Buletin SMERU edisi ini diawali dengan hasil pemantauan SMERU bersama LSP-WB tentang pemanfaatan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD). Kami melakukan pemantauan selama tiga tahun sejak 2015 di sepuluh desa di Sumatra, Jawa, dan Nusa Tenggara. Isu ini dinilai penting karena pada 2016 pemerintah menggelontorkan DD sebesar 47 triliun rupiah, dan dua tahun kemudian angkanya naik hampir 1,5 kali lipat. Di samping itu, ADD juga terus meningkat.
Sejauh ini, pemanfaatan DD dan ADD berfokus pada pembangunan fisik. Meskipun begitu, masyarakat belum melihat dampaknya bagi peningkatan pendapatan mereka. Penyebabnya, banyak dana desa lari ke luar desa. Sementara itu, dana untuk pemberdayaan cenderung kecil karena alasan kesulitan dalam memeratakannya. Kebijakan pemerataan membuat kelompok marginal kurang tersentuh.
Pada akhir 2016, SMERU dengan dukungan KOMPAK dan Bappenas melakukan kajian Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan (P2B). Kajian ini dilakukan di sepuluh desa/kelurahan yang tersebar di Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. P2B bertujuan menanggulangi kemiskinan melalui pendekatan pentagonal asset, yaitu aset sumber daya manusia, aset sosial, aset keuangan/ekonomi, aset sumber daya alam, dan aset infrastruktur fisik. Di banyak desa/kelurahan, kondisi pentagonal asset sekadar cukup untuk mempertahankan kesejahteraan, tetapi belum mampu memperbaikinya. Dalam kaitan dengan hal itu, pemerintah merupakan aktor utama dalam meningkatkan ataupun menghambat kemerosotan kelima aset tersebut.
SMERU juga mengkaji penanggulangan kemiskinan dengan memanfaatkan hasil Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) 1997 sebagai baseline. Peneliti kami melakukan estimasi multinomial logit atas set data 2007–2014 untuk melihat faktor-faktor penting terkait probabilitas pekerja di perdesaan meninggalkan sektor pertanian. Hasilnya memperlihatkan bahwa kemiskinan perdesaan menurun, sementara kesenjangan desa-kota melebar. Penyebab melebarnya kesenjangan ini adalah bahwa sebagian besar penduduk miskin perdesaan bekerja di pertanian. Temuan lainnya, proporsi masyarakat miskin perdesaan menurun, tetapi proporsi masyarakat miskin di pertanian tidak beranjak. Menurut penulis, kunci perbaikannya adalah pendidikan dan mekanisasi pertanian.
Optimisme seorang kepala desa untuk mewujudkan kesejahteraan melalui pelaksanaan UU Desa menjadi penutup edisi ini. Dulu, tulisnya, desa sekadar menjadi lokasi berbagai program supradesa dan sering kali program yang datang bukan merupakan kebutuhan warga desa. Kini, desa diberi kewenangan dan anggaran yang merupakan modal sekaligus kekuatan untuk membangun. Agar kewenangan desa berdampak pada kesejahteraan, Pak Kades menyarankan, antara lain, desa menyusun pangkalan data, memperluas ruang partisipasi, dan membangun kerja sama dengan berbagai pihak.