Dua puluh tahun setelah diterapkannya Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dua daerah di wilayah ini (Papua dan Papua Barat) masih merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi dan tingkat pembangunan manusia terendah di Indonesia. Meskipun UU tersebut mengamanatkan kebijakan afirmasi bagi Orang Asli Papua (OAP), ketimpangan antara OAP dan warga masyarakat non-OAP masih tampak nyata pada berbagai dimensi. Ketimpangan ini membuat OAP menjadi kelompok paling rentan dalam menghadapi guncangan kovariat akibat pandemi penyakit koronavirus 2019 (COVID-19) sejak 2020 silam serta konflik yang masih berlangsung hingga sekarang. Di tengah situasi tersebut, peran perlindungan sosial seharusnya krusial untuk menguatkan ketangguhan OAP agar mereka tidak jatuh lebih jauh ke dalam lubang kemiskinan dan makin terpinggirkan. Laporan ini menyampaikan hasil studi tentang celah sistem perlindungan sosial yang diterapkan di wilayah Papua. Lebih jauh, pada laporan ini dipaparkan pula usulan perluasan skema perlindungan sosial dalam kerangka perlindungan sosial adaptif (PSA). Untuk memenuhi tujuan tersebut, studi ini mengombinasikan metode kuantitatif (berupa analisis data sekunder) dan metode kualitatif (berdasarkan pengumpulan data primer di Kabupaten Jayawijaya, Papua, dan Kabupaten Sorong, Papua Barat, pada November 2022). Studi ini menemukan bahwa sistem perlindungan sosial belum menjangkau OAP secara efektif sehingga tidak mampu membangun ketangguhan mereka dalam jangka panjang. Ketakpekaan rancangan dan penerapan skema perlindungan sosial terhadap konteks kerentanan yang dihadapi OAP merupakan penyebab utama ketakefektifan tersebut. Termasuk dalam konteks kerentanan ini adalah marginalisasi multidimensi yang dialami OAP sebagai masyarakat hukum adat dan ancaman bencana sosial akibat konflik bernuansa kekerasan yang masih sering terjadi di wilayah Papua. Agar dapat membangun ketangguhan OAP dalam jangka panjang, skema perlindungan sosial harus diterapkan secara komprehensif—mencakup semua aspek PSA. Mengingat bahwa upaya-upaya tersebut selama ini dilakukan oleh berbagai aktor secara terpisah, ke depan semuanya harus dilakukan secara integratif dalam sistem PSA. Untuk itu, diperlukan koordinasi antarsektor dalam pemerintahan dan kolaborasi dengan aktor nonpemerintah. Prasyarat utama untuk mencapai hal tersebut adalah komitmen pemerintah dan pengakuan bahwa OAP-lah yang lebih mengerti apa yang mereka butuhkan.
Saran sitasi:
Warda, Nila, Abdullah Faqih, Asep Kurniawan, Dimitri Swasthika Nurshadrina, Dyan Widyaningsih, dan Sylvia Andriyani (2024) ‘Mengisi Kekosongan dalam Sistem Perlindungan Sosial di Papua: Pentingnya Perlindungan Sosial Adaptif untuk Membangun Ketangguhan Orang Asli Papua.’ Laporan Penelitian SMERU No. 3/2024. Jakarta: The SMERU Research Institute <URL> [tanggal akses]