Kali pertama kami bertemu Yati (nama samaran) adalah saat focus group discussion (FGD). Melalui tokoh perempuan setempat, kami mengundang sejumlah perempuan untuk berdiskusi mengenai pengetahuan mereka tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan layanan pelaporan KDRT yang bisa diakses. Yati adalah salah satu peserta yang mewakili perempuan di komunitasnya; bukan karena merupakan korban ataupun penyintas KDRT.
Kami tidak menggali lebih jauh pengalaman pribadi dalam FGD. Membuka pengalaman yang kurang menyenangkan di depan umum tanpa izin partisipan bukanlah hal etis dan bisa membuat mereka tidak nyaman. Waktu itu, kami menutup FGD dengan ucapan terima kasih dan izin untuk menghubungi peserta apabila diperlukan.
Dalam wawancara pribadi, Yati berbicara secara terbuka soal pengalaman dan pelaporan KDRT yang dilakukannya. Yati percaya, semua informasi yang dia berikan hanya digunakan untuk keperluan studi dan identitasnya akan disamarkan.
Seusai FGD, kami berkunjung ke rumah Yati dan disambut baik. Namun, suaminya tertarik mengikuti obrolan kami, sehingga kami kurang leluasa untuk berbincang soal KDRT.
Saat itu, kami beralasan hanya mampir untuk menyapa Yati dan mengajaknya berdiskusi lagi lain waktu. Yati menangkap ‘kode’ itu, dengan memberi alternatif waktu dan tempat.
Cerita di atas adalah sepenggal pengalaman kami ketika menggali isu KDRT pada studi longitudinal akses perempuan miskin terhadap layanan umum.[1] KDRT merupakan isu yang dapat membangkitkan emosi bagi peneliti, partisipan, ataupun pihak lain yang terlibat. Bagi partisipan yang pernah menjadi korban atau keluarga korban, isu KDRT yang disampaikan peneliti dapat membawa kembali kenangan buruk. Isu ini kadang dinilai tabu untuk diperbincangkan, terlebih dengan orang dari luar masyarakatnya, seperti peneliti. Bagi sebagian masyarakat, KDRT dianggap aib yang mencemarkan nama baik diri dan keluarga. KDRT juga kerap dianggap persoalan domestik, sehingga hanya layak diperbincangkan dalam ranah pribadi dan internal keluarga. Jadi, meski masyarakat mengetahui keberadaannya, mereka tidak terbuka membicarakan apalagi mendiskusikannya. Sebagai peneliti, kami perlu mempertimbangkan faktor sensitivitas tersebut ketika meneliti isu KDRT.
Membangun kepercayaan partisipan studi melalui beberapa langkah pendekatan
Tidak mudah menggali informasi mengenai isu yang sensitif seperti KDRT. Pelajaran utama yang kami peroleh dari studi ini adalah pentingnya membangun rasa percaya antara partisipan dan peneliti yang akan membuat partisipan lebih terbuka mengemukakan apa yang diketahui, dialami, harapan, dan persepsinya tentang KDRT. Ketika kepercayaan belum terbangun, jawaban partisipan cenderung normatif dan tidak mencerminkan situasi sesungguhnya.
Kepercayaan antara peneliti dan partisipan bukanlah hal yang bisa dibangun secara instan. Selama tiga titik waktu pengumpulan data (2014, 2017, dan 2020), kami berusaha mengembangkan berbagai pendekatan guna membangun kepercayaan partisipan. Pendekatan tersebut dilakukan dengan tiga cara.
Pertama, mengedepankan sensitivitas ketika berinteraksi dengan partisipan. Kami menyadari, sensitivitas dalam studi KDRT tidak tumbuh begitu saja. Sebelum pengambilan data, peneliti dibekali pelatihan untuk memperoleh pemahaman tentang isu KDRT, teknik bertanya, dan teknik memfasilitasi FGD. Materi pelatihan diambil dari referensi bacaan dan cerita yang dibagikan oleh praktisi dari pemerintah dan organisasi nonpemerintah yang menangani pemulihan korban, penanganan kasus, dan program anti-KDRT.
Evaluasi yang kami lakukan memperlihatkan pentingnya memulai penggalian data dengan pertanyaan umum sebelum akhirnya membahas soal KDRT. Ketika mulai melakukan penggalian isu KDRT pun, peneliti perlu peka terhadap respons partisipan, seperti intonasi, volume suara, mimik, dan bahasa tubuh. Apabila terasa atau terlihat ada perubahan, peneliti perlu mempertimbangkan untuk mengubah pendekatan dan cara bertanya, menunda, atau bahkan menghentikan penggalian.
Penggalian isu KDRT memerlukan kesabaran peneliti untuk mendengarkan, tidak mendesak partisipan bercerita, dan tidak memotong cerita partisipan. Proses pengumpulan data juga bukan interaksi satu arah; peneliti bertanya, partisipan menjawab. Partisipan perlu mendapat imbal balik dari proses ini. Bentuk praktisnya, misalnya, pada akhir survei rumah tangga, enumerator memberitahukan tindakan yang dapat dilakukan partisipan apabila menjadi korban atau mengetahui kejadian KDRT di sekitarnya.
Kedua, melibatkan tokoh setempat. Saat peneliti melakukan pendekatan kepada partisipan dengan cara yang bisa diterima masyarakat setempat, atau masuk ke suatu komunitas melalui bantuan orang lokal yang telah dikenal partisipan (seperti perangkat desa dan tokoh perempuan atau kader organisasi nonpemerintah di desa setempat), maka kepercayaan awal kepada peneliti akan tumbuh. Dari pengalaman kami, tokoh yang dilibatkan ini sebaiknya merupakan pihak yang biasa membantu masyarakat atau pernah membantu partisipan ketika mengalami atau melaporkan kasus KDRT. Cara ini dapat membuka jalan untuk kelancaran proses komunikasi dan membangun kepercayaan partisipan karena pihak lokal yang terlibat merupakan orang yang selama ini berpihak pada korban.
Ketiga, membangun ruang dan suasana yang aman serta nyaman bagi partisipan untuk berbagi cerita. Ruang dan suasana di sini mencakup pula persetujuan partisipan, penjaminan kerahasiaan identitas dan seluruh informasi yang disampaikan partisipan, serta memastikan legalitas seluruh kegiatan penelitian. Ini semua merupakan hal yang esensial ketika mengumpulkan data mengenai topik sensitif. Peneliti menyampaikan lembar informed consent kepada partisipan yang berisi informasi mengenai studi, risiko dan manfaat jika berpartisipasi, serta jaminan kerahasiaan identitas dan informasi partisipan. Peneliti baru memulai penggalian—termasuk perekaman suara dan pencatatan—setelah partisipan memberikan persetujuan. Sedangkan pengambilan gambar personal sengaja tidak dilakukan. Penjaminan kerahasiaan data dan informasi juga berlaku untuk semua bentuk publikasi yang dihasilkan, meski setelah studi berakhir.
Kami menyadari pentingnya kajian etik untuk melindungi subjek penelitian (partisipan), terutama pada topik sensitif seperti KDRT. Karenanya, kami menyerahkan seluruh panduan kepada Komisi Etik dari lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat (LPPM) Universitas Atma Jaya untuk memastikan tidak ada pertanyaan yang menyudutkan atau membahayakan partisipan. Dari sisi legalitas kegiatan, kami memastikan proses perizinan dari tingkat pusat hingga desa sudah selesai dilakukan sebelum pengumpulan data dimulai. Ini penting tidak hanya untuk memberikan akses ruang gerak formal kepada peneliti, tetapi juga untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada partisipan dan keyakinan bahwa kegiatan kami tidak ilegal dan diketahui pemerintah setempat.
Sebelum pengumpulan data, kami terlebih dahulu menguji seluruh panduan. Dari hasil uji coba, kami menyadari bahwa informasi mengenai pengalaman pribadi partisipan selaku korban, penyintas, pelapor atau pihak yang membantu pelaporan KDRT sebaiknya dikumpulkan melalui wawancara yang bersifat pribadi (hanya melibatkan peneliti dan partisipan) dan anonim. FGD sebaiknya dilakukan untuk menggali kondisi komunitas; bukan menggali pengalaman pribadi seseorang. Suasana FGD harus dibuat senyaman mungkin tanpa ada yang disudutkan atau dipermalukan.
Metode “bergosip” secara anonim ternyata efektif untuk mengawali penggalian isu KDRT saat diskusi. Ketika partisipan menyebutkan kasus KDRT yang diketahuinya dan kemudian dibahas, partisipan lain lambat laun akan terdorong untuk menceritakan KDRT yang pernah dialami. Pada situasi ini, peneliti perlu menjadi pendengar aktif dengan tidak menggurui, tidak menghakimi, dan berusaha memahami situasi korban. Pada survei rumah tangga, jawaban partisipan terkait pengalaman kejadian KDRT dijaga kerahasiaannya melalui amplop tertutup yang hanya dibuka oleh peneliti SMERU. Bahkan enumerator pun tidak mengetahui jawaban partisipan. Penciptaan teknik, ruang dan suasana yang aman serta nyaman ini sangat esensial ketika mengumpulkan data tentang topik yang sensitif.
Desain studi longitudinal memungkinkan interaksi berulang antara partisipan dan peneliti
Desain studi longitudinal dalam penggalian isu KDRT memberikan kekuatan pada studi ini. Proses interaksi yang berulang melalui beberapa titik waktu pengumpulan data menumbuhkan rasa percaya partisipan kepada peneliti. Selama durasi studi, lokasi penelitian berada di desa yang sama. Pada kegiatan survei, peneliti selalu melibatkan rumah tangga yang sama sebagai partisipan. Pada kegiatan wawancara dan FGD, sebagian besar juga melibatkan partisipan yang sama. Selain itu, pelibatan tokoh lokal dan peneliti daerah dilakukan sejak awal periode studi. Rasa percaya menjadi kunci bagi keterbukaan partisipan untuk menceritakan pengalaman dan pengetahuannya, sehingga diperoleh informasi yang lebih komprehensif untuk rekomendasi kebijakan berkualitas.
Studi longitudinal juga memungkinkan peneliti melakukan evaluasi dan memperbarui panduan berdasarkan kinerja sebelumnya. Sebagai contoh, belajar dari penggalian data saat studi baseline (2014), memfokuskan wawancara pada penyintas saja ternyata kurang dapat memberikan informasi yang diharapkan. Kami lalu memperbaiki hal ini pada penggalian data midline (2017) dan endline (2020). Contoh lainnya: ketika ada peneliti daerah yang kurang sensitif terhadap isu KDRT karena dukungannya terhadap poligami, hal tersebut menjadi pertimbangan kami untuk tidak melibatkannya lagi pada penggalian data selanjutnya.
Menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif untuk memperoleh informasi yang lebih komprehensif
Kami menyadari data penelitian akan lebih lengkap dan dapat lebih menangkap informasi yang dibutuhkan jika menggunakan berbagai metode. Pada studi baseline, pengumpulan informasi hanya dilakukan secara kualitatif. Kami belajar bahwa informasi dari wawancara saja tidak cukup, terlebih dengan terbatasnya waktu pengambilan data. Setelah mempelajari lebih banyak studi lainnya, kami menjadi tahu bahwa pengumpulan data melalui survei dan FGD bisa dilakukan untuk menggali isu KDRT. Pada studi midline dan endline, kami pun menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif dengan penggalian data melalui survei rumah tangga, wawancara, dan FGD.
Evaluasi yang dilakukan peneliti memperlihatkan penggunaan beragam metode pengumpulan data akan memungkinkan diperolehnya informasi yang saling melengkapi. Survei rumah tangga mampu memberikan angka prevalensi kejadian KDRT dan perilaku pelaporan KDRT. Sedangkan hasil wawancara dan FGD melengkapinya dengan alur proses pelaporan dan faktor yang memengaruhinya. Pengumpulan data yang dilakukan pada tingkatan yang berbeda—individu, rumah tangga, komunitas, desa, dan kabupaten—juga akan memberikan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai situasi KDRT di lokasi studi.
Pengumpulan data pada isu sensitif seperti KDRT—di tingkat mana pun dan menggunakan metode apa pun—sangat memerlukan kepercayaan partisipan. Kepercayaan mereka pada peneliti adalah kunci keterbukaan informasi untuk memperoleh data yang komprehensif. Namun, proses ini tidak bisa dibangun dengan singkat; perlu waktu, pemahaman isu, kreativitas dalam mengumpulkan data, dan tentunya kesediaan peneliti untuk terus belajar berempati dengan partisipan studi. Meski tidak mudah, membangun kepercayaan dalam studi KDRT adalah sebuah keniscayaan.
[1] Studi ini bertujuan mendokumentasikan perubahan akses perempuan miskin terhadap layanan umum pada lima tema penghidupan sepanjang 2014-2019. Lima tema tersebut adalah perlindungan sosial, pekerja rumahan, pekerja migran, kesehatan dan gizi, serta kekerasan terhadap perempuan (KtP). Setiap tema memiliki fokus berbeda. Fokus tema KtP adalah KDRT yang dialami perempuan miskin sebagai istri dan dilakukan oleh laki-laki sebagai pasangannya yang masih terikat dalam perkawinan. Pemilihan lokasi, partisipan studi dan penggalian data dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi kemiskinan dan karakteristik lima tema studi. Pada setiap titik waktu pengumpulan data, peneliti melakukan penggalian data untuk lima tema studi di setiap lokasi pada semua tingkatan—individu, rumah tangga, komunitas, desa, dan kabupaten—. Terkait isu disabilitas, kami tidak melibatkan organisasi penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas dapat menjadi partisipan studi apabila memenuhi kriteria kondisi kemiskinan dan karakteristik lima tema studi. Pada survei rumah tangga dilakukan identifikasi keberadaan anggota rumah tangga penyandang disabilitas. Lebih lanjut, studi ini tidak menemukan adanya kasus KDRT yang dialami perempuan miskin penyandang disabilitas di desa studi berdasarkan hasil identifikasi para partisipan studi.