Strategi Menurunkan Angka Stunting di Indonesia: Memetakan Status Gizi Balita hingga Tingkat Desa

20 Agustus 2019

.

Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.

.
 

Dalam lima tahun terakhir, pemerintah meningkatkan perhatian dan anggaran untuk mempercepat penurunan angka bayi pendek (stunting) melalui penerbitan peraturan presiden dan menetapkan 160 kabupaten dan kota prioritas penanggulangan stunting.

Masalahnya, meski prevalensi bayi stunting di Indonesia pada 2018 masih tinggi 30,8% atau sekitar 1 dari 3 anak balita merupakan bayi stunting, tak ada data prevalensi tingkat kecamatan dan desa yang dapat membantu menentukan area prioritas intervensi.

 


Sumber: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2019 

 

Saat ini informasi prevalensi status gizi anak di bawah lima tahun baru tersedia untuk tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten yang berasal dari survei Riset Kesehatan Dasar. Padahal, lima tahun lagi pemerintah menargetkan angka stunting bisa diturunkan hingga 19%.

Keterbatasan informasi menjadi kendala pemerintah dalam menentukan sasaran program anti-stunting ke area yang lebih kecil. Informasi akurat terkait wilayah prioritas dan tingkat prevalensi status gizi sangat dibutuhkan untuk membantu pengambil kebijakan dalam mengalokasikan anggaran dan sumber daya lainnya pada sasaran yang tepat.

Melalui kerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), SMERU Research Institute baru-baru ini menyusun Peta Status Gizi untuk 6 kabupaten (peta bisa dilihat di sini) berdasarkan data riset pemerintah dan verifikasi di lapangan. Peta ini menyediakan informasi prevalensi status gizi balita hingga ke tingkat kecamatan dan desa/kelurahan.

Dengan metode riset yang kredibel dan data yang akurat, peta ini menjawab kebutuhan data kesehatan atau kemiskinan di tingkat desa/kecamatan dengan biaya yang jauh lebih murah. Kami menyajikan data status gizi balita di semua desa (1518 desa) di enam kabupaten terpilih yang masuk dalam daftar kabupaten prioritas yakni Rokan Hulu Provinsi Riau, Lampung Tengah (Lampung), Tasikmalaya (Jawa Barat), Pemalang (Jawa Tengah), Jember (Jawa Timur), dan Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur).
Salah satu temuan kami, program intervensi pemerintah seperti perbaikan akses terhadap air bersih dan sanitasi layak dan program terkait kesehatan lainnya, serta perubahan perilaku masyarakat menyebabkan perbaikan status gizi anak secara umum di 6 kabupaten tersebut.

 

Memandu intervensi yang tepat sasaran

Jauh sebelum riset menyusun peta status gizi tersebut, lembaga kami berpengalaman menyusun peta kemiskinan yang dibuat tahun 2000, 2010 dan 2015. Peta tersebut memberikan informasi tingkat kemiskinan hingga ke tingkat administrasi terkecil yaitu desa/kelurahan.

Peta ini tersedia aksesnya untuk pemerintah dalam rangka penetapan daerah-daerah prioritas pengentasan kemiskinan. Peta tersebut juga dapat memberikan gambaran secara geografis mengenai faktor-faktor kemiskinan antar wilayah dan aspek-aspek penghidupan masyarakat secara multi-dimensional.

Kami mengadopsi metode Small Area Estimation (SAE) dari Chris Elbers, Jean Lanjouw, and Peter Lanjouw (2003) ekonom dari Vrije Universiteit Amsterdam yang populer digunakan untuk mengestimasi tingkat kemiskinan hingga ke satuan wilayah terkecil.

Status gizi yang ditampilkan dalam peta status gizi tersebut meliputi stunting (anak pendek) yang didasarkan pada tinggi badan dan umur, underweight (anak berat kurang) yang didasarkan pada berat badan dan umur, dan wasting (anak kurus) yang didasarkan pada tinggi badan dan berat badan.

Sumber data yang kami gunakan untuk menyusun peta gizi berasal dari Riset Kesehatan Dasar 2013  yang memuat informasi hasil ukur berat dan tinggi badan balita secara nasional hingga tingkat kabupaten/kota. Lalu data Statistik Potensi Desa 2011 dan Sensus Penduduk 2010 dari Badan Pusat Statistik.

Untuk menyusun peta status gizi, selain memetakan melalui estimasi menggunakan data survei dan sensus, kami juga memverifikasi 18 desa dengan mengukur tinggi dan berat badan semua balita (3.800 anak berumur 0-59 bulan) di semua desa terpilih dan wawancara mendalam dengan informan kunci.

Verifikasi ini untuk mengukur secara langsung status gizi balita di desa, melihat konsistensi model estimasi, dan menangkap perubahan dari faktor-faktor kurun waktu 2013 ke 2019.

Temuan dari studi ini menunjukkan kondisi status gizi di semua desa sampel verifikasi cenderung membaik selama kurun waktu 2013 hingga 2019. Contohnya, berdasarkan estimasi pada desa A di Kecamatan Bangun Purba Kabupaten Rokan Hulu pada 2013 memiliki angka stunting 61%. Sementara pada verifikasi tahun 2019 angka stunting ditemukan hanya sepertiganya (20%) di desa tersebut. Program-program intervensi dari pemerintah seperti perbaikan akses sanitasi dan air layak dan pendidikan orang tua mengubah status gizi di desa, tapi perlu riset lanjutan untuk bisa menunjukkan apa saja program yang paling berhasil.

Temuan ini sejalan dengan perubahan angka stunting di tingkat kabupaten. Riset Kesehatan Dasar 2013 menyatakan angka stunting di Kabupaten Rokan Hulu mencapai 59%, lalu riset serupa tahun lalu angkanya turun lebih dari separuhnya, tinggal 27%.

Pola serupa juga ditemukan di semua kabupaten studi. Hal ini menunjukkan konsistensi antara perubahan angka status gizi di tingkat desa dan perubahan angka status gizi di tingkat kabupaten pada 2013-2019.

 

Faktor pengubah status gizi

Karena perbedaan antara tahun estimasi – menggunakan data riset kesehatan dasar tahun 2013 – dan verifikasi lapangan pada tahun ini, kami juga menganalisis faktor perubahan angka status gizi di tingkat desa. Kami menemukan beberapa faktor penghidupan yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap perubahan status gizi di desa sampel.

Meningkatnya rata-rata tingkat pendidikan ayah dan ibu, membaiknya sanitasi layak dan akses rumah tangga terhadap air bersih, naiknya tingkat kesejahteraan rumah tangga, dan perbaikan asupan gizi ibu dan anak baik melalui perubahan pemahaman terkait pola pengasuhan, dan terpapar oleh program-program gizi merupakan faktor-faktor yang mengubah status gizi anak-anak.

Sedangkan desa dengan angka status gizi yang stagnan tarkait dengan pola hidup bersih dan sehat yang tidak berjalan, ada pernikahan dini, kondisi geografis dan akses ke layanan kesehatan yang sulit, dan potensi kerawanan pangan.

Di desa-desa di Timor Tengah Selatan, misalnya, penurunan angka prevalensi stunting cenderung kecil/stagnan. Hal ini disebabkan oleh faktor kondisi geografis wilayah yang luas dengan penduduk yang tersebar, lalu kondisi alam yang cenderung kering dan jauhnya akses sumber air bersih, kesejahteraan rumah tangga yang rendah, dan pemahaman yang rendah terhadap makanan bergizi dan berimbang.

 

Mencegah masa depan buruk

Penelitian di berbagai negara berkembang menyatakan stunting memiliki banyak dampak buruk pada masa depan anak-anak. Mereka yang stunting cenderung memiliki capaian pendidikan yang lebih rendah, pendapatan yang lebih rendah dan kemungkinan untuk jatuh dalam kemiskinan yang lebih besar.

Karena tinggi badannya yang cenderung lebih rendah, maka anak-anak yang stunting memiliki faktor risiko berat badan berlebih atau obesitas dan penyakit kronis lainnya ketika dewasa. Perempuan yang stunting juga dapat mengakibatkan kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan komplikasi persalinan.

Bank Dunia mencatat kurangnya tinggi anak 1% secara nasional berkorelasi dengan penurunan produktivitas ekonomi 1,4% di negara berkembang di Asia dan Afrika.

Dan Indonesia masih menghadapi permasalahan akut kekurangan gizi di kalangan anak-anak di bawah lima tahun.

Sampai saat ini, pemerintah Indonesia menurunkan angka stunting dengan dua strategi: intervensi spesifik dan intervensi sensitif.

Di bawah kendali Kementerian Kesehatan, intervensi spesifik ditujukan untuk mencegah dan mengatasi stunting secara langsung pada ibu hamil dan balita melalui pemberian zat besi, imunisasi, makanan tambahan, dan suplementasi zat gizi mikro (misalnya zat besi, seng, dan vitamin).

Sedangkan intervensi sensitif yang multi-sektoral untuk mengatasi permasalahan sosioekonomi yang dapat berhubungan dengan peningkatan risiko stunting, seperti akses sanitasi dan air bersih, akses terhadap bantuan sosial, peningkatan ketahanan pangan dan peningkatan kesehatan remaja.

Karena itu, data prevalensi yang akurat di level terkecil sangat penting agar intervensinya tepat sasaran. Peta Status Gizi untuk 6 kabupaten baru langkah awal untuk membantu memetakan status gizi untuk seluruh desa dan kecamatan di Indonesia sebagai bagian dari strategi nasional menurunkan angka bayi dan balita stunting.

Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.

.
 

Bagikan laman ini

Penulis

Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.
Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.