Selama satu dasawarsa terakhir telah berlangsung upaya penyelarasan desentralisasi dan iklim usaha yang sehat di Indonesia. Tidak pelak lagi bahwa selama ini menarik investasi ke daerah adalah salah satu tantangan utama bagi pemerintah daerah (pemda). Pemda harus menghadapi situasi yang rentan dan berusaha mencapai keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dan kesinambungan jangka panjang wilayahnya ketika melaksanakan otoritas yang diberikan kepadanya melalui desentralisasi. Beberapa kalangan berpendapat bahwa kepentingan yang kedua masih dikalahkan oleh yang pertama.
Beberapa isu di atas mengemuka dalam kajian terbaru Lembaga Penelitian SMERU tentang iklim usaha di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang didukung oleh AntaraAusAid. Dalam kajiannya yang kedua tentang iklim usaha di wilayah ini, SMERU meneliti tiga kabupaten/kota, yakni Kota Kupang, Kabupaten Timor Tengah Utara, dan Kabupaten Flores Timur, serta secara khusus menyoroti peraturan-peraturan daerah (perda) ketiga wilayah penelitian tersebut berikut penerapannya.
Konsep otonomi daerah menghendaki perda dan pelaksanaannya menciptakan iklim usaha yang kondusif yang menarik minat para penanam modal, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan. Akan tetapi, temuan SMERU menunjukkan bahwa situasi di lapangan bertolak belakang dengan gagasan ini. Berdasarkan kondisi tersebut, penulis tamu Robert Endi Jaweng, menyampaikan pandangannya tentang bagaimana munculnya sebuah undang-undang baru berpotensi mendorong terciptanya iklim usaha yang lebih bersahabat di Indonesia.
Penulis tamu lainnya, Vincent Bureni dari Bengkel APPeK, menggambarkan berbagai strategi yang diterapkan para perempuan pelaku usaha skala kecil di Kupang dalam upaya mereka memperoleh kehidupan yang lebih baik.