.
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.
.
Keberhasilan pelajar Indonesia menjuarai berbagai olimpiade sains internasional merupakan berita yang menggembirakan.
Di luar meja kompetisi, hasil tes internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA) 2015, yang menempatkan pelajar Indonesia pada peringkat ke-62 dari 70 negara menjadi kabar menyedihkan. Sejak mengikuti tes ini pada 2003, Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti.
Betapa tidak, 75% murid Indonesia, misalnya, gagal mencapai kemampuan dasar matematika, meski selama lima belas tahun terakhir alokasi anggaran negara untuk pendidikan meningkat berlipat ganda dan bisa disebut double for nothing.
Sementara itu, Vietnam, begitu mengikuti PISA pada 2012 langsung masuk kelompok 20 teratas dan pada 2015 melaju ke posisi delapan. Padahal, negara ini baru bersatu pada 1976 setelah mengalami perang dengan korban jiwa warga sipil tidak kurang dari sejuta orang dan mengakibatkan eksodus penduduk besar-besaran. Selain itu, sejak beberapa tahun lalu, Singapura, Korea Selatan, dan Jepang selalu berada di kelompok peringkat teratas peserta PISA.
Di dalam negeri, hasil ujian nasional tingkat sekolah menengah atas di Jawa Timur baru-baru ini, misalnya, menjadi sorotan karena persentase siswa yang mendapat nilai di bawah 55 mencapai 78,8%. Sedangkan standar kompetensi minimal adalah 55. Ini artinya nilai mayoritas siswa di bawah standar.
Pembelajaran tuntas
Berdasarkan sebuah hasil penelitian pendidikan pada 2016 yang penulis ikuti dan hasil sementara riset kami yang sedang berjalan dalam Research on Improving Systems of Education (RISE) mengindikasikan bahwa salah satu penyebab rendahnya kualitas pengajaran di Indonesia berkaitan dengan “pembelajaran tuntas.” Pembelajaran tuntas adalah proses belajar mengajar yang mengisyaratkan murid menguasai secara baik seluruh standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) setiap mata pelajaran.
SK adalah pernyataan tentang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan penguasaan yang diharapkan dicapai murid dalam mempelajari mata pelajaran tertentu. KD merupakan penjabaran dari standar kompetensi berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap minimal yang harus dicapai murid sebagai gambaran nyata penguasaannya atas standar kompetensi.
Perbedaan kondisi antar sekolah dan kualitas antar guru bervariasi dengan jarak ketimpangan besar. Oleh karena itu, sekolah, khususnya guru, boleh menentukan batas ketuntasan minimal KD yang masuk akal dan wajar sesuai kondisi masing-masing. Makin jauh penetapan batas angka ketuntasan belajar minimal di bawah 100%, makin besar kemungkinan murid untuk tidak menguasai berbagai KD suatu mata pelajaran.
Berdasarkan wawancara penulis dengan beberapa pengawas sekolah di beberapa daerah di Indonesia, ada kesepakatan umum mengenai angka batas ketuntasan belajar minimal adalah 75% untuk individu dan 85% untuk kelompok. Angka kesepakatan ini masih mengandung risiko dalam memastikan ketuntasan murid menguasai SK ilmu pengetahuan. Padahal, masih ada sekolah yang menetapkan angka batas ketuntasan belajar minimal di bawah 75%.
Untuk mendiagnosis hasil pembelajaran tuntas, guru perlu mengevaluasi secara teratur atas setiap KD yang selesai diajarkan. Murid yang berhasil menuntaskan pembelajaran bisa melanjutkan ke KD berikutnya dan bahkan dapat mengikuti kegiatan pengayaan. Sementara itu, murid yang gagal perlu mengikuti kegiatan ulangan perbaikan atas materi pelajaran dan bahkan perlu memperbaiki cara belajar. Hasil diagnosis proses pembelajaran dapat pula membantu guru memperbaiki cara mengajar dan melengkapi bahan pelajaran. Strategi pembelajaran tuntas menuntut baik murid maupun guru menjadi pembelajar mandiri.
Benarkah perlu ratusan tahun?
Bagi sekolah dan guru yang terbiasa dengan proses pengajaran konvensional, tentu sulit mengerjakan strategi pembelajaran tuntas. Ketuntasan belajar menghendaki sekolah dan guru melakukan banyak kegiatan yang memerlukan dukungan penguasaan berbagai keahlian, seperti filosofis, tujuan, dan materi kurikulum, menilai kemampuan murid berdasarkan bukti, dan membantu memperbaiki hasil belajar murid.
Tanpa keahlian tersebut, beberapa langkah persyaratan pembelajaran tuntas kerap kali terbengkalai. Misalnya, guru tidak selalu membuat perencanaan satuan pembelajaran secara lengkap dan menyeluruh. Hasil ujian tidak dianalisis, sementara hasil pembelajaran tidak tuntas dibiarkan tanpa ulangan perbaikan.
Padahal, ketidaktuntasan belajar dalam menguasai KD di bagian pelajaran tertentu, kalau tidak lebih dulu mengikuti ulangan perbaikan akan menyulitkan murid menguasai KD berikutnya. Makin banyak ketidaktuntasan belajar yang dibiarkan, hampir dapat dipastikan akan membuat hasil pembelajaran rendah. Situasi ini makin diperparah oleh kenyataan bahwa di dalam kelas guru memperlakukan murid sebagai kelompok homogen. Padahal, kemampuan memahami pelajaran dan cara belajar setiap anak berbeda.
Hasil pembelajaran akan makin sukar meningkat manakala sekolah dan guru tidak mencermati ketuntasan belajar. Apalagi kalau dikaitkan dengan kenyataan bahwa sebagian besar dari sekitar 3 juta guru tidak lulus uji kompetensi guru (UKG). Selama pendidikan di Indonesia tidak cukup memberikan perhatian untuk memastikan adanya proses pembelajaran tuntas, maka upaya memperbaiki hasil pengajaran sulit tercapai.
Kegagalan pendidikan menuntaskan pembelajaran Matematika, Bahasa, dan Pengetahuan Alam selama ini, pada hakikatnya juga menggambarkan kegagalan melaksanakan pendidikan karakter. Kalau karakter seperti kerja keras, perilaku kolektif dan sosial, sifat jujur dalam melaksanakan ujian berhasil dididikkan, maka materi pelajaran akan lebih mudah diajarkan.
Menurut Lant Pritchett, Direktur Research on Improving Systems of Education (RISE), dengan laju perkembangan mutu pengajaran selama ini, Indonesia memerlukan ratusan tahun untuk menyamai skor negara peserta PISA peringkat tertinggi. Namun, sepanjang persyaratan mutu pembelajaran tuntas dipenuhi, maka dalam waktu satu tahun dapat meningkatkan poin sebesar 48.
Sumber: Programme for International Student Assessment's (PISA), 2015
Gambar di atas menunjukkan posisi hasil PISA Indonesia terhadap seluruh negara peserta yang dilakukan pada siswa usia 15 tahun. Skor 410 merupakan batas bawah penguasaan pengetahuan dasar, yaitu dapat secara sederhana menerapkan kemampuan prosedural ke kehidupan sehari-hari.
Belajar tuntas sebuah kemewahan?
Mereka yang menjadi juara olimpiade sains internasional adalah murid yang mendapat kesempatan dan fasilitas mewah dalam menjalani pembelajaran secara tuntas. Dengan kemewahan seperti itu, semua murid, termasuk kaum disabilitas (seperti tunarungu, tunanetra, tunawicara) pun dapat mencapai hasil pembelajaran optimal. Dalam kenyataannya, masih banyak murid Indonesia yang memperoleh layanan pembelajaran tidak tuntas yang menyebabkan hasilnya rendah.
Anak sekolah sekarang ketika dewasa kelak akan berhadapan dengan perubahan kehidupan global yang cepat. Misalnya diperkirakan 65% ragam pekerjaan sekarang telah tergantikan oleh jenis pekerjaan baru yang kini belum terbayangkan. Kalau murid Indonesia tidak mampu berkompetisi dalam berbagai tes internasional, maka di masa depan mayoritas mereka akan terpinggirkan dari pergaulan global. Mereka dapat menjadi warga kelas dua di negeri sendiri.
Pendidikan dan pengajaran merupakan penentu utama masa depan kesejahteraan bangsa. Sekelompok kecil orang yang berhasil mengikuti pembelajaran secara tuntas yang di antaranya bahkan menjadi pemenang olimpiade sains internasional bisa saja berhasil membangun Indonesia. Akan tetapi, manakala sebagian besar penduduk “mengidap” pembelajaran tidak tuntas, maka pantas untuk mengkhawatirkan terjadinya situasi ketimpangan sosial-ekonomi parah yang berkepanjangan.
Padahal, kemerdekaan Indonesia bertujuan membuka ruang bagi setiap rakyat untuk mengembangkan diri agar dapat menikmati kemakmuran bersama. Namun bagaimana pun, sikap optimis harus terus dipupuk seperti peribahasa mengajarkan, “Tak ada kusut yang tak bisa diurai.”