.
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia (TCID).
.
Pada akhir tahun lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyatakan bahwa sekolah tatap muka dapat dilakukan kembali mulai semester genap tahun ajaran 2020/2021 yang dimulai Januari ini.
Namun, keputusan pembukaan belajar tatap muka ini diserahkan kepada pemerintah daerah.
Sejauh ini, ada beberapa daerah yang memutuskan membuka sekolah, dan ada yang akhirnya menunda belajar tatap muka karena jumlah kasus COVID-19 yang meningkat.
Apakah kebijakan pemerintah pusat untuk menyerahkan pembukaan belajar tatap muka ke pemerintah daerah ini adalah langkah yang tepat?
Dilema menyerahkan ke daerah: antara risiko COVID-19 dan kesenjangan pendidikan
Keputusan penyerahan ke daerah ini sempat dikritik oleh beberapa pihak.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), misalnya, mengatakan pemerintah pusat seolah lepas tangan dalam penanganan COVID-19 secara nasional.
Bukannya melandai, jumlah akumulasi kasus positif COVID-19 menembus angka 750.000 pada awal 2021, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah kasus COVID-19 tertinggi di Asia Tenggara. Sekitar 60% kasus tersebut terjadi di Pulau Jawa, dan disusul oleh beberapa provinsi lain seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur.
Penyebaran kasus COVID-19 secara global memang didominasi oleh usia dewasa, dan berbagai laporan menunjukkan infeksi coronavirus pada anak jarang ditemukan. Sebagian besar infeksi COVID-19 pada anak juga bersifat ringan dan tidak memerlukan perawatan intensif.
Per 13 Januari 2021, misalnya, infeksi COVID-19 di Indonesia untuk usia kurang dari 18 tahun hanya berjumlah 11,6% dari total kasus, dengan tingkat kematian yang relatif kecil, yaitu 2,3%.
Meskipun demikian, anak tetap dapat terinfeksi COVID-19 dan menularkan virusnya dengan tingkat transmisi yang sama dengan orang dewasa.
Membuka kembali sekolah tidak hanya membuka peluang penyebaran di lingkungan sekolah, namun juga penularan di keluarga. Anak yang terinfeksi tanpa gejala bahkan berpotensi tidak terdeteksi saat menjadi carrier (pembawa virus) karena dianggap sehat.
Masalahnya, penutupan sekolah secara nasional karena pandemi COVID-19 sejak Maret 2020 menimbulkan dampak buruk pada pendidikan anak terutama di daerah non-urban.
Hasil penelitian kami, misalnya, menunjukkan bahwa kesenjangan pendidikan semakin melebar dengan pemberlakuan pembelajaran jarak jauh. Tidak semua wilayah di Indonesia memiliki infrastruktur digital yang memadai untuk mendukung pembelajar dari rumah.
Walaupun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 sebanyak 63,53% penduduk di Indonesia memiliki telepon seluler, akses internet bervariasi antar daerah. Di Pulau Jawa sendiri cukup tinggi, dari 73% di Jawa Timur hingga 93% di Jakarta. Namun di luar Pulau Jawa, akses internet sangat bervariasi dari 31% di Papua sampai 88% di Kalimantan timur.
Riset kami juga mengungkap hanya sekitar 50% guru yang melaporkan secara rutin berkomunikasi aktif dengan orang tua dari kelompok siswa berkemampuan di bawah rata-rata. Ini berarti anak dengan sistem dukungan yang lemah akan lebih rentan mengalami penurunan kemampuan belajar.
Padahal, selama ini siswa di Indonesia hanya belajar sedikit, ditandai dengan capaian pembelajaran yang terus menurun dalam kurun waktu 2000-2014 (kemampuan berhitung dasar siswa di semua jenjang berada di bawah 40% pada 2014) - siswa bersekolah, tetapi tidak belajar.
Ketika sekolah ditutup karena pandemi, berbagai keterbatasan tadi akan membuat mereka menjadi belajar lebih sedikit lagi.
Dalam jangka panjang, hal tersebut akan berdampak pada capaian belajar siswa hingga dewasa dan juga berdampak pada potensi pendapatan mereka.
Artinya, pilihan membuka sekolah dan melanjutkan kembali belajar tatap muka tentu merupakan pilihan yang sulit, tetapi perlu dipertimbangkan mengingat kondisi pembelajaran siswa yang tidak optimal selama kegiatan belajar dari rumah.
Kalau terpaksa, persempit keputusannya ke level desa dan siapkan kebijakan COVID-19 di sekolah
Jika memang terpaksa melakukan belajar tatap muka, ada beberapa hal yang patut diperhitungkan dalam penyerahan keputusan pembukaan sekolah ke pemerintah daerah.
Mengingat tingkat keparahan kasus bervariasi di setiap daerah, pemerintah daerah dapat mempersempit keputusan pembukaan sekolah ke level yang lebih mikro, misalnya di level kecamatan atau desa. Dengan begitu, pertimbangan mengenai risiko penyebaran COVID-19 menjadi lebih akurat dan juga lebih sesuai dengan kondisi guru dan siswa di domisili tersebut.
Filter tambahan yang juga dapat diterapkan adalah membuka sekolah berdasarkan jenjang pendidikan (PAUD/SD/SMP/SMA) mengingat anak dengan kelompok umur yang berbeda memiliki karakteristik perilaku kesehatan maupun pendidikan yang berbeda.
Pemberlakuan jam belajar yang lebih singkat dengan sistem masuk yang bergiliran juga perlu menjadi mekanisme yang dapat diterapkan oleh sekolah.
Namun, hal ini juga harus didampingi oleh adanya penetapan target belajar siswa dan asesmen kemampuan siswa yang berbeda dari sebelumnya. Meski telah belajar secara tatap muka, kegiatan belajar tidak akan sama seperti dulu sehingga penyesuaian pedagogi perlu dilakukan.
Artinya, pemberlakuan sekolah tatap muka semestinya hanya diperbolehkan bila daerah di tiap level kecamatan atau desa sudah siap, baik dalam hal infrastruktur, sumber daya manusia, anggaran, maupun mekanisme belajar tatap muka.
Selain itu, sekolah yang ingin melaksanakan kegiatan belajar tatap muka mungkin perlu membentuk satuan komite khusus yang bekerja sama dengan ahli kesehatan masyarakat untuk menjamin terlaksananya protokol kesehatan secara ketat untuk mencegah penularan di sekolah.
Pemerintah pusat sebenarnya telah menetapkan beberapa persyaratan (daftar periksa) bagi sekolah yang ingin melakukan pembelajaran secara tatap muka. Penting bagi pemerintah daerah untuk benar-benar menaati daftar periksa ini dan melakukan pengecekan ke seluruh sekolah yang ada di wilayahnya.
Akan tetapi, sejauh ini baru 45,11% sekolah/madrasah yang telah mengisi daftar periksa kesiapan sekolah. Dari sekolah-sekolah tersebut pun hanya 41,04% yang sudah memiliki fasilitas sanitasi.
Masih banyak daerah yang belum siap untuk melakukan pembelajaran tatap muka sehingga pemerintah daerah sebaiknya tidak mengambil keputusan yang terburu-buru. Sebaliknya, pemerintah pusat juga harus tetap memantau daerah yang memutuskan untuk membuka sekolah.