Bertahan di Tengah Pandemi COVID-19 Ditinjau dari Sudut Ekonomi

30 Desember 2020

Seperti bermimpi di siang bolong, banyak orang tidak menduga tiba-tiba pintu penghasilannya tersumbat akibat pandemi COVID-19. Mereka kehilangan pekerjaan dan penghasilan pun menurun drastis. Sebagian kecil di antara mereka mencoba beralih profesi tetapi hanya bisa mendatangkan penghasilan yang juga kecil.

Keadaan ini tergambar pada warga Desa D (Badung, Bali). Desa ini merupakan desa yang kaya. Di antara indikatornya, APBDes-nya berkisar antara 23 miliar dan 30 miliar rupiah per tahun dan jumlah penduduk miskinnya nyaris nihil. Pada awal 2019, hanya ada 3 rumah tangga miskin (dari 5.540 rumah tangga atau 22.084 jiwa) di Desa D. Namun, pandemi COVID-19 telah memporakporandakan kesejahteraan warganya. Jumlah penduduk miskinnya melesat sangat cepat.

Menurut kepala desa Desa D, mereka dapat dikatakan sebagai penduduk miskin sementara. Sementara waktu arus penghasilan mereka memang terhenti, tetapi mereka berpeluang mendapat penghasilan lagi ketika pandemi telah berlalu kelak. Sebagian besar dari mereka telah berpengalaman bekerja di sektor pariwisata dan perdagangan.

Pada Mei 2020, berdasarkan hasil pendataan gabungan Tim Satgas Gotong Royong (Desa Adat) dan Relawan (Desa Dinas),[i] terdapat banyak warga Desa D yang secara ekonomi terhempas. Hasil pendataan ini menetapkan bahwa 171 rumah tangga akan mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Dana Desa dan 900 rumah tangga diusulkan (dan telah disetujui) mendapatkan Bantuan Sosial Tunai (BST) dari Dinas Sosial setempat.

Para pengusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di desa tersebut juga tidak luput dari sergapan dampak COVID-19. Seorang pengusaha pemasok daging ayam, Pak Gede, misalnya, sebelumnya beromzet sekitar 800–1.000 kg daging per hari tetapi saat ini telah menyusut hingga 100–200 kg saja; jumlah itu baru habis terjual dalam 1–3 hari. Alhasil, keuntungan Pak Gede terpangkas dari Rp500.000–Rp600.000 per hari menjadi sekitar Rp100.000 per hari.

Potret hempasan ekonomi seperti ini juga dialami oleh para responden yang tinggal di Jakarta sebagai migran dan harus kembali ke daerah asalnya, seperti Boyolali dan Banjarnegara.

Pak Sus merupakan contoh orang yang sedang berupaya “menaklukkan” pertarungan hidup di Jakarta. Namun, baru sempat melangkah tegak sejenak, migran dari Boyolali ini akhirnya terhempas dan untuk sementara menyerah.

Berbekal tabungan dari bekerja selama 12 tahun di pabrik dan setahun berkongsi dengan kawannya berjualan “Soto Boyolali”, pada September 2019 responden membuka warungnya sendiri di kawasan Pasar Klender. Bisnis awal ini cukup sukses. Pak Sus mampu mempekerjakan empat karyawan dan keuntungan operasional bersihnya sekitar 5 juta rupiah per bulan. Namun, kemudian datanglah badai COVID-19 yang “merobohkan” warungnya.

Pada sekitar akhir Mei 2020, atau sekitar dua bulan sejak COVID-19 memicu krisis keuangan rumah tangga dan iklim usaha, semua responden yang terdampak masih bisa bertahan. Berbagai upaya telah mereka lakukan untuk menyiasatinya sesuai dengan profesi, potensi diri, lingkungan domisili, dan jaringan sosial yang mereka miliki.

Secara umum, cara mereka mengatasinya setidaknya mencakup beberapa pola dan/atau kombinasi beberapa di antaranya.
 

Penghematan Konsumsi Makanan pada Skala Maksimal

Menjelang bulan puasa, Mas Haik sebenarnya ingin kembali ke kampungnya karena penghasilannya sebagai pengemudi ojol menurun drastis dari Rp100.000–Rp150.000 per hari menjadi hanya Rp20.000–Rp30.000 per hari.

Sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Mas Haik dilarang membawa penumpang karena fitur tersebut dalam aplikasinya dimatikan perusahaan. Hanya fitur yang tidak melibatkan penumpang yang tetap aktif. Namun, orderan-nya sangat sepi.

Kalau dulu kita waktu masih normal, mau mandi aja aplikasi dimatiin. Takut ada orderan masuk. Mau makan juga dimatiin. … Apalagi mau tidur. Sekarang mah, ya Allah, boro-boro mandi [aplikasi dimatikan]. Tidur aja aplikasi nggak dimatiin, [tetapi] nggak ada tuh orderan masuk,” ujar migran asal Pemalang yang sekarang tinggal di Cilangkap ini.

Mengapa ia ingin pulang kampung? Alasannya sederhana, yakni di kampung “

di belakang rumah ada kebun ditanamin sayuran bisa buat [lauk] makan.”

Namun, ia mengurungkan niatnya bukan karena adanya larangan mudik, melainkan karena tidak mempunyai cukup uang untuk biaya transportasi. Dengan penghasilan yang jauh berkurang, langkah pertama yang paling mungkin dilakukan adalah menghemat konsumsi harian secara maksimal.

“Gimana ya, kayaknya tuh buka sama sahur tuh sudah jadi satu, Pak. Pokoknya mie [instan]. Kan di depan rumah yang punya kontrakan, kan nanem pohon yang bisa disayur tuh [daun gedi, menyerupai bentuk daun pepaya]. Itu alhamdulillah banget, Pak [buat dimasak dengan mie instan], pas banget depan kontrakan. Tetangga-tetangga [juga] kan pada nanem cabai. Malemnya ngambil cabai lima [buah, untuk memasak mie instan], siangnya baru ngomong [kepada pemilik tanaman].”

Meskipun kondisinya tidak separah Mas Haik, responden lain yang penghasilannya juga berkurang drastis, atau bahkan terhenti sama sekali, dan tidak mempunyai cukup tabungan melakukan hal yang sama. Mereka sebisa mungkin mengurangi konsumsi karena mereka tidak tahu pasti kapan dampak pandemi ini akan berakhir.
  

Pulang Kampung

Sebagian responden lainnya memilih pulang kampung dengan berbagai alasan.

Pada awal Maret 2020, sebelum PSBB berlaku, Pak Sus menutup warungnya dan pulang kampung. Warung yang sepi pembeli, biaya hidup yang lebih murah di kampung, dan adanya bantuan saudara merupakan tiga alasan utama mengapa Pak Sus memilih pulang kampung.

[Pembeli mulai] sepi, terus rugi, rugi dah hampir dua minggu. [Masyarakat] sudah pada nggak berani keluar-keluar. … Karena sepi, terus pulang [ke Boyolali],” ujar Pak Sus.

Hidup di kampung [bisa] ngirit kok, Bu. Nggak terlalu banyak [uang yang dikeluarkan]. Nanti saudara juga bisa anu [membantu]. Kalau untuk makan aja nggak masalah, nggak kuatir saya. Kemarin [saudara] juga ke sini, ya untuk ngasih bahan baku [sembako] untuk makan itu,” tambahnya.

Terkait kepulangannya ke kampung, Pak Sus awalnya menganggap bahwa dampak COVID-19 tidak akan berlangsung lama. Oleh karena itu, Pak Sus masih menyimpan bahan baku sotonya senilai sekitar Rp5 juta–seperti daging sapi, kikil, paru, telur, daging ayam, dan bumbu–dalam kulkas di kontrakannya.

Sebelum pulang kampung, Pak Sus mengisi pulsa listrik kontrakannya untuk kebutuhan sebulan. Namun, apa boleh dikata, perkiraannya tentang akhir pandemi meleset dan pulsa listrik di kontrakannya habis. Bahan baku simpanannya pun terbuang percuma. Hingga pertengahan Mei 2020 Pak Sus belum kembali ke Jakarta karena PSBB masih berlangsung.

Sementara itu, Ibu Sriwi, salah satu karyawan Pak Sus, memutuskan pulang ke kampung halamannya di Boyolali karena tidak ada peluang kerja lainnya di Jakarta. Di kampungnya, ia menekuni kembali pekerjaan lamanya sebagai pedagang bunga tabur kaki lima.

Selain itu, Ibu Sriwi merasa lebih aman berada di kampung karena terhindar dari penularan COVID-19 dan merasa lebih tenang karena dapat berkumpul dengan anak-anaknya.

[Setibanya di kampung] Saya langsung jualan karena di Boyolali kan aman-aman saja, pasar biasa saja, nggak nutup nggak anu. Biasa saja, masih rame sampai sekarang. Nggak ada bedanya di Boyolali [dibandingkan dengan sebelum pandemi COVID-19]. Di Boyolali, [saya] juga aman [tenang] karena kumpul [dengan] keluarga,” ujarnya.

  

Mengurangi Biaya Produksi

Merumahkan karyawan tanpa memberikan upah dan/atau mengurangi upah merupakan cara umum untuk menekan biaya operasional usaha. Hal ini dilakukan baik oleh perusahaan berskala UMKM maupun perusahaan besar. Pak Sus, misalnya, terpaksa merumahkan empat karyawannya karena warung sotonya tutup.

Pak Gede dengan usahanya memasok daging ayam ke hotel dan kafe terpaksa merumahkan dua karyawannya karena omzet usahanya menurun tajam.

Saya mempekerjakan dua karyawan, Pak, karena (juga) dibantu oleh istri saya dan anak saya, Pak. Karyawan saya sudah saya off-kan dulu sementara, Pak, karena nggak bisa nggaji [mereka]…. Sebelum [Hari Raya] Nyepi, mereka sudah pulang [ke daerah asalnya, yaitu Jember dan Banyuwangi, Jawa Timur],” kata Pak Gede.

Dengan merumahkan karyawannya, baik Pak Gede maupun Pak Sus terbebas dari tanggungan membayar upah mereka.

Berbeda dengan dua kasus tersebut, Pak Endi, seorang pengusaha penyewaan peralatan pesta, tetap menggaji karyawannya sebesar 50% dari gaji utuh mereka meskipun usahanya terhenti sama sekali. Menurut Pak Endi, orang yang mempunyai keahlian memasang tenda dan mendekorasi pesta pernikahan sangat sedikit, maka ia tetap menggaji karyawannya agar mereka tidak mencari pekerjaan lain.

Dirumahkan tanpa diberikan upah dialami oleh Mbak Loly (Kelurahan A, Jakarta Timur) dan Ibu Etni (migran dari Banjarnegara). Kebetulan kedua responden ini bergerak di bidang yang sama, yakni pemasaran produk.

Mbak Loly yang bekerja sebagai pramuniaga produk tas bermerek di Mal Cijantung dirumahkan sejak 27 Maret 2020 dan hingga saat wawancara (12 Mei 2020) belum bekerja kembali. Sementara itu, Ibu Etni, pramuniaga alat kesehatan buatan Korea yang dirumahkan sejak pertengahan Maret 2020, hingga 31 Mei 2020 belum juga bekerja lagi.
  

Memanfaatkan Peluang yang Masih Tersedia

Bagi pengusaha, sejauh masih ada peluang, mereka umumnya akan memanfaatkannya sejauh mungkin. Sebelum pandemi COVID-19, Pak Gede mempunyai tiga pelanggan besar, yakni kafe di Jimbaran dan di Kuta (tidak rutin), serta sebuah hotel di Kuta. Ketika para pelanggan besar ini menghentikan operasi usahanya, Pak Gede tidak menyerah.

Pak Gede tetap berjualan daging ayam dengan membuka lapak eceran di depan rumahnya.  Selain itu, ia juga mendistribusikan dagangannya ke beberapa pedagang daging ayam kecil yang ada di seputar Kuta dan Denpasar.

Sekarang terpaksa kami banting setir nih karena hotel-hotel kan sudah off ini, [jadinya] tidak ada pengiriman [daging ayam] sama sekali [ke hotel], nol. Jadi saya terpaksa buka lapak kecil-kecilan di depan rumah,” ujar Pak Gede.

Bu Ati, warga Kelurahan C di Jakarta Timur, sudah dua tahun terakhir berjualan jajanan anak, seperti es dan otak-otak, di rumah kontrakannya. Akibat COVID-19, pendapatannya menurun drastis dari sekitar Rp100.000–Rp150.000 per hari menjadi rata-rata Rp5.000 per hari. Bu Ati tetap berjualan meski secara ekonomi tidak menguntungkan. Ia tidak memiliki peluang ekonomi lainnya. Namun, setidaknya anak-anaknya menjadi tidak jajan di luar.

“… Jadi makanan [barang jualan] itu habis dimakan sendiri, gitu,” kata Bu Ati yang memiliki anak berumur 12 tahun dan 9 tahun ini.

    

Wacana Menambah Kegiatan dan Beralih Profesi

Semua responden umumnya beranggapan bahwa pandemi ini akan berakhir dan kehidupan ekonomi akan kembali berjalan normal seperti semula. Masalahnya, tidak ada yang tahu kapan pandemi akan berakhir. Selama 2–3 bulan ini, sebagian responden belum mempunyai rencana apapun untuk mencari penghidupan alternatif.

Sebagian lainnya sudah mulai memikirkan menambah penghasilan dengan melakukan kegiatan lain. Bu Wati yang bekerja di pabrik garmen, misalnya, berencana mencari pekerjaan sambilan di penjahit rumahan untuk mengisi waktu luangnya yang sekarang sangat banyak. Namun, niat hanya tinggal niat karena Bu Wati mengetahui saat ini penjahit rumahan pun sedang sepi pesanan.

Jumlah orderan Pak Tono, pengemudi mobil daring di Cilangkap, menurun sejak dua minggu sebelum PSBB,

“Pernah, seminggu sama sekali tidak dikasih orderan,” ia mengaku. Akibatnya, selama periode itu “… tidak ada pemasukan sama sekali. Untuk makan sehari-hari aja kekurangannya jauh sekali, Bu. Kan jadi bingung.”

Selama PSBB, dalam sehari paling banyak ia mendapat tiga pesanan dengan total pemasukan sekitar Rp50.000–Rp60.000, sehingga

“… untuk bensin saja [rasanya] nggak nutup. Kalo [jarak] jauh, paling dapat Rp100.000, pulangnya kosong. Jadi habis untuk bensin aja”.

Menyadari bahwa ia tidak bisa menggantungkan hidupnya hanya pada satu profesi, Pak Tono berencana menambah penghasilannya dengan berjualan. Bahkan ia sudah sempat menghubungi distributor bawang dan telur. Namun, rencana ini akhirnya juga tidak bisa terealisasi karena distributor mengharuskan pembelian minimal satu kuintal. Pak Tono membatalkan niatnya karena terbentur ketiadaaan modal dan akses terhadap pinjaman.
  

Menjual Aset

Dari semua responden, Pak Endi menjadi satu-satunya responden yang telah menjual beberapa asetnya agar tetap bertahan, baik untuk menggaji karyawannya maupun untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Sebagai pengusaha penyewaan peralatan pesta yang cukup besar, selama ini responden telah mampu menyisihkan keuntungannya untuk membeli mobil Toyota Rush sebagai kendaraan pribadi, mobil Suzuki bak terbuka, truk sebagai kendaraan operasional, dan lahan kosong yang tidak jauh dari rumahnya.

Pandemi COVID-19 telah membuat usaha Pak Endi “mati suri” sehingga penghasilannya Rp0. Menyikapi kondisi demikian, migran asal Lampung yang sekarang ber-KTP Jakarta ini telah menjual mobil pribadinya untuk membayar biaya perpanjangan sewa gudang penyimpanan peralatan pestanya dan keperluan lainnya.

Ternyata upaya tersebut belum cukup. Selain lahan kosongnya yang juga telah dijual, kendaraan truk operasionalnya pun akan dikorbankan dan sedang dalam proses transaksi dengan pihak leasing.  
  

Sampai Kapan?

Dampak pandemi COVID-19 terhadap kehidupan ekonomi/kesejahteraan sebagian masyarakat sangat nyata. Namun, ketahanan dan pertahanan mereka terhadap gerusan pandemi ini tentu ada batasnya. Para responden adalah orang-orang yang segera terdampak pandemi. Di luar kelompok ini, masih ada banyak kelompok masyarakat lain yang lambat laun sepertinya juga akan mengalami dampak yang sama, atau mungkin lebih parah.

Mengingat bahwa kesulitan ekonomi yang mereka hadapi bersumber dari pandemi COVID-19, seharusnya persoalan akan berakhir jika pandemi berakhir. Ya, memang sesederhana itu persoalannya. Namun, apakah ini realistis?

Jawabannya tentu saja tidak karena sampai detik ini, penyebaran COVID-19 masih belum berhenti, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional, maupun internasional. Pelonggaran PSBB di DKI Jakarta dan berbagai daerah lainnya memang telah mampu membuat kegiatan ekonomi kembali menggeliat. Namun, geliat ekonomi ini belum merata antarsektor sehingga berbagai kelompok masyarakat terpaksa masih harus menderita lebih panjang lagi.
 

------------------------------------------------------

[i]Penjelasan dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan bahwa desa atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan desa adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari desa pada umumnya terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat desanya. Responden menyebut desa dalam pengertian umum sebagai desa dinas.

Bagikan laman ini

Penulis

Peneliti Senior
Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.