Pekerja ekonomi gig umumnya bekerja berdasarkan kontrak berbasis luaran/layanan. Karena status kerja mereka lemah, kelompok pekerja ini rentan terhadap ketidakpastian dan guncangan ekonomi. Contoh sumber kerentanan yang dihadapi pekerja ekonomi gig yaitu stres dan waktu kerja yang terlalu tinggi, kejahatan cyber dan pencurian data pribadi, jebakan keterampilan (skill trap), bias gender dari konsumen, dan lain-lain.
Oleh karena itu, para pemangku kepentingan terkait perlu memikirkan bagaimana memberikan perlindungan kepada pekerja ekonomi gig agar mereka terlindungi dari kerentanan. Persoalan ini menjadi tema dialog Forum Kajian Pembangunan (FKP) 2023 – Seri 1 “Inovasi dalam Melindungi Pekerja Ekonomi Gig” yang diselenggarakan secara daring oleh SMERU pada 7 Juni 2023.
Para narasumber acara Forum Kajian Pembangunan (FKP) 2023 – Seri 1 “Inovasi dalam Melindungi Pekerja Ekonomi Gig” yang dibantu oleh juru bahasa isyarat (JBI) yang bertugas menerjemahkan diskusi ke bahasa isyarat.
Prinsip-prinsip Perlindungan Bagi Pekerja Ekonomi Gig
Asesmen cepat SMERU menemukan dua prinsip yang dapat menjadi acuan dalam memberikan perlindungan bagi pekerja ekonomi gig, yaitu streamlining dan collective action. Streamlining artinya memastikan agar skema perlindungan sosial (termasuk jaminan sosial) yang tersedia disosialisasikan dengan baik dan dapat mudah diakses, baik dari segi penjangkauan, fleksibilitasnya, dan lain sebagainya. Peneliti senior SMERU, Palmira Permata Bachtiar, mengatakan, inovasi teknologi, khususnya yang bersifat digital, mempunyai peran yang sangat besar dalam mendukung streamlining. Beberapa potensi peran teknologi dalam streamlining:
- Daily Billing, misalnya pembayaran iuran BPJS Kesehatan secara harian
- One for All, misalnya penyetoran iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan pada satu rekening
- Crowdfunding, misalnya penumpang ikut berkontribusi terhadap iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
- Matching Grant, misalnya pemerintah/pemda menggenapkan iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang sudah terbayar
- Aplikasi dalam Aplikasi, misalnya aplikasi mobile JKN dan JMO ada di dalam aplikasi Gojek
- Multiple Employers, misalnya pembayaran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dari beberapa akun di beberapa pemberi kerja
Sementara, collective action adalah memastikan para pemangku kepentingan menyediakan skema perlindungan dan bantuan untuk membantu meringankan kerentanan yang dihadapi pekerja ekonomi gig. Reytman Aruan, pengamat ketenagakerjaan Indonesia mengatakan, pemerintah, perusahaan, dan organisasi pekerja harus bekerja sama untuk mengembangkan kerangka kerja yang memperhitungkan kebutuhan pekerja ekonomi gig. Perlindungan ini meliputi perlindungan ekonomi, perlindungan teknis, dan perlindungan sosial.
Sementara, contoh prinsip collective action telah dilakukan Gojek—perusahaan teknologi yang menyediakan berbagai layanan berbasis aplikasi—melalui Program Gojek Swadaya. Salah satu inovasi pada program ini adalah memfasilitasi para mitranya untuk dapat membayar premi asuransi kesehatan pribadi secara harian dan mendaftar ke BPJS Ketenagakerjaan.
Dalam diskusi dengan Pak Mulyono, salah satu mitra Gojek, ia menyebutkan bahwa pembayaran iuran—jaminan sosial—per hari akan sangat meringankan mereka (para pekerja ekonomi gig, termasuk mitra pengemudi Gojek) karena mereka mendapatkan penghasilan harian.
Pak Mulyono, salah satu mitra pengemudi Gojek, hadir dalam sesi diskusi yang memperkaya perspektif dari sisi pekerja ekonomi gig.
Berbagai Pendekatan untuk Meningkatkan Kesadaran Pekerja Ekonomi Gig akan Pentingnya Perlindungan Sosial
Salah satu kendala dalam memberikan perlindungan bagi pekerja ekonomi gig adalah karakteristik pekerja ekonomi gig yang belum jelas. Hal ini membuat mereka sulit dijangkau program bantuan sosial yang disediakan pemerintah. Menurut Reytman, salah satu poin penting dalam upaya pemberian perlindungan bagi pekerja ekonomi gig adalah memperjelas definisi hubungan antara para pekerja dengan pemberi kerjanya yang menurut regulasi saat ini tidak termasuk dalam kategori “hubungan kerja”.
Selain itu, di kalangan pekerja gig sendiri, kesadaran akan kerentanan tersebut masih rendah. “Para pekerja ini harus sering melihat kasus-kasus pentingnya memiliki jaminan, misalnya dari media masa. Selain itu, pemberi layanan BPJS Ketenagakerjaan perlu menjemput bola dan menggunakan champion di antara para pekerja gig untuk menyebarluaskan informasi tentang pentingnya memiliki perlindungan bagi mereka,” kata Palmira.
Sementara itu, peneliti World Bank, Putu Sanjiwacika Wibisana, mengatakan, kemajuan teknologi juga bisa menghilangkan pekerjaan manual dan memunculkan pekerjaan baru dengan kebutuhan skill yang berbeda. “Semua jenis pekerja perlu meningkatkan keterampilan mereka secara konsisten agar tetap relevan di pasar kerja. Namun, peningkatan keterampilan ini membutuhkan biaya dan waktu. Selain sebagai jaminan saat terjadi krisis, program perlindungan sosial juga dapat mendukung peningkatan keterampilan pekerja dengan menyediakan sumber pendapatan alternatif saat mereka mengalokasikan waktu untuk pelatihan atau pendidikan,” terang Sanji.
Pemerintah sendiri telah melakukan sejumlah inovasi untuk memberikan perlindungan bagi pekerja ekonomi gig. Menurut Eka Kartika, Deputi Direktur Bidang Project Management Office, BPJS Ketenagakerjaan, lembaganya berupaya menjangkau kelompok pekerja ini melalui berbagai cara. “Selain melalui kantor-kantor cabang, kami juga menggunakan perantara untuk mencari pekerja yang sulit dijangkau. Kami juga bergerak ke arah digital, di antaranya bekerja sama dengan marketplace yang dapat digunakan pekerja untuk mendaftar BPJS Ketenagakerjaan sekaligus membayar iurannya. Kami juga aktif melakukan edukasi melalui akun-akun media sosial BPJS Ketenagakerjaan,” terang Eka.
Simak rekaman acara Forum Kajian Pembangunan (FKP) 2023 – Seri 1 “Inovasi dalam Melindungi Pekerja Ekonomi Gig” dan unduh presentasi peneliti SMERU di https://smeru.or.id/id/event-id/fkp2023seri1.