.
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.
.
Pencabutan larangan ekspor pasir laut yang telah berlaku selama 20 tahun terakhir memicu perdebatan sengit antara pemerintah dan pegiat lingkungan dalam beberapa pekan terakhir.
Larangan yang berlaku pada 2003 silam dilandasi urgensi untuk mencegah kerusakan lingkungan dan meminimalisasi potensi tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia.
Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), membeberkan alasan pencabutan larangan tersebut adalah untuk menjaga alur pelayaran yang terdampak sedimentasi atau pengendapan. Hingga saat ini, belum diketahui secara pasti negara mana saja yang akan menjadi pasar potensial. Namun Singapura masih disebut-sebut sebagai salah satu negara yang membutuhkan pasir dari Indonesia.
Per 5 Juni 2023, pemerintah sudah menyepakati 10 titik kawasan pertambangan strategis non logam (pasir laut) di Provinsi Kepulauan Riau seluas hampir 53.000 hektar, mengutip Batampos.co.id. Area tambang ini tersebar di Karimun (Jawa Tengah), Batam (Kepulauan Riau), dan Lingga (Riau).
Yang kerap luput dari perhatian adalah, saat pemerintah hendak menerapkan kebijakan ini, masyarakat pesisir kerap hanya menjadi penonton meskipun mereka yang akan menanggung kerugian terbesarnya.
Masyarakat pesisir kehilangan tangkapan hingga terusir
Dalam jangka pendek, pengerukan pasir memang bisa jadi peluang untuk meningkatkan ekonomi masyarakat di lokasi-lokasi penambangan tersebut.
Sebuah studi berbasis observasi dan wawancara di Nusa Tenggara Barat (NTB), misalnya, menunjukkan bahwa sejak adanya penambangan pasir di Lombok Utara, kondisi sosial-ekonomi masyarakat kian meningkat. Para penambang kini bisa menyekolahkan anaknya hingga tamat SMA. Mereka juga mampu merenovasi rumahnya dari semi-permanen menjadi bangunan permanen. Mereka bahkan berkecukupan untuk membeli kendaraan bermotor untuk mendukung kegiatan sehari-hari.
Akan tetapi, dalam jangka panjang, kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh penambangan pasir mengancam tempat tinggal dan keberlanjutan mata pencaharian mereka akibat abrasi pantai dan kerusakan ekosistem laut.
Hal ini dikarenakan tambang pasir tersebut seringkali beririsan dengan lokasi nelayan setempat. Namun, perlu dicatat bahwa penelusuran lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keterhubungan antara penambangan pasir dan aktivitas nelayan ini.
Sebut saja salah satu lokasi penambangan yang direncanakan, yakni Kepulauan Riau. Melansir Harian Kompas, nelayan di berbagai wilayah tersebut mengkhawatirkan dampak lingkungan setelah pemerintah kembali membuka ekspor pasir laut. Sebab, mereka mengalami kerugian akibat kerusakan lingkungan saat tambang pasir laut marak di daerah tersebut di awal 2000-an. Menurut mereka, tangkapan mereka menghilang akibat pertambangan pasir.
Tak hanya itu, Kompas juga sempat mengangkat reportase pada 2022 mengenai bagaimana lanskap pesisir di wilayah Kepulauan Karimun rusak parah akibat penambangan pasir. Aktivitas tersebut membuat air laut menjadi sangat keruh dan pohon-pohon bakau yang dulu rimbun terendam sepenuhnya oleh air laut. Dilansir dari harian tersebut, nelayan harus melaut lebih jauh karena habitat ikan di terumbu karang yang berjarak 0-5 mil dari pantai sudah musnah.
Kami pun menyaksikan langsung dampak penggalian pasir saat melakukan penelitian di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Januari silam.
Saat kami menjelajahi tepian pantai, kami melihat rumah-rumah yang dulunya berdiri kokoh di pinggir pantai, kini hanya menjadi tumpukan batu dan kayu yang hancur akibat abrasi. Pengikisan pantai karena paparan gelombang semakin mengancam wilayah pesisir dengan berkurangnya pasir sebagai pelindung. Bibir pantai semakin menyempit dan ombak kapan saja bisa menyapu rumah masyarakat. Mau tak mau, cepat atau lambat, mereka harus pindah ke lokasi yang bebas ancaman.
Kasus di NTT bukanlah satu-satunya. Pada 2014, para peneliti Kementerian Kelautan dan Perikanan menemukan bahwa Desa Lontar, Serang, Jawa Tengah mengalami erosi pantai, kekeruhan air, dan hilangnya kehidupan laut setelah penambangan pasir selama satu dekade sejak 2003.
Pada 2021, penelitian dari Universitas Hasanuddin menyimpulkan, pengerukan pasir laut di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, mengakibatkan kekeruhan air laut dan penurunan hasil tangkapan ikan.
Kerusakan ekosistem ini pun akhirnya merugikan ekonomi masyarakat, terutama nelayan ataupun masyarakat yang bekerja di sektor wisata laut.
Bahkan, Serikat Nelayan Indonesia (SNI) sudah secara tegas menolak pemberlakuan pencabutan larangan ekspor pasir. Nelayan di Kepulauan Riau misalnya, sangat mengkhawatirkan kerusakan lingkungan karena mereka telah merasakan dampak lingkungan akibat penambangan pasir puluhan tahun silam.
Dorong analisis lingkungan dan mata pencaharian alternatif
Ke depannya, risiko akan semakin meningkat.
Saat ini, pengerukan pasir tidak hanya dilakukan untuk ekspor, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pasir laut sangat dibutuhkan dalam sektor konstruksi. Dengan adanya kemungkinan untuk mengekspornya, pasar tersebut akan semakin berkembang. Tercatat, produksi pasir laut di Indonesia mencapai 67 juta ton pada 2021.
Potensi pertambahan permintaan yang semakin tinggi akibat ekspor ini pun dapat meningkatkan ekstraksi, sehingga dapat meningkatnya potensi kerusakan pada ekosistem pesisir.
Menimbang kerugian ini, Indonesia perlu mengambil langkah untuk mitigasi dampak pengerukan pasir terhadap masyarakat pesisir. Satu hal mendasar yang wajib dilakukan adalah analisis dampak lingkungan sebelum penambangan pasir dengan menimbang dampaknya terhadap habitat satwa liar, kualitas air, maupun masyarakat pesisir.
Pemerintah dan sektor swasta juga perlu melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dengan proses konsultasi dan partisipasi aktif dari masyarakat. Hal ini untuk memastikan distribusi manfaat yang adil dan meminimalkan beban yang ditanggung oleh mereka akibat penambangan pasir.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin, memang sempat menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi tambang pasir yang begitu besar tapi tak terserap karena mandeknya berbagai proyek nasional. Jika menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi pasir memang terus menurun setelah mencapai puncaknya sebanyak 309,45 juta ton pada 2012.
Alih-alih memaksimalkan potensi ini tetapi merugikan masyarakat dalam jangka panjang, pemerintah dapat mendorong ragam sumber penghidupan alternatif yang juga penting untuk mengurangi risiko dampak ekonomi dari pengerukan pasir. Hal ini dapat dilakukan melalui program-program pelatihan, bantuan modal, dan dukungan kebijakan yang mendukung masyarakat pesisir dalam mencari dan mengembangkan pilihan penghidupan yang tidak hanya bergantung pada penambangan pasir.
Dengan cara-cara tersebut, Indonesia dapat mengambil langkah konkret untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan, sekaligus memastikan bahwa masyarakat rentan di daerah pesisir mendapatkan manfaat yang adil dan beban seminimal mungkin.