.
Artikel ini ditulis dalam rangka Hari Guru Nasional yang diperingati setiap 25 November dan terbit pertama kali di situs web Program RISE di Indonesia.
.
Guru merupakan profesi yang mulia. Semua pihak kiranya sepakat dengan hal itu. Namun, tidak sedikit yang menganggap guru adalah sebuah profesi yang mudah untuk dijalani. Padahal, dalam perjalanan menjadi seorang guru yang berkualitas, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh calon guru maupun guru yang sudah mengajar selama bertahun-tahun.
Studi RISE menunjukkan, perjalanan guru muda dalam memulai karier sebagai guru sering dimulai dengan pengalaman yang dilematik dan tidak jarang menjauhkan mereka dari pengembangan kompetensi profesionalnya. Studi Catatan Perjalanan Guru yang merekam pengalaman sejumlah guru muda dalam kurun waktu 2 tahun setelah menyelesaikan Pendidikan Profesi Guru (PPG) mengungkapkan kepercayaan diri para guru berkurang setelah mereka mengajar selama setahun dibandingkan ketika baru saja selesai menyelesaikan pendidikannya. Studi ini juga menemukan setidaknya lima tantangan yang dihadapi guru muda Indonesia pada tahun-tahun awal mereka mengajar, yaitu guru muda merasa kurang kompeten; tidak ada pendamping yang membantu mereka mengajar secara efektif; sumber daya yang terbatas dan rekan kerja yang tidak antusias; sulitnya membangun komunikasi dengan orang tua murid; hingga banyaknya tugas tambahan yang tidak berhubungan dengan mengajar.
Terkait dengan kurangnya kompetensi guru muda, walaupun sudah menempuh studi S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dan PPG, studi RISE yang mengevaluasi dampak PPG Prajabatan menunjukkan bahwa guru lulusan PPG belum terbukti memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan guru bukan lulusan PPG (Yusrina et al., akan dipublikasikan). Siswa yang diajar oleh guru lulusan PPG tidak menunjukkan hasil belajar dalam numerasi dan literasi yang lebih baik daripada siswa yang diajar oleh guru yang tidak mengikuti PPG. Padahal, PPG merupakan pendidikan profesi unggulan pemerintah untuk menyiapkan tenaga pendidik dengan kompetensi mengajar yang profesional. Hal ini mengindikasikan bahwa perbaikan pendidikan guru sedianya tidak hanya dilakukan secara parsial (in a piecemeal manner) dengan menjadikan PPG sebagai tameng atas ketidakmampuan pemerintah membina Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) untuk menghasilkan lulusan sarjana pendidikan yang berkualitas.
Dalam studi Catatan Perjalanan Guru, tim studi juga menemukan bahwa ketidakpastian dalam rekrutmen guru di sekolah negeri dan sistem rekrutmen guru yang generik dalam skema umum CPNS menambah kecemasan pada guru muda. Mereka semakin tidak berorientasi kepada pengembangan keterampilan mengajarnya ketika kepastian akan pekerjaan dan penghasilan yang layak tidak dapat terpenuhi. Hal ini sejalan dengan temuan studi RISE sebelumnya terkait kompleksitas sistem rekrutmen guru di Indonesia (Huang et al., 2020).
Dalam acara diskusi pendidikan yang diselenggarakan RISE beberapa waktu lalu, para peserta juga menceritakan pengalaman mereka saat menjadi guru muda dan kurangnya dukungan yang mereka rasakan di lingkungan kerja.
“Guru muda datang ke sekolah dengan membawa ide dan gagasan baru serta punya niatan [membuat] inovasi pembelajaran. Tetapi setelah beberapa bulan, rekan kerja di sekolah kurang memberikan ruang untuk menularkan ide dan gagasan baru dalam kegiatan pembelajaran di sekolah karena terlalu sibuk dengan urusan administrasi dan hal lain di sekolah ataupun kesibukan pribadinya.” –Erfan Wijayanto, guru SD
“Merasa sendirian, menghambat kreativitas, minim pendampingan, dianggap sudah profesional. Sesudah mendengarkan penjelasan detail studi RISE membuat saya merasa oh wajar saja dalam setahun guru muda kehilangan kepercayaan dirinya. ... Sering sekali mendapatkan tugas tambahan yang tidak berhubungan dengan pembelajaran. Ya Tuhan, ini memang keresahan guru muda yang sering didengar. Benar sekali, apalagi bagi guru honorer. Selama ini masih ada anggapan itu hanya perasaan guru muda saja, padahal ini fakta dan nyata.” –Lizsa Megasari, Komunitas Guru Belajar Nusantara (KGBN)
Berbagai tantangan yang dihadapi oleh guru muda itu mencerminkan belum efektifnya sistem pendidikan Indonesia dalam mendukung pembentukan identitas profesional guru. Padahal, tahun-tahun awal mengajar adalah masa emas bagi guru muda untuk belajar, dan sedianya dipenuhi dengan pengalaman yang membangun image positif terhadap profesi itu sendiri. Standar profesional guru yang ada sekarang ini, sering dikenal dengan empat kompetensi guru, juga ternyata belum dapat menjadi panduan bagi berbagai pihak terkait untuk berorientasi pada kualitas guru yang efektif.
Berdasarkan temuan studi-studi RISE, setidaknya ada tiga bentuk dukungan mendasar yang dapat membantu guru muda, khususnya di tingkat sekolah dasar, menjadi guru yang efektif. Ketiga dukungan ini vital karena akan menentukan proses pembentukan identitas profesional mereka sebagai guru.
1. Program penyiapan guru perlu berfokus pada peningkatan kompetensi pedagogis numerasi dan literasi agar lebih berdampak pada hasil belajar murid
Temuan studi RISE yang menunjukkan bahwa pendidikan guru tidak berdampak terhadap hasil belajar numerasi dan literasi murid seharusnya menjadi bahan refleksi bagi LPTK penyelenggara pendidikan guru untuk melihat kembali kurikulum pendidikan guru dan kaitannya dengan kompetensi lulusan yang dihasilkan. Jika guru yang lulus dari program S-1 PGSD, apalagi yang telah tersertifikasi melalui PPG, saja tidak menunjukkan kinerja yang baik, kepada siapa lagi pendidikan anak-anak Indonesia harus dipercayakan.
Indikator yang digunakan untuk menjamin penguasaan kompetensi guru begitu mereka melewati rangkaian asesmen yang ditentukan dalam pendidikan guru, perlu pula untuk ditinjau kembali. Tentunya, guru yang kompeten, atau telah dianggap kompeten, selayaknya menghasilkan murid yang kompeten pula. Seperti yang sering digaungkan oleh banyak pihak, penguasaan kemampuan numerasi dan literasi anak Indonesia harus ditingkatkan demi mewujudkan sumber daya manusia berdaya saing di masa depan. Hal ini akan menjadi tidak realistis jika guru tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang baik untuk memfasilitasi proses belajar muridnya.
2. Kegiatan induksi yang memadai
Saat ini, induksi untuk guru baru belum memadai karena hanya menitikberatkan pada aspek administrasi dan kedisiplinan alih-alih pengajaran. Padahal, induksi sangat penting bagi guru muda untuk memahami iklim kerja di sekolah yang berbeda-beda. Ketiadaan induksi formal pada tahun-tahun awal bekerja membuat guru muda harus berjuang sendiri dalam mengatasi tantangan yang mereka hadapi. Oleh karena itu, mekanisme induksi untuk guru baru perlu dibenahi agar dapat lebih membantu guru muda memahami “medan tempurnya" selama tahun orientasi. Dalam hal ini, peran komunitas belajar guru juga dapat dimaksimalkan untuk berbagi pengalaman dalam melalui tahun-tahun awal mengajar.
Selain itu, level kompetensi guru sebaiknya dibedakan menjadi guru pemula, madya, dan berpengalaman agar kebijakan pengembangan profesionalisme guru dapat lebih koheren dan sesuai dengan kebutuhan guru pada masing-masing level kompetensinya. Saat ini, guru dalam jenjang karier berbeda dituntut memiliki kompetensi yang sama. Guru muda masih dalam tahap belajar untuk mengajar dan mendidik. Mereka sedianya diarahkan agar fokus mencapai kompetensi yang realistis sesuai dengan tahapan mereka berada, dan secara gradual mencapai tahapan selanjutnya dengan jalur yang jelas pula.
3. Lingkungan kerja yang “bersahabat”
Guru muda memiliki bayangan bahwa guru yang ideal adalah yang berkomitmen pada siswa dan terus mengembangkan diri. Namun, terkadang mereka berada dalam lingkungan kerja yang kurang “bersahabat”, seperti menghadapi budaya senioritas yang kuat hingga mendapat beban kerja yang berlebihan. Guru muda sering diberi tugas tambahan oleh guru senior maupun kepala sekolah—umumnya tidak berhubungan dengan pengajaran—seperti pelaporan tugas yang berbasis daring atau yang terkait teknologi, informasi, dan komunikasi. Tugas-tugas tambahan tersebut menyita banyak waktu guru muda sehingga mereka kesulitan mengembangkan diri dan kreativitas.
Untuk membantu guru muda memaksimalkan potensi mereka, perlu diciptakan iklim kerja yang bersahabat, beban kerja yang realistis, dan sumber daya manusia yang memadai. Misalnya, sekolah menyediakan tenaga kerja yang khusus mengerjakan tugas-tugas administrasi alih-alih melimpahkannya kepada guru muda.
Mengutip penutup peneliti RISE, Ulfah Alifia, pada acara diskusi pendidikan RISE,
“Mari berikan dukungan maksimal kepada guru muda agar mereka dapat berkembang menjadi guru-guru terbaik bangsa!”
Selamat Hari Guru Nasional!