2 Bentuk Pelatihan yang Cocok bagi Guru di Era Kurikulum Merdeka

28 Agustus 2023

.

Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.

.

Desentralisasi pendidikan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengelola layanan pendidikan secara mandiri. Dalam hal ini, desentralisasi diterjemahkan sebagai pengambilan keputusan di tingkat sekolah atau dikenal dengan istilah otonomi sekolah. Selaras dengan konsep otonomi sekolah ini, Menteri Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar, sebuah program yang mendukung sekolah, guru dan peserta didik untuk melakukan inovasi serta meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri.

Profesor Universitas Stanford, Amerika Serikat, Erik A Hanushek mengemukakan bahwa pelaksanaan otonomi yang dilakukan tiap sekolah mempengaruhi perbedaan prestasi antarsekolah. Temuan tersebut berasal dari analisis atas Programme for International Student Assessment (PISA) dari 42 negara pada tahun 2011.

PISA adalah penilaian internasional tiga tahunan yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan literasi sains siswa berusia 15.

Ada dua catatan penting dari studi tersebut. Pertama, pemberian otonomi sekolah berpengaruh positif terhadap prestasi murid ketika dilakukan di negara maju, tetapi berpengaruh negatif di negara berkembang. Kedua, dampak negatif yang muncul di negara-negara berkembang umumnya terjadi apabila otonomi sekolah berorientasi akademik sedangkan kemampuan pelaksana pendidikan di tingkat sekolah tidak mumpuni.

Berpijak pada temuan riset tersebut, penerapan Kurikulum Merdeka yang memberi otonomi kepada guru di sekolah untuk menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan murid, memiliki risiko apabila kompetensi guru yang ada belum sesuai.

Untuk meningkatkan kompetensi guru tersebut, diperlukan dukungan seperti penyediaan pelatihan dan sumber pembelajaran bagi guru.

Pertanyaannya kemudian, pelatihan dan sumber pembelajaran seperti apakah yang dapat membantu guru menerapkan pembelajaran yang inovatif dan interaktif sesuai dengan visi Kurikulum Merdeka?

1. Pelatihan berbasis kemampuan, pengalaman dan kebutuhan

Menurut Shintia Revina, peneliti dari Research on Improving Systems of Education (RISE), program penelitian sistem pendidikan berskala besar yang dikelola dan dilaksanakan melalui kemitraan antara Oxford Policy Management dan Blavatnik School of Government di Universitas Oxford, program pengembangan atau pelatihan untuk guru di Indonesia selama empat dekade terakhir belum efektif. Keterbatasan anggaran menyebabkan pelatihan guru dirancang untuk peserta sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin.

Akibatnya, alih-alih mempertimbangkan karakteristik guru, materi pelatihan cenderung bersifat top-down atau ditentukan oleh pusat. Padahal, menurut laporan dari Bank Dunia, pelatihan yang disesuaikan dengan kemampuan dan pengalaman mengajar guru terbukti mengarah pada hasil pembelajaran yang lebih baik.

Pada 2020, misalnya, SMERU, lembaga independen yang melakukan penelitian dan kajian kebijakan memberikan bantuan konsultasi kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang memprakarsai reformasi program pengembangan keprofesian untuk guru mereka.

Kemudian pada tahun 2021, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mereformasi  kegiatan pelatihan guru yang memberi kesempatan kepada guru untuk memilih materi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Asesmen terhadap pelaksanaan pelatihan tersebut menemukan data bahwa guru memperoleh nilai tambah lebih ketika mereka dapat memilih pelatihan yang sesuai kebutuhannya. Pelatihan yang disesuaikan dengan kemampuan guru dan mendapat umpan balik dari kepala sekolah juga terbukti lebih memberikan dampak terhadap kompetensi guru.

2. Pendidikan calon guru yang fokus pada cara bertanya

Dalam dunia pendidikan, para pemikir sudah membahas pengajaran interaktif sejak berabad silam. Filsuf Yunani Socrates, misalnya, menyatakan bahwa mengajar itu merupakan seni mengajukan pertanyaan. Penelitian dari Patrícia Albergaria-Almeida, peneliti dari Universitas Aveiro, Portugal, terhadap calon guru, juga menunjukkan bahwa kemampuan guru mengajukan pertanyaan akan memengaruhi bagaimana murid bertanya dan berpikir.

Dosen Universitas Pendidikan Indonesia, Ahmadi dan Eri Kurniawa), melakukan penelitian untuk mengetahui jenis-jenis pertanyaan yang cenderung diajukan oleh guru di salah satu lembaga pendidikan guru di Ponorogo, Jawa Timur. Penelitian mereka menunjukkan bahwa guru menghabiskan 73,8% pertanyaan pengingat, 17,8% pemahaman, 5,9% analisis, dan 2,9% evaluasi. Artinya, pertanyaan yang diajukan guru didominasi kemampuan berpikir tingkat rendah, yaitu mengingat.

Karakteristik guru juga memengaruhi teknik bertanya mereka. Stephen Joseph, profesor kurikulum & instruksi dari Universitas Trinidad dan Tobago pada tahun 2018, menemukan bahwa memperkenalkan teknik bertanya dalam kurikulum pendidikan calon guru akan lebih efektif dibandingkan memberikan pelatihan kepada guru yang sudah menjabat. Hal ini karena teknik bertanya yang efektif tidak dapat dicapai dalam waktu yang singkat.

Berkaca dari pentingnya seni bertanya untuk menciptakan pembelajaran yang interaktif sesuai konsep Kurikulum Merdeka, maka lembaga pendidikan guru perlu mengajarkan teknik bertanya secara terprogram dalam proses pendidikan para calon guru.
  

Pentingnya dukungan koheren sejak awal

Apabila kapasitas sumber daya manusia, terutama tenaga pendidik, tidak mendukung otonomi yang berorientasi akademik seperti gagasan Kurikulum Merdeka, maka hal tersebut dapat menciptakan dampak negatif terhadap nilai murid seperti yang ditemukan dalam studi Hanushek yang disebutkan di awal.

Karena itu, kebijakan Merdeka Belajar yang membebaskan guru berinovasi perlu memastikan kemampuan guru dalam menciptakan pembelajaran yang inovatif dan interaktif.

Pemangku kepentingan pendidikan seperti pemerintah, dinas pendidikan dan kepala sekolah, perlu mendukung guru. Rangkaian dukungan terhadap guru dapat dimulai dari inisiatif dinas pendidikan untuk menciptakan kebijakan pelatihan yang sesuai kebutuhan guru mereka. Kemudian, selama dan setelah pelatihan, kepemimpinan kepala sekolah menjadi faktor kunci dalam menciptakan lingkungan yang kondusif agar guru dapat mengikuti pelatihan dengan baik dan mengimplementasikannya di kelas.

Untuk menciptakan dukungan yang lebih koheren terhadap peningkatan kemampuan guru dan adanya keterbatasan pelatihan untuk guru yang menjabat, pemerintah perlu melakukan perubahan sejak sistem pendidikan calon guru. Dalam hal ini, konsep Kurikulum Merdeka harus menjadi landasan sistem pendidikan calon guru, sehingga tenaga pendidik akan memiliki kompetensi yang dibutuhkan ketika mengimplementasikan kurikulumnya.

Bagikan laman ini

Penulis

Peneliti Senior
Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.
Peneliti Utama Kehormatan
Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.