.
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.
.
Industri ekonomi digital digadang-gadang menjadi sektor yang berpeluang mendapat banyak keuntungan selama pandemi COVID-19. Hal ini karena industri tersebut dianggap memiliki kelincahan dalam memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi untuk merespons perubahan perilaku pasar yang mendadak beralih dari transaksi fisik ke digital.
Namun, fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal hingga penutupan layanan yang menghantam platform-platform digital justru menyiratkan situasi sebaliknya. Tidak hanya terjadi di perusahaan-perusahaan besar, seperti Shopee dan Zenius, tantangan mempertahankan kondisi keuangan lembaga akibat pandemi juga dialami perusahaan-perusahaan teknologi rintisan (startup) yang lebih kecil.
Setidaknya, lebih dari 10% startup di Indonesia telah gulung tikar pada semester pertama 2021. Pengusaha multimedia Harry Tanoesudibjo bahkan menyebut fenomena ini sebagai tanda berakhirnya masa kejayaan startup.
Tak semua startup kebal pandemi
Penelitian kami yang sedang berjalan di SMERU, didanai oleh Asian Development Bank (ADB), menemukan penjelasan bagaimana pandemi COVID-19 dapat mempengaruhi ketahanan startup. Studi ini menggunakan metode pengumpulan data kualitatif terhadap 40 kasus perusahaan rintisan teknologi di sektor agrikultur, energi bersih, pendidikan, dan kesehatan.
Secara umum, kami mendapati kesan bahwa startup di sektor pendidikan dan kesehatan lebih mampu bertahan selama pandemi dibanding mereka yang bergerak di sektor agrikultur dan energi bersih. Salah satu informan kami di sektor pendidikan mengungkapkan bahwa mereka berhasil mencetak rekor jumlah klien terbesarnya pada saat pandemi karena tingginya permintaan perusahaan akan pelatihan jarak jauh.
Di satu sisi, pandemi memang meningkatkan permintaan pasar akan produk dan layanan dasar digital, seperti e-learning dan konsultasi kesehatan online. Namun permintaan pasar yang meningkat tersebut belum tentu mampu dikonversi menjadi keuntungan bila ketahanan bisnis startup terganggu.
Dalam studi ini, kami melihat ada dua konteks penting yang mempengaruhi ketahanan startup pada masa pandemi COVID-19. Pertama, ketahanan startup tidak bisa dilepaskan dari kondisi perekonomian dunia yang melemah selama pandemi, yang mengakibatkan terganggunya arus investasi dan rantai pasok global.
Kedua, tidak semua startup menjalankan usahanya murni pada pengembangan konten atau layanan digital saja. Ini artinya banyak startup yang mengembangkan platform digital namun keberlanjutan produknya sangat bergantung pada usaha di sektor lain, yang mungkin belum siap menghadapi pandemi.
Contohnya di sektor energi bersih, sejumlah startup yang menjalankan bisnis pengelolaan sampah mengeluh kehilangan bahan bakunya setelah banyak rumah makan dan penginapan berhenti beroperasi akibat pandemi.
Dua konteks inilah yang kemudian mempengaruhi ketahanan startup yang dapat dilihat dari tiga aspek internal, yaitu strategi bisnis, tata kelola perusahaan, dan jejaring. Ketidakmampuan startup dalam mengelola ketiga aspek tersebut membuat mereka kesulitan mengambil peluang ekonomi selama pandemi, bahkan untuk tetap mempertahankan usahanya.
Sulitnya mengubah strategi bisnis
Pada saat pandemi, hampir seluruh startup yang menjadi informan kami melakukan penyesuaian terhadap strategi bisnisnya. Salah satu strategi yang paling umum adalah mempercepat injeksi digital terhadap mitra dan karyawannya, serta pengembangan platform digital agar lebih mudah diakses oleh masyarakat. Namun, upaya-upaya ini saja belum cukup.
Strategi mengubah bisnis dengan fokus kepada usaha yang lebih menguntungkan, atau yang lebih dikenal dengan istilah pivot, sering menjadi rekomendasi untuk mengatasi bisnis startup yang lesu di tengah pandemi.
Dalam studi kami, beberapa platform di sektor pendidikan dan kesehatan cukup berhasil melakukan strategi ini. Misalnya, salah satu startup di sektor kesehatan yang meraup keuntungan usai memfokuskan lebih dari 90% bisnisnya pada layanan tes antigen dan PCR COVID-19, bekerja sama dengan sejumlah rumah sakit di daerah.
Analisis kami juga menunjukkan bahwa pivot lebih mungkin dilakukan oleh startup-startup besar yang telah memiliki sumber daya cukup besar dan berpengalaman. Memunculkan ide baru dan memformulasikannya ke dalam model bisnis adalah tantangan yang paling sering diungkapkan informan.
Studi kami menunjukkan bagaimana sebuah kasus startup pengelola sampah bergulat melakukan pivoting. Mereka tetap kesulitan memperoleh keuntungan meski telah mengubah strategi bisnisnya dari mengumpulkan limbah secara business to business (B2B) dengan mitra restoran ke business to consumer (B2C) langsung di tingkat rumah tangga. Hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa banyak rumah tangga yang belum memahami proses pemisahan limbah sehingga hasilnya tidak memenuhi target.
Strategi pivoting justru bisa menjadi bumerang bagi ketahanan startup bila hanya mengandalkan keberanian. Tidak semua startup, misalnya, memiliki sumber daya untuk melakukan riset pasar guna mengetahui perubahan perilaku masyarakat selama pandemi.
Sejumlah startup dalam studi kami juga telah mengupayakan diversifikasi atau peragaman produk sebagai usaha percobaan. Namun, strategi ini tidak selalu berhasil, salah satunya karena startup tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan pemasaran selama pandemi.
Tata kelola dan jejaring
Lesunya perekonomian global dan sulitnya menyesuaikan strategi bisnis tentu mempengaruhi tata kelola internal startup.
Mereka harus berhadapan dengan masalah kesehatan arus kas (cash flow) untuk mengembangkan produk dan mempertahankan sumber daya manusianya. Rasionalisasi anggaran menjadi upaya bertahan startup, beberapa di antaranya dengan membatasi rekrutmen, belanja pemasaran, kegiatan pameran luar jaringan (offline), serta peningkatan kualitas sumber daya manusia dan mitra. Sejumlah startup bahkan terpaksa memberhentikan karyawannya untuk menjaga kesehatan finansial lembaga.
Di sisi lain, cukup banyak startup yang menghadapi permasalahan jejaring dan kolaborasi. Sejumlah startup, terutama di sektor agrikultur dan energi bersih, menjelaskan bagaimana mitra-mitra lokal mereka di lapangan, seperti petani atau petugas sampah, belum siap beradaptasi secara digital.
Secara eksternal, cukup banyak startup mengaku kehilangan sejumlah proyek kolaborasi dan pendanaan, baik dengan pemerintah daerah, investor, atau perusahaan lain.
Salah satu startup di sektor agrikultur yang menjadi informan kami menceritakan bagaimana kontrak tentang proyek percontohan mereka dengan pemerintah daerah gagal ditandatangani akibat pembatasan kegiatan operasional di lapangan dan perampingan anggaran.
Meningkatkan ketangguhan startup
Hasil kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang kami peroleh saat wawancara mengungkapkan bahwa hampir 20% dari 533 startup yang disurvei telah berhenti beroperasi selama pandemi. Meski demikian, mayoritas startup yang gagal bertahan tersebut masih berniat melanjutkan usahanya setelah pandemi berakhir.
Peningkatan kapasitas kelembagaan menjadi strategi kunci untuk memperkuat ketangguhan startup selama pandemi.
Pertama, pemerintah perlu memfasilitasi startup untuk mengakses berbagai dukungan finansial. Dukungan finansial tersebut dapat berupa bantuan pemulihan ekonomi atau pinjaman berbunga ringan dan jangka panjang. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa akses pendanaan yang diberikan telah matang sejak perencanaan disertai dengan upaya monitoring, evaluasi, dan exit strategy.
Kedua, pemerintah perlu memfasilitasi startup untuk menyesuaikan strategi bisnisnya selama pandemi. Fasilitasi ini dapat berupa wadah yang mempertemukan startup antarjenjang dan sektor untuk saling belajar dan berkolaborasi mengimplementasikan pivot. Bahkan pemerintah juga dapat memfasilitasi kebutuhan infrastruktur bagi startup melakukan uji coba produknya.
Dalam situasi pandemi, pemerintah memang diharapkan hadir untuk membantu sektor-sektor usaha, termasuk perusahaan rintisan. Pandemi COVID-19 mungkin saja berakhir dalam waktu dekat, namun situasi global tak menentu pada masa depan tetap menuntut kelincahan startup dalam menjalankan usahanya.