Cek Fakta: Apakah Benar Kemiskinan di Desa Menurun Dua Kali Lipat Dibanding di Kota?

19 November 2018

.

Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia (TCID)

.

Calon presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo pada 5 November 2018 melontarkan pernyataan bahwa angka kemiskinan di desa menurun dua kali lipat dibanding di kota.

Tapi apakah benar seperti itu?

 

Respons dari pihak Jokowi

The Conversation menghubungi Kantor Staf Presiden untuk menanyakan penjelasan di balik pernyataan Jokowi. Mereka menjelaskan bahwa pernyataan Jokowi berdasarkan data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang mengutip laporan terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) terkait angka kemiskinan pada periode Maret 2017-2018.

 

Data penurunan angka kemiskinan di desa. BPS 2018

Untuk mengecek kebenaran klaim Jokowi, The Conversation bertanya kepada peneliti ilmu ekonomi dari SMERU Research Institute Ridho Al Izzati.

 

Analisis

Sebelum menguji klaim tersebut, kita perlu mengetahui indikator yang dipakai oleh pemerintah Indonesia untuk menentukan angka kemiskinan. Ukuran-ukuran berikut diperkenalkan oleh ekonom James Foster, Joel Greer, dan Erik Thorbecke pada tahun 1984 untuk mengukur tingkat kemiskinan.

Ukuran-ukuran tersebut adalah:

  1. Persentase penduduk miskin atau tingkat kemiskinan yaitu persentase orang yang hidup di bawah garis kemiskinan terhadap total populasi. Dari indikator ini, kita bisa menentukan berapa jumlah orang miskin.

  2. Tingkat kedalaman kemiskinan yaitu indikator yang menunjukkan sejauh atau sedalam apa pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan. Indikator ini diukur dengan menghitung rata-rata jarak pendapatan orang miskin dengan garis kemiskinan. Artinya jika semakin jauh jaraknya dari garis kemiskinan, maka kondisinya semakin miskin.

  3. Tingkat keparahan kemiskinan yaitu indikator yang menunjukkan ketimpangan pendapatan di antara orang miskin. Indikator ini adalah rata-rata dari kuadrat tingkat kedalaman kemiskinan. Penghitungan ini dilakukan untuk mengetahui sebaran pendapatan orang miskin dan seberapa jauh orang paling miskin terhadap orang yang dekat dengan garis kemiskinan.

BPS menggunakan ketiga ukuran ini dalam mengukur kemiskinan namun pendekatan nomor satu lebih banyak digunakan karena dianggap paling mudah dan paling populer di antara pengambil kebijakan.

Jika mengacu pada ketiga indikator di atas, pernyataan Jokowi terkait kemiskinan di perdesaan menurun dua kali lipat kurang akurat. Penghitungannya benar terkait jumlah orang miskin, kedalaman, dan keparahan kemiskinan tapi tidak akurat berdasarkan persentase penduduk miskin.

Persentase kemiskinan perdesaan pada Maret 2017 adalah sebesar 13,93% dan pada Maret 2018 menjadi 13,2%, Artinya tingkat kemiskinan di desa turun sebesar 0,73 poin persen. Sedangkan di perkotaan, tingkat kemiskinan turun sebesar 0,7 poin persen dari 7,72% pada Maret 2017 menjadi 7,02% pada Maret 2018. Jadi sebenarnya persentase penurunan kemiskinan antara kota dan desa tidak berbeda jauh.

Sedangkan jumlah orang miskin di perdesaan turun sebesar 1,29 juta dari 17 juta orang pada Maret 2017 menjadi 15,71 juta orang pada Maret 2018. Sedangkan jumlah orang miskin di perkotaan turun sebesar 500.000 orang dari 10,6 juta orang pada Maret 2017 menjadi 10,1 juta orang pada Maret 2018. Jadi memang benar, penurunan jumlah orang miskin di desa dua kali lipat dibanding di kota.

Selanjutnya, tingkat kedalaman kemiskinan di perdesaan turun sebesar 0,12 poin persen dari 2,49% pada Maret 2017 menjadi 2,37% pada Maret 2018.

Sedangkan untuk perkotaan, tingkat kedalaman kemiskinan turun sebesar 0,07 poin persen dari 1,24% pada Maret 2017 menjadi 1,17% pada Maret 2018. Artinya memang tingkat kedalaman kemiskinan di desa turun hampir dua kali lipat dibanding di kota.

Untuk tingkat keparahan kemiskinan, angka di perdesaan turun sebesar 0,04 poin persen dari 0,67% pada Maret 2017 ke 0,63% pada Maret 2018.

Sedangkan untuk perkotaan, tingkat keparahan kemiskinan turun sebesar 0,02 poin persen dari 0,31% pada Maret 2017 menjadi 0,29% pada Maret 2018. Artinya penurunan tingkat keparahan kemiskinan di desa memang dua kali lipat dibanding di kota.

Meskipun sebagian besar pernyataan Jokowi bisa dibenarkan secara statistik, tapi jika kita ingin menilai pencapaian Jokowi dalam mengentaskan orang miskin, sebaiknya kita harus menghitungnya sejak awal pemerintahannya yaitu September 2014 sampai data terakhir Maret 2018.

Oleh karena itu, saya mengajukan tambahan analisis melihat angka kemiskinan mulai dari awal pemerintahan Jokowi September 2014 hingga Maret 2018.

Analisis saya menunjukkan fakta yang berbeda. Analisis berdasar data BPS yang saya kumpulkan.

Ketika merujuk pada periode September 2014 ke Maret 2018, penurunan persentase kemiskinan di kota justru lebih besar dibanding di perdesaan.

Tingkat kemiskinan perdesaan pada September 2014 (satu bulan sebelum Jokowi dilantik) adalah sebesar 13,76%. Jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan pada Maret 2018, maka angkanya turun sebesar 0,56 poin persen.

Sementara itu, selama periode yang sama tingkat penurunan kemiskinan di perkotaan justru lebih tinggi dibanding perdesaan. Angka kemiskinan di perkotaan turun 1,14 poin persen dari 8,16% pada September 2014 menjadi 7,02% pada Maret 2018.

Grafik 1 - Persentase kemiskinan September 2014 ke Maret 2018. Pada periode ini tingkat kemiskinan pernah mengalami kenaikan pada Maret 2015 dan stabil turun setelah itu

Sumber: BPS 2018

Namun, penurunan jumlah orang miskin di desa memang lebih tinggi dibanding di kota selama periode pemerintahan Jokowi.

Selama Jokowi memimpin, jumlah orang miskin di perdesaan turun sebesar 1,5 juta orang dari 17,3 juta orang miskin pada September 2014 menjadi 15,8 juta orang pada Maret 2018.

Pada periode yang sama, jumlah orang miskin di perkotaan turun sebesar 200.000 orang dari 10,3 juta orang menjadi 10,1 juta orang.

Grafik 2 - Jumlah orang miskin September 2014 ke Maret 2018. Jumlah orang miskin perkotaan sempat naik pada Maret 2015, lalu setelah itu turun dan kembali naik pada September 2016 hingga Maret 2017. Sedangkan jumlah orang miskin di perdesaan hanya mengalami kenaikan pada Maret 2015 dan stabil turun cukup signifikan setelahnya.

Sumber: BPS 2018

Untuk tingkat kedalaman kemiskinan selama periode pemerintahan Jokowi, angka di perdesaan justru naik sebesar 0,12 poin persen dari 2,25% menjadi 2,37%.

Sedangkan di perkotaan, tingkat kedalaman kemiskinan turun sebesar 0,08 poin persen dari 1,25% pada September 2014 menjadi 1,17% pada Maret 2018.

Grafik 3 - Tingkat kedalaman kemiskinan.

Sumber: BPS 2018

Tren yang sama juga terlihat pada tingkat keparahan kemiskinan. Tingkat keparahan kemiskinan di perdesaan naik sebesar 0,06 titik poin dari 0,57% pada September 2014 menjadi 0,63% pada Maret 2018. Sedangkan di perkotaan, tingkat keparahan kemiskinan turun sebesar 0,02 titik poin dari 0,31% pada September 2014 menjadi 0,29% pada Maret 2018.

Grafik 4 - Tingkat keparahan kemiskinan.

Sumber: BPS 2018

Hasil analisis di atas tidak lepas dari kondisi kesejahteraan penduduk yang dinamis. Sebuah rumah tangga bisa keluar dari kemiskinan pada tahun tertentu dan bisa sewaktu-waktu masuk kembali ke dalam jurang kemiskinan pada waktu yang lain. Fenomena tersebut dikenal dengan kerentanan (vulnerability).

 

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, pertama benar adanya bahwa pada periode Maret 2017-Maret 2018, jumlah orang miskin di wilayah perdesaan menurun lebih besar dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Meskipun persentase kemiskinan menunjukkan hal yang berbeda.

Kedua, jika dilihat secara keseluruhan dari awal pemerintahan Jokowi maka tren penurunan angka kemiskinan di perkotaan justru lebih besar dibanding di perdesaan. Meskipun dari segi jumlah memang penurunan kemiskinan lebih banyak terjadi di perdesaan.

Hal ini dikarenakan fakta bahwa jumlah orang miskin di desa lebih banyak ketimbang di kota. Jadi mereka lebih mudah dideteksi ketimbang di kota.

Ketiga, melihat kemiskinan sebaiknya dilakukan secara menyeluruh tidak hanya terkait jumlah orang miskin saja tapi juga tingkat kedalaman dan keparahannya.

Banyak program pengentasan kemiskinan sangat ampuh menurunkan jumlah orang miskin (terutama orang yang dekat dengan garis kemiskinan) tapi tidak mampu meningkatkan kesejahteraan orang paling miskin untuk setidaknya mendekati garis kemiskinan. Hal ini menjadi penting mengingat kebijakan pengentasan kemiskinan wajib meningkatkan kesejahteraan semua masyarakat miskin tanpa ada satu orang pun yang luput. – Ridho Al Izzati

 


Penelaahan sejawat tertutup (blind review)

Setelah memeriksa kembali angka-angka yang ditampilkan dalam analisis di atas dengan data BPS, saya bisa pastikan bahwa data yang digunakan oleh penulis sudah benar.

Namun, kita tidak bisa menyatakan pernyataan Jokowi tidak akurat. Pernyataan Jokowi akurat jika menggunakan waktu 1 tahun terakhir tetapi tidak akurat jika rentang waktunya selama periode Jokowi.

Di sini saya tekankan saya sepakat dengan penulis bahwa sebaiknya data statistik dilihat secara menyeluruh bukan sepotong-potong. Jadi mengukur pencapaian pengentasan kemiskinan Jokowi sebaiknya dilihat selama pemerintahan Jokowi mulai dari September 2014 jangan hanya setahun saja.

Catatan saya lainnya adalah sebaiknya penulis lebih mengelaborasi mengapa indeks tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan perlu mendapatkan perhatian lebih besar. Selain itu, penulis juga bisa menambahkan ilustrasi sederhana sehingga pengertian keduanya bisa lebih mudah dipahami – Teguh Dartanto (The Head of Department of Economics, Faculty of Economics and Business, University of Indonesia, Universitas Indonesia)

The Conversation mengecek kebenaran klaim dan pernyataan calon presiden menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2019. Pernyataan mereka dianalisis oleh para ahli di bidangnya. Analisis kemudian diberikan ke ahli lainnya untuk ditelaah. Telaah dilakukan tanpa mengetahui siapa penulisnya (blind review).

Bagikan laman ini

Penulis

Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.