Studi ini mengadopsi metode campuran kualitatif dan kuantitatif untuk menganalisis pengembangan keterampilan digital di sektor publik di Indonesia melalui empat aspek Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE): tata kelola, pemberian layanan, infrastruktur, dan sumber daya manusia. Fokus analisis mencakup ketersediaan dan permintaan akan aparatur sipil negara serta kualitas mereka dalam menyelenggarakan SPBE di sektor publik. Temuan menunjukkan bahwa pranata komputer (prakom) berkontribusi paling besar terhadap penyelenggaraan SPBE dibandingkan dengan jabatan fungsional teknologi informasi dan komunikasi (TIK) lainnya. Namun, proporsinya masih terlalu rendah dan kualitasnya mengkhawatirkan. Kebijakan penyederhanaan birokrasi (delayering) justru terindikasi meningkatkan jumlah prakom yang tidak memenuhi kualifikasi. Sementara itu, belum ada rencana untuk mengadakan uji kompetensi prakom. Ditemukan tiga saluran retensi untuk menutup kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan akan prakom: (i) saluran rekrutmen untuk memberikan orientasi kepada pegawai negeri sipil (PNS), pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), atau konsultan individu dengan kontrak yang lebih pendek daripada PPPK; (ii) saluran pengembangan kapasitas untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia; dan (iii) saluran retensi untuk mengatasi tingginya tingkat pergantian (turnover rate) tenaga profesional TIK. Studi ini menelaah praktik-praktik baik di lima unit pemerintahan digital: (i) Digital Transformation Office (Kementerian Kesehatan); (ii) WarTek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi); (iii) Central Transformation Office (Kementerian Keuangan); (iv) Jakarta Smart City (Pemerintah Provinsi DKI Jakarta); dan (v) Jabar Digital Service (Pemerintah Provinsi Jawa Barat). Praktik di lima unit ini memberikan pelajaran terkait perbaikan metode rekrutmen guna menarik talenta digital ke sektor publik, urgensi pengembangan keterampilan (upskilling) melalui pengembangan kapasitas in-house, serta pengaturan kerja yang fleksibel dan kolaboratif dan budaya yang tidak hierarkis. Studi ini merekomendasikan agar pemerintah memprioritaskan PPPK sebagai saluran rekrutmen talenta digital yang paling strategis sehingga perlu dibuat regulasi tentang rekrutmen PPPK untuk jabatan fungsional TIK. Pemerintah perlu menawarkan gaji yang kompetitif dan peluang untuk berkontribusi menciptakan dampak sosial. Sementara itu, Badan Pusat Statistik, sebagai lembaga pengawas prakom, perlu mengadakan uji kompetensi untuk pengembangan kapasitas. Di samping itu, program peningkatan keterampilan melalui pendidikan formal sangatlah penting bagi prakom yang kurang berkualifikasi. Yang terakhir, pelatihan untuk para pemimpin dalam pemerintahan perlu mencakup materi yang berhubungan dengan budaya kerja kolaboratif dan nonhierarkis sebagai strategi kebijakan retensi, terutama untuk mengelola prakom yang mayoritas berasal dari generasi milenial dan generasi Z.
Saran sitasi:
The SMERU Research Institute, GIZ, dan Blavatnik School of Government, University of Oxford (2024) ‘Analisis Pengembangan Keterampilan Digital di Sektor Publik Indonesia.’ Laporan Penelitian SMERU No. 2/2024. Jakarta: The SMERU Research Institute <URL> [tanggal akses].