Pembelajaran Jarak Jauh Memperburuk Ketimpangan. Diperlukan Lebih Banyak Pilihan untuk Membuka Kembali Sekolah Tatap Muka

27 Oktober 2020

.

Artikel ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris di situs web Indonesia at Melbourne

.

Sebelum pandemi COVID-19 melanda, prestasi akademis siswa Indonesia sudah tertinggal dari siswa sebaya mereka di negara-negara lain. Saat pandemi menghantam Indonesia, banyak siswa yang kehilangan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Para siswa itu justru menghadapi risiko penurunan kemampuan akibat ditutupnya sekolah tatap muka.

Namun, penurunan kemampuan siswa tidak mendapat perhatian yang sama besarnya seperti kerugian ekonomi nasional. Di banyak provinsi, pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar diperpendek demi mencegah resesi ekonomi lebih lanjut. Sebaliknya, sekolah-sekolah tidak segera dibuka kembali karena kekhawatiran akan risiko penularan virus corona.

Padahal, risiko penurunan kemampuan siswa perlu mendapat perhatian yang besar. Semakin lama sekolah tatap muka ditutup, terdapat risiko anak mengalami penurunan pendapatan permanen di masa depan. Dampak kerugian ini paling berat akan dirasakan oleh siswa dari keluarga ekonomi rendah karena mereka sudah menderita ketimpangan pembelajaran sejak sebelum adanya pandemi.

Dibandingkan dengan teman sebaya mereka, siswa dari keluarga ekonomi rendah tidak memiliki akses yang memadai untuk bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh. Hal ini menyebabkan mereka semakin tertinggal ketika nanti masuk sekolah saat sekolah dibuka kembali. Ketimpangan tidak hanya terlihat pada kondisi ekonomi keluarga siswa, tetapi juga terjadi pada praktik pembelajaran jarak jauh.

Tingginya ketimpangan di kalangan pelajar Indonesia ini sepertinya tidak diantisipasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam merancang langkah-langkah untuk menghadapi situasi pandemi. Pada Mei 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengaku ia baru mengetahui bahwa sebagian daerah di Indonesia tidak memiliki pasokan listrik, apalagi akses internet yang memadai.

Lalu, bagaimana siswa Indonesia belajar selama masa pandemi? Bagaimana pembelajaran yang tidak normal pada masa pandemi memperburuk ketimpangan pembelajaran yang sudah ada sejak sebelum pandemi? Dapatkah kebijakan membuka kembali sekolah tatap muka mengatasi masalah ketimpangan ini?

 

“Belajar dari Rumah” dan Ketimpangan Pembelajaran

Pada April hingga Juni 2020, kami melakukan survei dan wawancara mendalam dengan sejumlah guru sekolah dasar, kepala sekolah, dan orang tua. Hasil survei menunjukkan kualitas pembelajaran menjadi bervariasi sejak kebijakan Belajar dari Rumah diberlakukan pada awal 2020. Variasi ini menimbulkan ketimpangan karena kelompok siswa tertentu tidak menerima pembelajaran dan dukungan yang memadai dibandingkan siswa lain.

Pada sisi guru, kami juga menemukan variasi dalam hal persepsi dan praktik pembelajaran. Banyak guru di sekolah negeri menganggap pemberlakuan kebijakan Belajar dari Rumah sebagai libur sekolah sehingga mereka tidak mengadakan pembelajaran selama “masa libur” tersebut. Namun, ada juga guru sekolah negeri yang berpendapat pembelajaran harus tetap berlangsung, meski pada praktiknya mereka hanya memberi banyak tugas kepada murid—mereka berharap sekolah akan dibuka kembali dalam waktu dekat.

Sementara itu, guru sekolah swasta cenderung melihat Belajar dari Rumah sebagai kelanjutan pembelajaran normal di sekolah. Guru-guru ini mempersiapkan pembelajaran sebagaimana pembelajaran di sekolah. Di wilayah perkotaan, sejumlah sekolah swasta telah mengantisipasi dan mempersiapkan skenario pembelajaran jarak jauh sejak pemerintah mengkonfirmasi kasus COVID-19 pertama di Indonesia pada Maret 2020.

Kami menemukan bahwa secara umum, guru-guru di wilayah perkotaan, terutama di Pulau Jawa, memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menggunakan aplikasi digital untuk pembelajaran atau memberikan tugas kepada siswa. Berdasarkan laporan guru-guru di sejumlah sekolah swasta di wilayah perkotaan di Pulau Jawa, mereka berusaha melakukan pembelajaran jarak jauh dengan cara yang sama saat mereka mengajar di dalam kelas. Guru-guru ini berinteraksi secara rutin dengan siswa-siswanya menggunakan teknologi konferensi video.

Di sisi lain, guru-guru di wilayah perdesaan di luar Pulau Jawa, terutama yang koneksi internet di wilayahnya terbatas, jarang berinteraksi dengan siswa. Para guru ini juga jarang berkomunikasi dengan orang tua murid untuk membahas perkembangan belajar anaknya. Guru-guru yang tinggal di wilayah dengan kondisi seperti ini harus mendatangi rumah setiap siswa agar tetap bisa melanjutkan pembelajaran selama sekolah ditutup.

Hanya sedikit guru yang dapat melanjutkan pembelajaran secara teratur dalam situasi tidak normal seperti sekarang ini. Di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, seorang guru melaporkan dirinya harus menempuh perjalanan sejauh rata-rata 30 kilometer ke rumah siswanya.

Dukungan sekolah merupakan faktor lain yang berkontribusi terhadap variasi pembelajaran. Guru-guru di wilayah perkotaan di Pulau Jawa lebih mungkin menerima bantuan dana dari sekolah mereka untuk membeli paket data internet dan mengikuti pelatihan pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran jarak jauh. Guru-guru sekolah swasta lebih mungkin memperoleh bantuan semacam ini dibandingkan guru-guru di sekolah negeri.

Kami juga menemukan variasi pada lingkungan tempat tinggal siswa, termasuk kualitas pendampingan orang tua serta sumber-sumber belajar. Anak-anak dari orang tua berpendidikan rendah yang tinggal di wilayah perdesaan cenderung menghabiskan waktu di rumah dengan bermain ketimbang belajar. Mereka juga tidak memiliki jadwal belajar yang jelas. Anak-anak dari keluarga ekonomi rendah juga tidak mampu membeli perangkat teknologi maupun paket data internet untuk bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh. Akibatnya, mereka ketinggalan banyak pelajaran.

 

Pilihan-pilihan untuk Membuka Kembali Sekolah Tatap Muka

Dorongan untuk membuka kembali sekolah tatap muka semakin besar karena pembelajaran jarak jauh hingga saat ini tidak mampu memberikan pembelajaran yang berkualitas bagi sebagian besar siswa. Kemendikbud memang telah membuat berbagai program untuk membantu siswa-siswa dari keluarga ekonomi rendah belajar di rumah selama sekolah ditutup. Namun, hasil belajar sebagian besar siswa ini masih saja buruk. Rencana pemerintah daerah membuka kembali sekolah tatap muka merupakan pilihan terbaik untuk mencegah anak-anak dari keluarga ekonomi rendah semakin tertinggal.

Selain itu, banyak orang tua yang menantikan sekolah tatap muka dibuka kembali. Orang tua yang memiliki pekerjaan penuh waktu mengeluhkan ketidakmampuan mereka dalam mendampingi anak-anak mereka belajar di rumah.

Kemendikbud lalu menanggapi keluhan orang tua ini dengan mengizinkan sekolah-sekolah yang berlokasi di wilayah berstatus zona hijau (tidak ada kasus COVID-19 terkonfirmasi) dibuka kembali pada Juni 2020. Namun, pembukaan kembali sekolah tersebut harus mengikuti protokol kesehatan yang ketat. Keputusan Kemendikbud itu kemudian diperluas ke sekolah-sekolah yang berada di wilayah berstatus zona kuning (risiko penyebaran COVID-19 rendah).

Langkah pemerintah yang sangat berhati-hati dalam mengizinkan sekolah tatap muka dibuka kembali sangat dapat dipahami. Namun, pelaksanaannya di lapangan masih menyimpan sejumlah masalah.

Sekolah tatap muka baru dapat dibuka kembali bila sudah memperoleh izin dari pemilik kewenangan di tingkat daerah (kabupaten/kota). Artinya, siswa dapat kembali belajar di sekolah hanya bila pemerintah daerah siap melaksanakan perubahan tersebut.

Di satu kota berstatus zona hijau di Sumatra Barat, sekolah tidak jadi dibuka kembali saat hasil tes seorang guru menunjukkan ia positif terinfeksi virus corona sewaktu menjalani tes COVID-19 yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah terhadap seluruh guru dan pegawai sekolah. Masih di provinsi yang sama, para siswa di suatu kota terpaksa kembali melakukan pembelajaran jarak jauh setelah hasil tes dua pegawai sekolah menunjukkan mereka positif terinfeksi virus corona.

Secara keseluruhan, tingkat pembukaan kembali sekolah tatap muka, bahkan di wilayah yang relatif aman dari penularan virus corona, tetap rendah. Pada tingkat ini, sekolah-sekolah di daerah-daerah padat penduduk kemungkinan besar akan terus menutup sekolah sampai pandemi berakhir.

Daripada menetapkan satu mekanisme untuk semua daerah, pemerintah dapat membuat lebih banyak pilihan mekanisme untuk membuka kembali sekolah tatap muka. Sekolah dapat diberi kelonggaran untuk memilih sendiri skenario membuka kembali sekolah setelah memenuhi protokol kesehatan yang disyaratakan pemerintah. Misalnya, siswa dapat melakukan sistem shift atau bergiliran jika orang tua mereka mengizinkan anak-anak mereka belajar kembali di sekolah.

Di daerah yang memang tidak mengizinkan sekolah tatap muka dibuka kembali, kepala sekolah dapat menugaskan guru secara bergantian mendatangi orang tua atau siswa yang memerlukan bantuan secara langsung. Sekolah juga perlu menciptakan mekanisme bagi siswa yang tidak diizinkan orang tuanya untuk belajar di sekolah. Misalnya, guru dapat mendatangi para siswa yang lokasi rumahnya berdekatan, dan menyelenggarakan pembelajaran berkelompok.

Menjaga kesehatan dan keselamatan siswa dan komunitas mereka memang prioritas terpenting. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan pembukaan sekolah yang sesuai dengan kondisi di tiap-tiap daerah atau komunitas guna melindungi kesehatan maupun masa depan siswa. Untuk mencegah siswa Indonesia, terutama mereka yang berasal dari keluarga ekonomi rendah, tertinggal lebih jauh, pemerintah perlu mempertimbangkan opsi selain melanjutkan penutupan sekolah tatap muka.

 

*Penelitian yang ditulis dalam artikel ini didukung oleh Knowledge Sector Initiative, sebuah program kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Australia.

Bagikan laman ini

Penulis

Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.
Peneliti Junior
Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.