat dan menempuh kebijakan perdagangan fleksibel yang memungkinkan pemerintah untuk melakukan penyesuaian impor pada saat dibutuhkan. Pemerintah juga harus mempertahankan insentif petani demi menjaga produksi pangan dengan menjamin ketersediaan input produksi, kelonggaran waktu untuk pelunasan pinjaman, dan akses ke pasar. Peningkatan dalam bidang transportasi dan sistem rantai pasokan juga diperlukan untuk memastikan komoditas pangan tetap tersedia di pasaran dengan harga yang tidak naik.
  2. Akses pangan: Pemerintah perlu terus memastikan bahwa semua rumah tangga miskin dan rentan mendapatkan bantuan sosial untuk mengurangi dampak COVID-19 terhadap ketahanan pangan dan gizi. Upaya untuk memperluas cakupan program perlindungan sosial perlu melibatkan pemerintah daerah dan lembaga nirlaba atau organisasi masyarakat.
  3. Pemanfaatan pangan: Pemerintah perlu memastikan bahwa anak-anak serta ibu hamil dan ibu menyusui dapat mengakses kembali layanan kesehatan, khususnya di pos pelayanan terpadu (posyandu) dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang ditutup dalam beberapa bulan terakhir karena dampak COVID-19–tanpa mengorbankan keselamatan tenaga kesehatan atau pasien yang sehat.
  4. Gizi: Untuk mencegah meningkatnya prevalensi wasting dan stunting selama krisis yang ditimbulkan pandemi COVID-19, pemerintah perlu memperluas penyediaan makanan tambahan, seperti biskuit fortifikasi, untuk membantu anak-anak serta ibu hamil dan ibu menyusui dari kelompok miskin dan rentan dalam memenuhi kebutuhan gizi mereka.

Tindakan yang menyentuh berbagai aspek ketahanan pangan dan gizi diperlukan untuk mengatasi tidak hanya permasalahan-permasalahan yang sudah ada sejak lama dalam ranah ketahanan pangan dan gizi tetapi juga tantangan-tantangan baru yang muncul, khususnya terkait dengan timbulnya tiga beban malnutrisi. Pemerintah harus tetap berada dalam jalur yang benar dan memastikan bahwa TPB/SDG 2 dapat dicapai paling lambat pada 2030 tanpa seorang pun tertinggal. Oleh sebab itu, kajian ini mengajukan saran-saran berikut:

  1. Perluas fokus kebijakan untuk menanggulangi bukan hanya stunting melainkan juga tiga beban malnutrisi. Pemerintah harus memperluas fokus kebijakannya di bidang ketahanan pangan dan gizi agar tidak hanya terpusat pada persoalan stunting, tetapi juga pada aspek-aspek lain malnutrisi, khususnya persoalan wasting, obesitas, kelebihan berat badan, dan defisiensi mikronutrien. Terkait defisiensi mikronutrien, survei yang representatif sangat diperlukan untuk memberikan dasar pijakan yang bisa digunakan untuk membuat perencanaan pemberian suplemen dan fortifikasi pangan.
  2. Galakkan gizi seimbang melalui komunikasi perubahan sosial dan perilaku yang efektif dengan masyarakat. Untuk menggalakkan gizi seimbang, pemerintah perlu untuk tidak hanya memperbaiki strategi komunikasi massanya tetapi juga terus mendukung masyarakat dalam mewujudkan pesan-pesan kampanye tersebut dalam praktik sehari-hari. Misalnya, harga pangan yang beragam harus terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, baik secara langsung maupun melalui kebijakan perlindungan sosial.
  3. Tingkatkan akses masyarakat terhadap pangan yang beragam melalui pengembangan sistem pangan yang beragam, tahan terhadap guncangan iklim, dan peka terhadap kebutuhan gizi. Pemerintah juga harus memastikan ketersediaan dan akses pangan yang beragam dengan mengembangkan sistem pertanian yang beragam dan peka terhadap kebutuhan gizi serta tahan terhadap guncangan iklim. Akses terhadap pangan yang beragam juga dapat ditingkatkan dengan memperbaiki keterjangkauan pangan dalam masyarakat.
  4. Pastikan bahwa program perlindungan sosial benar-benar menyasar pihak yang paling membutuhkan sehingga tidak ada yang tertinggal. Secara keseluruhan, pendanaan untuk program perlindungan sosial terbatas; oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa kesalahan dalam memasukkan dan mengeluarkan penerima manfaat sedapat mungkin dicegah dan membuat program tersebut lebih peka gender dan penyandang disabilitas, gizi sensitif, dan adaptif terhadap guncangan.
  5. Pastikan pemanfaatan pangan yang tepat. Karena hanya tubuh yang sehat yang dapat menyerap kandungan nutrisi pangan yang beragam dengan baik, akses terhadap air bersih dan sanitasi (termasuk fasilitas toilet) masih perlu diperluas, khususnya untuk kelompok masyarakat miskin dan rentan. Jaminan layanan kesehatan, khususnya untuk anak-anak serta ibu hamil dan ibu menyusui, juga harus dipastikan cakupannya bagi kelompok-kelompok ini.
  6. Atasi ketimpangan gender untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi. Pemerintah perlu mengatasi berbagai masalah yang berkontribusi terhadap ketimpangan gender yang berkesinambungan dan makin buruk, serta membantu perempuan agar memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi tentang gizi dan pola pangan yang beragam, sarana produksi dan pemasaran pertanian, layanan kesehatan, perlindungan sosial, akses pendidikan, dan peluang ekonomi secara umum.
  7. Perkuat sistem pemantauan dan evaluasi untuk meningkatkan kebijakan dan program pemerintah di bidang ketahanan pangan dan gizi. Pemerintah harus memperkuat sistem pemantauan dan evaluasi mereka dalam bidang ketahanan pangan dan gizi. Pemantauan dan evaluasi yang ketat harus dilakukan dan mekanisme yang tepat harus ditetapkan demi memastikan bahwa hasil pemantauan dan evaluasi akan menghasilkan perbaikan kebijakan dan program.
  8. Perkuat tata kelola ketahanan pangan dan gizi atau sistem pangan secara keseluruhan dengan membentuk lembaga koordinasi kebijakan yang efektif. Pemerintah perlu meningkatkan tata kelola ketahanan pangan dan gizi dengan memperkuat koordinasi kebijakan ketahanan pangan dan gizi di bawah kantor wakil presiden (Stranas Stunting). Lembaga ketahanan pangan dan gizi yang efektif sangat diperlukan untuk mengatur dan mengoordinasikan kerja-kerja beragam pemangku kepentingan yang berbeda di bidang ketahanan pangan dan gizi.

_______________

iStunting atau kondisi pendek ditandai dengan kurangnya tinggi/panjang badan menurut umur anak. Kondisi stunting disebabkan masalah gizi yang berlangsung lama atau masalah gizi kronis (Kementerian Kesehatan, 2019b). Nilai ukurannya biasanya dinyatakan dalam bentuk z-score tinggi badan per umur (height-for-age z-score, HAZ). Seorang anak disebut mengalami stunting jika standar deviasi HAZ-nya kurang dari -2 (World Health Organization, 2006).
iiWasting atau kondisi kurus ditandai dengan kurangnya berat badan menurut panjang/tinggi badan anak. Kondisi ini disebabkan kekurangan makanan atau penyakit infeksi yang terjadi dalam waktu singkat. Karakteristik masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita kurus adalah masalah gizi akut (Kementerian Kesehatan, 2019b). Nilai ukuran wasting biasanya dinyatakan dalam bentuk z-score berat badan per tinggi badan (weight-for-height z-score, WHZ). Seorang anak disebut mengalami wasting jika standar deviasi WHZ-nya kurang dari -2 (World Health Organization, 2006).

Bagikan laman ini

Penulis 
Ana Rosidha Tamyis
Widjajanti Isdijoso
Sirojuddin Arif
Akhmad Ramadhan Fatah
Wilayah Studi 
Nasional
Jawa Timur
Nusa Tenggara Timur
Kata Kunci 
ketahanan pangan
gizi
Tipe Publikasi 
Laporan
Ikon PDF Download (1.94 MB)