.
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia (TCID).
.
Selama ini kesenjangan akses dan kualitas pendidikan antara Pulau Jawa dan luar Jawa begitu besar.
Dari daftar 100 sekolah menengah atas terbaik tahun ini dengan rata-rata nilai ujian nasional di atas 80, hanya 11 sekolah yang di luar Jawa. Selebihnya di Pulau Jawa. Dari 11 itu, 9 di Pulau Sumatra dan 2 di Kalimantan. Tak ada dari Indonesia timur.
Tanpa teknologi, pemerintah sulit menjawab masalah kesenjangan pendidikan tersebut.
Rampungnya konstruksi proyek Palapa Ring Timur pada Agustus lalu memberikan harapan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia timur potensial meningkat dan kesenjangan pendidikan antar pulau akan teratasi.
Kabel serat optik yang kini membentang di 35 kabupaten/kota dari Nusa Tenggara Timur sampai Papua itu akan menyediakan akses internet cepat. Hal ini sangat berguna bagi siswa dan guru untuk mengakses materi pembelajaran berkualitas yang berlimpah di internet.
Infrastruktur dan akses internet ini bisa mendorong peningkatan kualitas dan akses pendidikan sepanjang dilengkapi dengan visi dan kebijakan yang jelas, inklusif, baiknya kapasitas guru, dan isi dan alat/teknologi pembelajaran yang berkualitas..
Beberapa riset di negara lain membuktikan teknologi internet mampu menaikkan kualitas pembelajaran.
Sebuah riset di sekolah menengah pertama di New Delhi, India, dengan sampel 619 siswa, menunjukkan pemberian akses aplikasi pembelajaran, yang dikenal dengan nama Mindspark, terbukti meningkatkan dengan cepat dan tinggi skor tes dalam bidang matematika dan bahasa.
Teknologi yang memuat video, game, dan aktifitas pembelajaran ini dapat meningkatkan skor tes semua siswa, termasuk yang sebelumnya lemah secara akademis saat memakai metode pembelajaran konvensional. Bahkan meningkatnya mencapai 200-400%.
Mindspark dapat digunakan di sekolah, di rumah, atau mandiri, juga bisa dipakai di komputer, tablet, ponsel. Juga bisa diakses secara online maupun offline.
Di Indonesia, teknologi dan konten serupa sudah banyak, tapi sayangnya belum ada riset yang mengukur dampak teknologi pembelajaran terhadap pemahaman siswa padahal pengamatan saya menunjukkan bahwa dampak positif teknologi terhadap proses belajar siswa juga terjadi di Indonesia.
Belajar dengan internet
Kini ada kemudahan akses mendapatkan materi pembelajaran bermutu dengan biaya terjangkau melalui solusi yang ditawarkan oleh beraneka platform pembelajaran digital.
Pada 2011, Kemendikbud meluncurkan portal bimbingan belajar Rumah Belajar yang memuat bahan pembelajaran untuk siswa dari pendidikan anak usia dini hingga sekolah menengah atas. Layanan gratis ini bisa diakses oleh para guru dan siswa selama mereka mempunyai akses internet dan telepon pintar atau komputer.
Tujuh tahun kemudian, baru terbit Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 9/2018 tentang Pemanfaatan Rumah Belajar yang dikirim ke pimpinan unit utama Kemendikbud dan kepala daerah di seluruh Indonesia. Surat ini pun masih memerlukan berbagai tindaklanjut untuk mendorong sekolah menggunakan aplikasi ini.
Selain dari pemerintah, tersedia juga bimbingan belajar online swasta Ruangguru, yang didirikan 2014 dan dimodali sejumlah investor global dan nasional. Mereka lebih populer di masyarakat dan media massa karena mereka menggenjot iklan di televisi secara serentak pada awal tahun ajaran sekolah, internet, dan media luar ruang.
Selain itu, kini banyak platform pembelajaran digital yang berbahasa Indonesia, mulai dari yang gratis sampai berbayar relatif mahal, baik yang berbasis di dalam maupun luar negeri. Mereka di antaranya Zenius, Quipper, Klassku, Edmodo, Kahoot dan Kelase.
Siswa yang bisa berbahasa Inggris mempunyai kesempatan lebih besar untuk berselancar di dunia pembelajaran digital. Beberapa aplikasi pembelajaran digital yang berbahasa asing untuk tujuan membantu siswa, antara lain, Byju’s, Science Animation, dan Self-Organized Learning Environment (SOLE). Bagi mereka yang ingin belajar bahasa, dapat mengklik aplikasi gratis Duolingo yang menyediakan puluhan macam bahasa yang bisa dipelajari secara daring.
Dampak pembelajaran digital ini secara personal cukup terasa.
Tetangga saya bercerita tentang kemajuan anaknya yang menggunakan aplikasi pelajaran, walau pelajaran tersebut belum diajarkan di sekolah dasar sebelumnya. Juli lalu, saat awal belajar di kelas 1 SMP untuk pelajaran Fisika dan Matematika, anak tetangga ini, Adi, terlihat lebih cepat paham dibanding teman sekelasnya. Gurunya bertanya: “Siapa yang mengajari Adi?”
Rupanya menjelang masuk SMP, Adi mengunduh aplikasi Klassku dengan bimbingan orang tuanya. Klassku adalah sebuah platform pembelajaran digital yang berbayar murah, Rp 25 ribu per kelas per tahun.
Pada 30 Agustus 2019, saya ikut duduk di kelas selama dua jam di SDN 01 Benteng Pasar Atas, Bukitinggi, Sumatra Barat. Sejak 2017 sekolah ini melaksanakan pilot kelas digital pada satu dari 3 rombongan belajar kelas 5. Siswa menggunakan laptop atau ponsel.
Di sesi awal jadwal pertama pelajaran pagi itu siswa mengerjakan kuis menggunakan aplikasi Kahoot dengan tujuan mengingat kembali pelajaran hari-hari sebelumnya. Setelah itu, guru meminta siswa membuka aplikasi Edmodo dengan tugas masing-masing mencari contoh “usaha ekonomi perorangan” dan “usaha ekonomi bersama.”
Siswa mengkombinasikan kegiatan ini dengan memanfaatkan mesin pencari Google. Guru memonitor kegiatan setiap siswa melalui laptopnya. Jaringan wifi disediakan oleh sekolah.
Menurut guru kelas, hasil dari penggunaan teknologi pendidikan bisa dilihat dari nilai ujian akhir saat kelas empat. Kelas yang menggunakan media laptop dan ponsel hasil ujiannya lebih bagus dibanding kelas reguler. “Siswa juga lebih kreatif setelah memakai laptop dan ponsel,” kata guru.
Infrastruktur dan akses satelit untuk sekolah
Sebuah riset skala kecil di satu sekolah menengah atas swasta di Kalimantan Utara menunjukkan semakin tinggi penggunaan internet sebagai sumber belajar, semakin tinggi pula motivasi belajar siswa.
Riset tersebut menunjukkan pentingnya akses internet di sekolah.
Kini jumlah siswa dari sekolah dasar sampai menengah atas sekitar 45 juta anak. Lebih dari separuh (56%) adalah siswa sekolah dasar.
Mereka tak hanya di kota yang infrastruktur internetnya bagus, tapi juga tersebar di pedesaan dan pedalaman yang sulit mengakses internet. Di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, totalnya ada sekitar 300 ribu sekolah, sementara sekitar 78 ribu madrasah di bawah Kementerian Agama.
Memang lebih mungkin menggunakan satelit untuk memberikan layanan internet di ratusan ribu sekolah tersebut, seperti rencana proyek satelit Satria yang akan beroperasi pada 2023. Ini melengkapi proyek Palapa Ring.
Satu hal yang perlu dicatat, setelah ada jaringan internet, pemerintah perlu menjamin agar semua sekolah dan madrasah terjangkau sinyal dan terpasang wifi yang cepat dan gratis. Hal ini akan membantu orang tua siswa mengurangi biaya kuota internet. Biaya langganan wifi di sekolah bisa diambil dari anggaran Bantuan Operasional Sekolah atau sumber lainnya.
Kapasitas guru
Meskipun memberi manfaat, media pembelajaran digital tidak bisa menggantikan guru.
Media pembelajaran digital membantu aktifitas pembelajaran siswa. Sebab, di satu sisi, banyak orang tua yang tidak bisa membimbing anaknya belajar karena berpendidikan rendah atau jarang berada di rumah. Di sisi lain, masih banyak guru yang kemampuan mengajarnya diragukan, sebagaimana terindikasi bahwa lebih dari separuh mereka tidak lulus uji kompetensi guru.
Digitalisasi pembelajaran pada dasarnya dapat meringankan beban guru. Purwanto Sujiatmojo, ahli desain pembelajaran PTP Pustekkom, Kemendikbud, misalnya, menganjurkan guru menggunakan model Self-Organized Learning Environment (SOLE) yang membagi proses belajar dalam tiga sesi. Mulai dengan menentukan isu yang akan dicari penjelasannya, kemudian mencari informasi sebanyak mungkin melalui media digital, dan diakhiri dengan refleksi atas pembelajaran tersebut.
Dalam pelaksanaan pembelajaran model SOLE, tugas guru adalah mendampingi dan mengawasi seluruh kegiatan siswa.
Tentu saja, tugas guru tidak mudah. Guru harus terus belajar karena pengetahuan terus berkembang. Guru perlu memahami dan memiliki ketrampilan dalam menggunakan perangkat pembelajaran berbasis digital.
Kebijakan penggunaan ponsel di sekolah
Banyak pemangku kepentingan pendidikan, baik birokrat, guru maupun orang tua melarang siswa membawa ponsel ke sekolah.
Mereka mengkhawatirkan ponsel mengganggu proses pembelajaran atau siswa menyalahgunakannya. Namun, di pihak lain, mereka memberi ruang longgar untuk anak membuka ponsel di luar sekolah.
Masalah ini tidak sesederhana yang dibayangkan. Sejauh ini hasil penelitian mengenai dampak penggunaan ponsel oleh siswa masih menjadi perdebatan di banyak negara. Sementara di Indonesia belum ada penelitiannya.
Meskipun perangkat pembelajaran digital sekarang masih merupakan kegiatan individual, ke depan tidak mungkin ditolak untuk berkembang menjadi program kelas. Terkait dengan pembelajaran model SOLE, misalnya, pelarangan penggunaan ponsel otomatis menjadi penghambat.
Penggunaan ponsel di bawah pengawasan guru dalam rangka pembelajaran, apalagi dilakukan di sekolah perlu diberi ruang. Dalam kaitan ini, masyarakat, orang tua dan guru hendaknya menunjukkan sikap percaya, bukan mencurigai anak.