.
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.
.
Sistem pendidikan Indonesia menghadapi ragam persoalan yang akut.
Lebih dari 55 persen murid Indonesia yang menyelesaikan sekolah, bahkan sampai tingkat sekolah menengah pertama (SMP), misalnya, buta huruf secara fungsional (functionally illiterate). Artinya mereka mampu membaca tetapi tidak menguasai materi yang mereka baca. Bandingkan dengan masalah serupa di Vietnam yang hanya 14 persen.
Dampak dari rendahnya pemahaman konten pelajaran ini menyebabkan orang Indonesia yang buta huruf secara fungsional cenderung mendapat pekerjaan di sektor dengan produktivitas rendah.
Sementara itu, jurang kualitas antarsekolah di negeri ini juga begitu besar dan belum teratasi hingga sekarang.
Salah satu penyebabnya adalah pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan di Indonesia begitu lama terbelenggu oleh ilusi kemajuan yang mewujud dalam maraknya “tiruan semu”. Maksudnya, reformasi kebijakan cenderung di permukaan dan sering dilakukan untuk pencitraan belaka untuk mendapatkan nilai bagus dari lembaga donor padahal tidak berdampak pada meningkatkan kualitas layanan pendidikan.
Tiruan semu bisa dianggap kesalahan bersama lembaga donor yang juga ikut berperan menciptakan kebijakan ini karena mereka mendorong negara berkembang untuk mengejar standar internasional yang sebenarnya sulit mereka capai.
Beragam kebijakan untuk mendongkrak kualitas pendidikan di negeri ini telah dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah pada era desentralisasi dalam dua puluh tahun terakhir. Yang cukup fundamental untuk perubahan sistem adalah mengurangi kecurangan dengan menerapkan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dan menjadikan UN tak lagi sebagai penentu kelulusan dan penerimaan siswa baru sejak 2015.
Upaya mengatasi kecurangan dan menghapus syarat kelulusan dan penerimaan siswa baru berdasarkan hasil UN patut diapresiasi. Namun belum cukup untuk membuat sistem pendidikan berfungsi semestinya, karena tiruan semu masih marak dalam banyak kebijakan pendidikan, termasuk di berbagai daerah.
Hasil UNBK perlu dianalisis lebih lanjut untuk memperbaiki mutu pembelajaran dengan mengurangi disparitas mutu antarsekolah. Dengan demikian, setiap sekolah mempunyai kesempatan yang relatif sama untuk berkompetisi.
Bahaya kebijakan tiruan semu
Memasuki era 2000-an, secara global muncul upaya untuk membangun pendidikan bagi semua yang berfokus pada akses bersekolah sebagaimana tercermin, misalnya, pada Tujuan Kedua Millennium Development Goals (MDGs) dari tahun 2000 hingga 2015. Langkah itu kemudian diteruskan untuk lebih mempedulikan mutu pendidikan melalui Tujuan Keempat Sustainable Development Goals (SDGs) dari tahun 2015 hingga 2030).
Namun, krisis pembelajaran tetap saja berlangsung di berbagai penjuru dunia. Studi Lant Pritchett pada 2013 melaporkan banyak anak pergi sekolah tanpa memperoleh layanan pembelajaran yang layak. Banyak negara yang mereformasi pendidikan gagal mencapai tujuannya, salah satunya Indonesia.
Sejak berakhirnya era Orde Baru pada 1998, Indonesia banyak mereformasi sektor pendidikan dengan dukungan dua regulasi penting. Pertama, kebijakan desentralisasi pada 1999 yang menyerahkan urusan pendidikan dasar dan menengah ke kabupaten/kota. Kedua, amandemen UUD 1945 pada 2002 yang mewajibkan alokasi 20% dari APBN untuk bidang pendidikan.
Hasilnya, menurut perkumpulan negara-negara maju yang bergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Indonesia menjadi negara yang inovatif dalam bidang pendidikan, bahkan menempati peringkat kedua setelah Denmark. Sayangnya, capaian yang mengesankan itu tidak berarti alokasi dana besar untuk pembangunan pendidikan di Indonesia sudah terbayar.
Temuan RISE di Indonesia memperlihatkan bahwa antara 2000-2014 kualitas pembelajaran Matematika di Indonesia mandek di tingkat yang rendah. Penilaian kompetensi siswa Indonesia yang disebut AKSI pada tahun 2016 yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan gambaran senada.
Pritchett menjelaskan fenomena semacam ini sebagai tiruan semu (isomorphic mimicry). Pemerintah meniru kebijakan inovatif yang dipraktikkan di negara lain, tapi belum tentu cocok dilaksanakan di Indonesia karena konteks yang berbeda.
Padahal, tidak semua praktik yang berhasil di negara lain cocok diterapkan di berbagai daerah dengan karakteristik sistem pendidikan yang kompleks dan luas seperti Indonesia.
Misalnya, program Peningkatan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) guru seperti telah dipraktikkan oleh 14 negara di Afrika, Eropa Tengah dan Timur, Amerika Latin dan Karibia, Timur Tengah dan Afrika Utara, dan Asia Selatan dan Timur.
Program ini ditujukan untuk meningkatkan fungsi guru, artinya guru seharusnya dapat menerapkan hasil PKB untuk meningkatkan proses pembelajaran.
Walau secara permukaan inovatif, studi teranyar RISE menemukan beberapa kelemahan kebijakan PKB di Indonesia. Seperti rancangan dan tujuan PKB tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan guru karena ketidaktepatan pemetaan kompetensi guru, kemampuan pedagogis instruktur kurang memenuhi harapan dan kebutuhan peserta.
Hasilnya, peserta program ini sekadar mendapat penyegaran materi yang sebenarnya sudah mereka pelajari di Program Studi Pendidikan Guru S1.
Apa yang terjadi?
Pada tahun 2000, sesungguhnya akses pendidikan dasar di Indonesia sudah cukup tinggi, 96% untuk SD dan 80% untuk SMP.
Namun, keasyikan pemerintah yang didukung berbagai program internasional melalui kampanye MDGs untuk memperluas akses bersekolah, membuat Indonesia lengah terhadap mutu pembelajaran. Padahal, sebenarnya paling tidak sejak tahun 2000 itu perbaikan mutu pendidikan dasar sudah menjadi keperluan mendesak.
Dalam upaya mengikuti kecenderungan pembangunan internasional, menurut riset Pritchett dan koleganya pada tahun 2010, negara berkembang seringkali menerapkan strategi tiruan semu dengan seolah-olah bekerja sesuai standar untuk mencapai target yang dipersyaratkan lembaga donor.
Philipp Krause dari Bill and Melinda Gates Foundation menilai bahwa lembaga donor berperan mendorong tiruan semu karena menetapkan standar dan target yang pada dasarnya berada di luar jangkauan negara berkembang untuk memenuhinya.
Replikasi inovasi yang fungsional
Replikasi praktik pendidikan yang berhasil di negara lain sebenarnya tidak selalu buruk, bahkan bisa lebih efisien karena peniru tidak perlu melangkah dari awal.
Akan tetapi, semua bentuk kebijakan publik wajib didasari riset yang dirancang secara baik dan dilaksanakan dengan ketat agar kebijakan berfungsi optimal. Karena konteks satu negara dengan negara lain belum tentu sama. Selain itu, terdapat tata cara yang harus dipahami dan ditaati.
Ada banyak cara yang ditawarkan oleh praktisi dan akademisi untuk mewujudkan peniruan praktik yang berhasil tersebut agar berdampak fungsional.
Jangan sampai tiruan semu sekadar menghasilkan citra inovatif di permukaan untuk menarik dukungan finansial atau semacamnya. Bila itu terjadi pemangku kebijakan terbuai atau berilusi sedang membuat kemajuan.
Padahal, sebenarnya reformasi yang dilakukan tidak memperbaiki fungsi mendasarnya, bahkan mungkin melemahkan fungsi-fungsi yang sebenarnya tengah dalam proses terbangun. Kebijakan yang hanya didasarkan pada tiruan semu sulit mencapai sasarannya.