.
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.
.
Bank Dunia baru-baru ini menyatakan melalui laporannya bahwa Indonesia hampir mencapai target penghapusan kemiskinan ekstrem pada 2024, yakni dengan tingkat kemiskinan ekstrem sebesar 1,5% berdasarkan standar lama paritas daya beli atau Purchasing Power Parity (PPP) yakni $1,90 atau setara Rp12.000 per kapita per hari.
PPP digunakan untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara dengan memperhitungkan perbedaan harga kebutuhan dasar.
Namun, Bank Dunia mendorong Indonesia untuk meningkatkan standar kemiskinan ini menjadi $3,2 PPP ($3,65 dengan PPP yang baru atau setara Rp20.220 per kapita per hari) untuk ukuran negara berpendapatan menengah bawah, atau menjadi $5,5 PPP ($6,85 dengan PPP yang baru atau setara Rp38.000 per kapita per hari) untuk ukuran negara berpendapatan menengah atas.
“Ibu Satu Kahkonen (Country Director World Bank Indonesia) katakan di speech-nya ketika Anda dapat menurunkan kemiskinan ekstrem menjadi nol tapi garis kemiskinan anda adalah US$1,9, anda harus gunakan US$3,2. Seketika 40% kita semua menjadi miskin,” tanggap Menteri Keuangan Sri Mulyani pada acara Bank Dunia pada 9 Mei 2023, dilansir CNBC.
Dalam laporan yang diluncurkan akhir tahun lalu, Bank Dunia memang tak lagi menggunakan standar lama yang diterbitkan pada 2011 dan mulai menggunakan perhitungan baru, yakni PPP 2017. Kemiskinan ekstrem dipatok menjadi US$2,15 per kapita per hari, sementara batas kelas penghasilan menengah bawah dinaikkan dari US$3,20 menjadi US$3,65 per kapita per hari.
Penggunaan standar baru ini sempat membuat heboh karena mengakibatkan Indonesia ketambahan 13 juta warga miskin baru.
Bagaimana sebetulnya kondisi garis kemiskinan saat ini? Apa sebenarnya arti penting di balik peningkatannya? Jika tingkat kemiskinan melonjak akibat garis kemiskinan ditingkatkan, lantas apa imbas dari kenaikan tersebut?
Kami menawarkan solusi konkret untuk menaikkan garis kemiskinan secara signifikan di Indonesia.
Alasan menaikkan garis kemiskinan
Garis kemiskinan di Indonesia sudah tidak relevan lagi. Pada 2023, Indonesia termasuk negara berpendapatan menengah atas. Menurut standar negara dengan kategori ini, seseorang dianggap miskin jika penghasilan atau pengeluarannya kurang dari $6,85 PPP per hari, atau sekitar Rp 1,2 juta per bulan (berdasarkan nilai tukar per $PPP 2017 Rp 5.089 dengan inflasi 13% sejak 2017).
Namun, standar kemiskinan di Indonesia justru lebih dekat dengan rata-rata negara berpendapatan rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan, seseorang tergolong miskin jika pengeluarannya kurang dari Rp535.547 per bulan atau setara dengan $3,16 PPP per hari. Sementara, batas kemiskinan negara berpendapatan rendah terbaru adalah $2,15 PPP per hari.
Selain standar yang terlampau rendah, perhitungan garis kemiskinan saat ini juga tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.
Saat ini, garis kemiskinan versi Indonesia ditetapkan dengan menggunakan pendekatan cost of basic needs atau kebutuhan dasar, yaitu dihitung dari pengeluaran rumah tangga miskin untuk makanan sebesar 75% dan non-makanan 25%.
Metode ini seharusnya disesuaikan dengan perkembangan zaman. Menggunakan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS 2021, kami menghitung porsi pengeluaran makanan rumah tangga 40% termiskin adalah sebesar 60% dan pengeluaran nonmakanan 40% – meliputi perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Pengeluaran non-makanan rumah tangga miskin terus meningkat akibat peningkatan kualitas hidup rata-rata masyarakat Indonesia.
Komposisi komoditas yang digunakan dalam perhitungan garis kemiskinan juga hampir tidak berubah sejak 1998. Penghitungan garis kemiskinan saat ini, misalnya, belum secara signifikan memasukkan konsumsi makanan jadi atau prepared food. Padahal, konsumsi makanan jenis ini telah meningkat di antara rumah tangga miskin. Juga dari data Susenas, kami menghitung proporsi konsumsi makanan jadi mencapai seperempat (25%) dari total pengeluaran makanan di 40% rumah tangga termiskin, dari sebelumnya hanya 10%.
Tak hanya itu, pemerintah sebetulnya telah memperluas cakupan penerima program kesejahteraan sosial yang melebihi angka populasi miskin. Hal ini membuktikan bahwa jumlah masyarakat yang membutuhkan bantuan lebih banyak dibandingkan yang terukur oleh garis kemiskinan saat ini.
Sebagai contoh, peserta Program Keluarga Harapan telah mencapai 10 juta rumah tangga per 2022 atau 18% dari total rumah tangga di Indonesia. Sementara angka kemiskinan tersisa 9,57% dari total populasi (atau 8% dari total rumah tangga) pada September 2022.
Hal serupa bisa juga tercermin pada bantuan sosial lain seperti peningkatan kepesertaan Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan yang pada 2022 mencapai 96,7 juta jiwa. Pada tahun yang sama, keluarga penerima manfaat program bantuan sembako tercatat 18,8 juta rumah tangga (atau mencakup 75 juta jiwa) – jumlah yang sebenarnya melampaui angka kemiskinan Indonesia saat ini.
Menimbang celah-celah tersebut, sudah saatnya Indonesia untuk “naik kelas” dan memperbaharui standar kemiskinannya sebagai negara berpendapatan menengah atas.
Potensi Imbas Peningkatan Garis Kemiskinan
Apabila Indonesia menyesuaikan batas kemiskinan dengan standar negara berpendapatan menengah atas, angka kemiskinan akan meningkat secara signifikan. Namun, hal ini bukan berarti kemiskinan bertambah, melainkan cara pengukurannya yang berubah. Penyesuaian ini penting untuk menggambarkan secara lebih akurat jumlah warga yang hidup dalam kemiskinan di Indonesia.
Dengan batas kemiskinan yang lebih tinggi, pemerintah juga bisa menjangkau lebih banyak orang yang rentan jatuh miskin. Berdasarkan perhitungan kami menggunakan data Susenas, sekitar 78 juta orang Indonesia termasuk dalam kategori rentan miskin atau sekitar tiga kali lipat dari jumlah orang miskin saat ini.
Indonesia bisa belajar dari Malaysia. Malaysia pernah mengklaim memiliki tingkat kemiskinan nasional terendah di dunia sebesar 0,4%. Namun, laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkap bahwa klaim tersebut berdasarkan pada garis kemiskinan lama yang sangat rendah, sehingga menghasilkan tingkat kemiskinan yang tidak realistis.
Malaysia pada akhirnya menaikkan garis kemiskinannya pada pertengahan 2020. Akibatnya, jumlah rumah tangga yang dikategorikan sebagai miskin meningkat. Namun, hal ini juga mendorong pemerintah untuk memperluas cakupan bantuan tunai dan program pengentasan kemiskinan bagi mereka yang berada di bawah garis kemiskinan baru tersebut.
Lebih dari sekadar menaikkan angka
Jika Indonesia ingin “naik kelas” sebagai negara berpendapatan menengah-atas, maka pemerintah perlu memastikan bahwa garis kemiskinan mencerminkan kondisi sebenarnya. Misalnya, pemerintah dapat menyesuaikan alokasi pengeluaran makanan dalam garis kemiskinan dari 75% menjadi 60% dari total pengeluaran untuk mencerminkan peningkatan pengeluaran non-makanan akibat dari peningkatan standar hidup masyarakat.
BPS juga dapat merevisi atau menambahkan jumlah komoditas konsumsi yang masuk ke dalam perhitungan garis kemiskinan, agar dapat mencerminkan perubahan dalam pola konsumsi masyarakat. BPS juga dapat mengakomodasi penambahan konsumsi makanan jadi dalam penghitungan garis kemiskinan untuk mencerminkan peningkatan konsumsi komoditas tersebut di antara rumah tangga miskin.
Selain itu, BPS dapat mempertimbangkan pendekatan pendapatan alih-alih hanya pengeluaran dalam menghitung mereka yang masuk kategori miskin, mengingat Indonesia masih belum memiliki data pendapatan yang cukup akurat dan komprehensif. Pendekatan ini telah berhasi diadaptasi di negara-negara menengah atas lainnya seperti Malaysia, Filipina, Chile, dan Brasil.
Pemerintah juga sebaiknya terus mengkaji garis kemiskinan secara berkala. Pengkajian ulang ini, misalnya, dapat dilakukan setiap 10 tahun sekali untuk memastikan bahwa garis kemiskinan selaras dengan keadaan ekonomi dan sosial yang berubah-ubah di masa depan.
Komunikasi yang jelas dan terbuka dengan masyarakat menjadi penting untuk menghindari kesalahpahaman tentang garis kemiskinan baru. Sebab, tujuan utama menaikkan batas kemiskinan bukan untuk membuat angka kemiskinan tampak lebih tinggi, melainkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang kemiskinan di Indonesia. Dengan demikian, pemerintah dapat mengambil kebijakan yang lebih tepat untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia.