Bolak-balik Diterjang Banjir, Pemerintah bisa Lindungi Masyarakat Rentan lewat Bantuan Responsif Bencana - tapi Perbaikan Diperlukan

29 Maret 2023

.

Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.

.

Bencana banjir di berbagai wilayah Indonesia menjadi pengalaman pahit sebagian masyarakat di awal 2023.

Banjir yang mengepung kota Makassar, Sulawesi Selatan, pada Februari menggenangkan ribuan rumah dan memaksa ratusan warga mengungsi. Tak lama setelahnya, banjir bandang merusak ratusan rumah di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, pada 9 Maret silam.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan lebih dari 241 banjir terjadi di seluruh Indonesia per 13 Maret 2023. Selain banjir, Indonesia juga menghadapi cuaca ekstrem, tanah longsor, dan berbagai bencana lain yang mengakibatkan 75 korban jiwa dan lebih dari 1,5 juta orang mengungsi dan menderita.

“Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga” merupakan pepatah yang menggambarkan kondisi bencana saat ini. Bagaimana tidak, bencana-bencana tersebut menerjang Indonesia di kala masyarakat baru saja bangkit setelah jatuh akibat bencana pandemi COVID-19.

Isu bencana bukan isu baru di Indonesia sebagai negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, terutama bencana hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi adalah bencana yang terjadi di atmosfer, air atau lautan, seperti kekeringan, banjir, badai, kebakaran hutan, longsor, dan gelombang panas.

Dampaknya pun cenderung merugikan masyarakat rentan. Misalnya, peningkatan suhu air laut di Bengkulu Selatan akibat perubahan iklim menyebabkan migrasi ikan, sehingga menyulitkan nelayan untuk mendapatkan ikan dan menurunkan pendapatan mereka. Penurunan pendapatan serupa dapat memaksa keluarga mengurangi pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan, sehingga merugikan masa depan mereka.

Masyarakat miskin pun akan semakin rentan di tengah meningkatnya risiko perubahan iklim. Bank Dunia memperkirakan bahwa dampak perubahan iklim seperti kesehatan, bencana alam, dan pengaruh harga pangan dapat mendorong hingga 132 juta orang di seluruh dunia jatuh miskin pada tahun 2030.

Berbagai pihak mendorong adanya Perlindungan Sosial Adaptif (PSA) di tengah meningkatnya risiko berbagai gejolak di masa depan. PSA menghubungkan perlindungan sosial, adaptasi perubahan iklim dan manajemen risiko bencana untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Namun, bagaimana perkembangan PSA di Indonesia? Apa saja tantangannya dan bagaimana sebaiknya Indonesia menerapkan PSA ke depannya?
  

Perkembangan PSA di Indonesia

Pemerintah Indonesia akan menjadikan PSA sebagai salah satu poin prioritas dalam rencana jangka menengah (2025-2029) dan jangka panjang (2025-2045) nasional. Saat ini, pemerintah sudah menyusun draf peta jalan PSA sebagai panduan ke depan dalam membangun dan melaksanakan PSA di Indonesia.

Dari segi pembiayaan, pemerintah telah meluncurkan Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) untuk mengurangi tekanan pada anggaran negara dalam menanggulangi bencana. Hal ini dilatarbelakangi oleh besarnya kerugian akibat bencana di tengah keterbatasan anggaran negara.

Strategi ini antara lain melibatkan pembentukan Pooling Fund Bencana (PFB) yang mengumpulkan dana dari berbagai sumber dan dikelola untuk membiayai penanggulangan bencana yang berkelanjutan. Strategi ini juga membiayai perlindungan masyarakat melalui asuransi dan program perlindungan sosial.

Pemerintah juga menyesuaikan beberapa program bantuan tunai pada saat COVID-19 sebagai bentuk PSA. Misalnya, pemerintah meningkatkan nilai bantuan Program Keluarga Harapan sebagai bantalan masyarakat terhadap dampak pandemi COVID-19.

Pemerintah pun meluncurkan berbagai program baru untuk meningkatkan jumlah keluarga yang layak menerima bantuan, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa dan Bantuan Subsidi Upah. Hal ini menunjukkan bahwa sistem perlindungan sosial Indonesia sebenarnya bisa lebih adaptif ketika menghadapi sebuah krisis.
  

Ruang untuk perbaikan

Meski demikian, Indonesia masih memiliki ruang untuk perbaikan. Misalnya, PSA masih cenderung bersifat reaktif dan ad-hoc. Artinya, pelaksanaan program PSA masih dilakukan secara spontan ketika menghadapi bencana tanpa pedoman standar untuk perencanaan dan pelaksanaannya.

Beberapa bencana sebelumnya juga menunjukkan bahwa penyaluran bantuan tunai kerap mengalami keterlambatan karena pendamping program turut terdampak bencana di tingkat daerah. Cakupan penerima bantuan sosial dari pemerintah juga masih terbatas, terutama bagi kelompok lansia dan penyandang disabilitas.

Keterbatasan data juga mempersulit penerapan PSA di Indonesia. Data yang saat ini digunakan untuk menentukan penerima bantuan sosial baru mencakup penduduk miskin dan rentan. Padahal, PSA memerlukan data dan informasi yang mencakup lebih banyak penduduk yang terdampak bencana.

Kurangnya keterhubungan antara data pemerintah juga masih menjadi tantangan. Sebagai contoh, pemerintah belum menghubungkan data kemiskinan dengan data terkait bencana dan kerentanan masyarakat. Padahal, ketiga data ini berguna untuk memetakan kelompok penduduk yang paling rentan dan berpotensi terdampak bencana dan perubahan iklim.

Pedoman nasional untuk aksi ketahanan iklim juga belum secara jelas menghubungkan PSA dalam adaptasi perubahan iklim, meskipun sudah mencakup beberapa bentuk PSA seperti asuransi nelayan dan program padat karya. Alhasil, belum semua daerah memasukkan PSA dalam perencanaan adaptasi perubahan iklimnya.
  

Pelaksanaan PSA ke depannya

Ke depannya, perencanaan dan pedoman perlindungan sosial perlu membentengi masyarakat terhadap dampak risiko perubahan iklim dan gejolak lainnya. Perencanaan dan pedoman ini perlu mencakup penyesuaian program perlindungan sosial, durasi program, prosedur penyaluran bantuan, sumber daya manusia dan dana yang diperlukan.

Pemerintah harus mempertimbangkan kelompok yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk perempuan, penyandang disabilitas, dan penduduk lanjut usia. Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah mendatangi secara langsung kelompok tersebut secara proaktif dalam penanganan bencana.

Indonesia juga perlu membangun mekanisme pencairan dana yang lebih cepat dalam strategi pembiayaan dan asuransi bencana dengan mengalokasikan sumber daya manusia dari berbagai tingkatan pemerintah untuk membantu pendamping program saat bencana. Pemerintah perlu memastikan ketersediaan pendanaan, baik saat pra-bencana, tanggap darurat, ataupun pascabencana, dengan memanfaatkan sistem PFB.

Selain itu, pemerintah perlu membangun keterhubungan antara data program, data bencana, dan data kerentanan untuk mendukung pemetaan penduduk dan wilayah yang rentan terhadap bencana dan perubahan iklim. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan investasi pada teknologi pendataan yang dapat menghubungkan berbagai sistem pendataan.

Secara kelembagaan, pemerintah dapat membangun tim atau komite lintas sektor yang mirip dengan Komite Penanganan COVID‑19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) pada masa COVID-19. Namun, komite ini perlu melakukan koordinasi secara rutin untuk melaksanakan dan mengawasi penerapan program perlindungan sosial, terlepas ada tidaknya bencana.

Ni Made Rahayu Maitri, konsultan dan praktisi proyek-proyek pembangunan terkait perlindungan sosial dan perubahan iklim yang sebelumnya bekerja untuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), berkontribusi dalam menulis artikel ini.

Bagikan laman ini

Penulis

Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.
Peneliti Junior
Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.