Pengangguran pemuda di Indonesia termasuk yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara (World Bank, 2020). Pemuda juga mendominasi populasi pengangguran. Angka terakhir dari Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) 2019 menunjukkan bahwa sepertiga dari penganggur di Indonesia berasal dari kalangan pemuda. Di sisi lain, angkatan kerja usia muda sering kali dipandang sebagai kelompok rentan dengan pekerjaan berkualitas rendah, upah yang rendah, pengalaman yang kurang, dan kondisi kerja yang memprihatinkan. Pandemi COVID-19 memperberat tantangan yang dihadapi angkatan kerja usia muda. Tingkat pengangguran pemuda diprediksi akan meningkat lebih cepat daripada tingkat pengangguran dewasa karena tingkat PHK di kelompok usia muda yang lebih tinggi.
Dengan akan adanya bonus demografis dalam periode lima hingga sepuluh tahun ke depan, Indonesia berpeluang meningkatkan perekonomiannya. Mendorong perkembangan kewirausahaan pemuda dipandang sebagai sebuah cara untuk mengatasi isu pengangguran pemuda saat ini, selain sebagai langkah penting untuk membangun perekonomian yang kuat di masa mendatang.
Pemuda di Indonesia memiliki minat yang tinggi untuk menjadi wirausaha (U-Report Indonesia, 2019). Namun, tantangan untuk memasuki ekosistem kewirausahaan sangat besar. Bappenas (2020) menyoroti bahwa pemuda menghadapi tantangan dalam bentuk kurangnya kecakapan dan pendidikan kewirausahaan, serta kurangnya pengalaman, sumber daya, jejaring, dan dukungan keluarga untuk memulai dan menjalankan usaha. Tantangan lain datang dari lingkungan penunjang (enabler) kewirausahaan pemuda, misalnya kurangnya inkubator atau ruang untuk mengembangkan usaha, dan kurangnya dukungan kebijakan dari pihak otoritas/pemerintah di semua tingkat (UNDP, 2020). Selain itu, ketimpangan dalam hal proporsi wirausaha muda dapat dilihat di banyak wilayah/provinsi di Indonesia. Kebanyakan provinsi di luar Jawa memiliki hanya kurang dari 1% wirausaha muda. Proporsi wirausaha muda yang kecil ini dapat berdampak negatif terhadap pembangunan di provinsi-provinsi itu di masa mendatang.
Pemberdayaan ekonomi pemuda melalui pekerjaan yang layak merupakan komitmen bukan hanya PBB, tetapi juga Pemerintah Republik Indonesia. Inisiatif seperti Youth Entrepreneurship Initiative (Inisiatif Kewirausahaan Pemuda) diadakan untuk mencapai tujuan jangka panjang terkait pemuda di bawah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, atau Sustainable Development Goals (SDG). UNDP Indonesia dan Citi Foundation telah mengembangkan sebuah metode penilaian untuk mengukur ekosistem kewirausahaan pemuda di Indonesia berdasarkan lima pilar. Pilar-pilar tersebut adalah (1) talent (bakat), (2) culture (budaya), (3) capital (modal), (4) density (densitas), dan (5) regulatory (regulasi). Akan tetapi, dalam dua tahun terakhir, partisipasi provinsi-provinsi di wilayah timur dan barat Indonesia tidak tertangkap secara sempurna dalam hasil penilaian ekosistem ini.
Dengan konteks di atas, studi ini bertujuan menilai ekosistem kewirausahaan pemuda dengan menekankan ketercakupan gambaran dan kondisi semua wilayah di Indonesia. Ekosistem kewirausahaan pemuda merupakan penunjang penting bagi berkembangnya berbagai niat berwirausaha kaum muda. Ekosistem kewirausahaan pemuda juga menjadi katalis bagi manifestasi peran kewirausahaan pemuda dalam pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Dengan demikian, hasil studi ini dapat menunjang kebijakan berbasis bukti yang relevan dengan kewirausahaan pemuda yang inklusif.
- memberikan gambaran mendetail mengenai ekosistem kewirausahaan pemuda, lengkap dengan rangkuman kualitatif lanskap kewirausahaan pemuda pada skala nasional, dan
- menjelaskan deskripsi konsep, pemetaan pemangku kepentingan dan intervensi kebijakan, serta kelebihan dan kekurangan ekosistem kewirausahaan pemuda di tingkat nasional.
Studi ini mengombinasikan metode kuantitatif dan kualitatif. Kami menggunakan kerangka analitis UNDP dengan lima pilar ekosistem kewirausahaan pemudanya dalam menyusun laporan. Kami juga akan mengeksplorasi berbagai sumber data untuk mencapai tujuan penelitian. Kami mengumpulkan data dengan melakukan tinjauan literatur (termasuk tinjauan kebijakan dan pelacakan media), wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus (FGD), dan analisis data sekunder. Tiga metode pertama digunakan untuk mengumpulkan informasi kualitatif, sementara analisis data sekunder digunakan untuk mengumpulkan informasi kuantitatif. Pengumpulan data kuantitatif akan berfokus pada wirausaha muda. Pengumpulan data kualitatif melalui kegiatan tinjauan kebijakan, pelacakan media, dan wawancara mendalam akan lebih berfokus pada lingkungan penunjang kewirausahaan pemuda (yaitu hal-hal yang menunjang pengembangan kewirausahaan pemuda melalui berbagai program/kegiatan).