Urgensi untuk Memperbaiki Sistem Bantuan Sosial di Tengah Pandemi COVID-19

27 Juli 2020

Sorotan

  • Krisis sosial-ekonomi yang dipicu pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa sistem bantuan sosial di Indonesia perlu diperbaiki khususnya untuk merespons krisis akibat bencana nonalam.
  • Kurangnya koordinasi dan sinkronisasi pendataan penerima dan penyaluran bantuan sosial menjadi akar semua permasalahan yang belum bisa ditangani secara holistis oleh Pemerintah Pusat.
  • Diperlukan aktor yang mampu dan berwenang mengoordinasikan sistem bantuan sosial secara khusus untuk merespons krisis ekonomi yang dipicu bencana nonalam, seperti pandemi.

 

Pandemi COVID-19 dan Respons Pemerintah

Krisis ekonomi yang dipicu pandemi COVID-19 telah memunculkan kebutuhan untuk menyempurnakan sistem bantuan sosial (bansos) di Indonesia. Pandemi yang menyebabkan krisis ekonomi seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya (unprecendented) sehingga menimbulkan situasi yang penuh dengan ketakpastian dalam masyarakat. Situasi seperti ini mendorong munculnya urgensi untuk memperbaiki sistem bansos secara menyeluruh. Pembuat kebijakan pun dituntut untuk merespons gejolak sosial dalam masyarakat dengan cepat. Kedua hal tersebut hanya bisa dicapai jika ada mekanisme koordinasi dan sinkronisasi yang melibatkan aktor-aktor terkait di berbagai lapisan pemerintahan. 

Kebutuhan akan pembaruan sistem bansos dapat dilihat dari berbagai permasalahan terkait pendataan dan penyaluran bansos selama pandemi. Hasil pemantauan media massa nasional dan media massa lokal di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Maros (Sulawesi Selatan), Kabupaten Badung (Bali), dan Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam periode 21 April–9 Juni 2020 menunjukkan setidaknya dua masalah utama. Masalah pertama adalah kurangnya koordinasi dan ketakjelasan mekanisme penyaluran bansos, sementara masalah kedua adalah ketakakuratan data penerima bansos. Mengapa hal tersebut terjadi dan apa yang perlu diperbaiki?

 

Masalah Data Penerima dan Sistem Penyaluran Bansos

Pengalaman Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Maros memberi gambaran mengenai karut-marutnya data penerima dan penyaluran bansos di Indonesia. Polemik terkait bansos melibatkan aktor-aktor di tingkat pemerintah daerah (pemda) hingga Pemerintah Pusat.

Di Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Maros, terjadi protes dan penolakan masyarakat akibat penyaluran bansos yang bermasalah selama pandemi. Di beberapa daerah di Jawa Barat, berbagai pihak, mulai dari warga hingga perangkat desa, menolak bansos karena merasa bahwa data yang ada tidak akurat sehingga penyaluran bansos tidak menyeluruh atau tidak tepat sasaran. Di Kabupaten Maros, warga protes karena merasa ada pihak yang membutuhkan tetapi tidak mendapat bantuan.

Pemda di kedua daerah tersebut memberikan respons yang berbeda terhadap protes dan penolakan warga. Gubernur Provinsi Jawa Barat, Ridwan Kamil, menarik lebih jauh pertanggungjawaban atas kejadian tersebut ke Pemerintah Pusat. Ia menekankan pentingnya sinkronisasi penyaluran bansos agar tidak muncul kesalahpahaman masyarakat akibat perbedaan waktu dan cara penyaluran bansos. Dalam hal ini, Presiden Jokowi merespons secara positif usulan tersebut.
 

“Usulan kami, delapan pintu bantuan dari pusat dan daerah ini disinkronkan teknisnya. Kalau bisa oleh Kemenko PMK agar semua pintu menjadi satu regulasi, satu cara, dan satu waktu. Karena banyak kementerian dengan caranya sendiri sehingga jatuh di masyarakatnya membingungkan. Ada yang kebagian duluan, ada yang telat, bahkan ada yang menyangka tidak akan kebagian akhirnya menyalahkan RT/RW hingga demo dan sebagainya.” (Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, Detiknews, 28 April 2020)

“Menko PMK sudah saya perintahkan untuk berbicara dengan para gubernur biar sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Pak Emil [Ridwan Kamil] terutama untuk timing-nya agar masyarakat menerimanya.” (Presiden Jokowi, Presiden Republik Indonesia Detiknews, 28 April 2020, Humas Jabar, 28 April 2020)

Di sisi lain, Pemda Kabupaten Maros justru mengemukakan kelemahan dalam pendataan penerima bansos. Persoalan tersebut berkaitan dengan basis data nasional untuk perlindungan sosial, yaitu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Dinas Sosial Kabupaten Maros mengungkapkan bahwa data yang digunakan untuk penyaluran bansos memang bukan data mutakhir dan upaya untuk memperbaruinya terkendala oleh pandemi.
 

“Sebenarnya, data yang kami gunakan merupakan data 2017. Sebenarnya, untuk tahun ini, kami sudah berencana memperbaharui data, bahkan sudah melakukan pelatihan untuk tim yang akan bertugas, tapi tiba-tiba ada wabah COVID ini, jadi terpaksa kami tunda...karena problemnya juga, masyarakat yang protes banyak yang masih menggunakan NIK lama, atau belum menggunakan e-KTP, akhirnya oleh [Pemerintah] Pusat data mereka ditolak.” (Prayitno, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Maros, TribunMaros, 14 Mei 2020)

Pada awal Mei 2020, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta terlibat dalam polemik terkait tumpang-tindihnya penyaluran bansos antara Kementerian Sosial (Kemensos) dan Pemprov DKI Jakarta. Polemik terutama terjadi antara Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Menteri Sosial (Mensos), dan Gubernur DKI Jakarta. Hal ini disampaikan oleh Menko PMK dalam kutipan berikut.

“Belum lagi sinkronisasi dan koordinasi. Misalnya, kami dengan DKI ini agak sekarang sedang tarik-menarik ini, cocok-cocokan data, bahkan kemarin saya dengan Pak Gubernur [Anies Baswedan] agak tegang, agak saya tegur keras Pak Gubernur.” (Muhadjir Effendy, Menko PMK, CNN Indonesia, 6 Mei 2020)

Gubernur DKI Jakarta menanggapinya dengan mengatakan bahwa upaya yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta adalah untuk “mengisi kekosongan” atau memberikan bantuan kepada masyarakat yang belum menerima bantuan dari Kemensos. Tumpang-tindihnya bantuan merupakan konsekuensi dari masalah timing penyaluran bantuan. Respons Gubernur DKI Jakarta juga menunjukkan adanya perhatian khusus dari Pemda DKI Jakarta pada gejolak sosial dalam masyarakat yang berpotensi terjadi atau sudah terjadi, seperti di Jawa Barat.

“Pemerintah Pusat baru akan mendistribusikan bansos pada 20 April 2020 kepada warga miskin dan rentan miskin yang terdampak COVID-19, sehingga Pemprov DKI Jakarta memberikan bantuan pangan itu untuk menghindari munculnya kekurangan pangan yang bisa berdampak pada keresahan sosial. Kami, Pemprov DKI Jakarta, telah membagikan bansos terlebih dulu untuk mengisi kekosongan itu.” (Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, Kompas, 8 Mei 2020)

Polemik Pemprov DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat bisa terselesaikan melalui kesepakatan untuk berkoordinasi dalam penyaluran bansos pada periode berikutnya. Hal ini disampaikan Menko PMK, "Agar tidak terjadi tumpang tindih sudah disepakati antara Pak Wagub [Wakil Gubernur] DKI [Jakarta] dan Pak Mensos nanti dibagi per zona kecamatan (CNN Indonesia, 11 Mei 2020).

 

Mengurai Benang Kusut dalam Penyaluran Bansos: Pemetaan Pemangku Kepentingan

Untuk melihat permasalahan dalam penyaluran bansos secara lebih jelas, kami melakukan analisis pemangku kepentingan melalui penelusuran berita di media daring dan cetak nasional dan daerah di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Maros dalam periode April–Juni 2020. Pada tahap awal, aktor-aktor yang teridentifikasi terlibat dalam permasalahan penyaluran bansos di ketiga wilayah tersebut dipetakan berdasarkan tingkat kuasa (power) dan kepentingan. 

Tingkat kuasa dilihat terutama dari kewenangan seorang aktor berdasarkan regulasi yang terkait dengan pendataan penerima dan penyaluran bansos. Kapasitas untuk memengaruhi aktor lain, yang bisa diidentifikasi dari berita yang ada, juga dijadikan acuan untuk melihat tingkat kuasa. 

Sementara itu, tingkat kepentingan seorang aktor dilihat terutama dari indikator penitikberatan sebuah persoalan yang dianalisis dari pernyataan aktor tersebut (metode analisis konten) dalam berita tentang bansos. Selain itu, frekuensi kemunculan seorang aktor dalam berita di media massa, baik dalam bentuk kutipan pernyataan atau objek yang dibicarakan oleh aktor lain, juga menjadi pertimbangan dalam melihat tingkat kepentingannya.

Berdasarkan tingkat kuasa dan kepentingan, pemangku kepentingan dibagi menjadi empat kategori, yaitu (i) aktor kunci, sebagai aktor yang memiliki tingkat kepentingan dan kuasa tinggi; (ii) context setters, sebagai aktor yang memiliki kuasa atau pengaruh tinggi tetapi dengan kepentingan rendah; (iii) subjek, sebagai aktor yang mempunyai kepentingan tinggi tetapi dengan kuasa atau pengaruh yang rendah; dan (iv) crowd, sebagai aktor yang memiliki tingkat kepentingan dan kuasa yang rendah (Bryson, 2007Reed et al., 2009).

Hasil pemetaan aktor menunjukkan setidaknya enam aktor kunci terkait permasalahan bansos di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Maros, yaitu Presiden Jokowi, Menko PMK, Mensos, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan para bupati/walikota di ketiga daerah tersebut (Gambar 1). Para aktor kunci memberikan penekanan pada isu yang berbeda sehingga mereka tidak terhubung dengan beberapa klaster isu tertentu. Dalam hal ini, gubernur dan bupati/walikota merupakan aktor utama di tingkat lokal yang memegang peranan penting di daerahnya jika dilihat dari pengaruhnya ataupun dari regulasi terkait bansos. Sementara itu, Presiden Jokowi, Menko PMK, dan Mensos menjadi aktor kunci di tingkat pusat yang wewenang dan pengaruhnya bersifat nasional, tidak hanya di ketiga daerah tersebut.
  

Gambar 1. Hasil pemetaan pemangku kepentingan
  

Permasalahan utamanya adalah bahwa, di antara keenam aktor kunci, tidak ada yang dapat dikatakan memegang peranan atau mampu memberikan pengaruh langsung dalam upaya mengurai permasalahan data penerima dan mekanisme penyaluran bansos secara holistis. Aktor yang bertindak sebagai pengambil kebijakan cenderung hanya berfokus pada program-program di bawah kewenangannya langsung dan responsif terhadap persoalan yang sedang menjadi bahan pembicaraan publik.

Di tingkat pusat, Menko PMK merupakan aktor yang berpotensi mengoordinasikan penyelesaian masalah bansos setidaknya secara makro dari sisi regulasi dan kewenangan. Menko PMK berfungsi mengoordinasikan Kemensos dan Kemendes PDTT, serta berperan sebagai Ketua Pengarah Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 (Gugus Tugas Nasional).

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 68 Tahun 2019 tentang Organisasi Kementerian Negara, Kemenko PMK memiliki fungsi yang mencakup, antara lain, koordinasi dan sinkronisasi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan kementerian/lembaga yang terkait dengan isu di bidangnya (Pasal 49 huruf a), serta koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administratif kepada semua unsur organisasi di lingkungan Kemenko PMK (Pasal 49 huruf c). Artinya, Menko PMK saat ini memiliki posisi dengan kewenangan untuk mengoordinasikan aktor-aktor di tingkat pusat dan aktor-aktor di tingkat daerah, sebagaimana tecermin dari pernyataannya pada kutipan berikut.

“Perlu diingat, kami akan terus melakukan evaluasi. Jadi, jangan kaget kalau di tengah jalan ada perubahan-perubahan berdasarkan hasil monitoring tim saya yang disampaikan kepada Menteri Sosial dan Menteri Desa untuk perbaikan berikutnya.” (Muhadjir Effendy, Menko PMK, Kompas, 12 Mei 2020)

Menko PMK pun pada dasarnya pernah diberitakan akan mengoordinasi pelaksanaan evaluasi di semua daerah, sebagaimana terlihat pada kutipan di atas. Namun, tidak ada pemberitaan tentang tindak lanjut rencana tersebut ataupun regulasi tentang perubahan mekanisme pendataan dan penyaluran bansos yang didasarkan pada permasalahan yang muncul. Wacana permasalahan bansos akhirnya diangkat kembali dalam rapat terbatas pada 19 Mei 2020 oleh Presiden Jokowi. Ia menekankan pada prosedur penyaluran bansos yang terlalu panjang dan rumit, sebagaimana terlihat pada kutipan berikut.  

“Masalah prosedur yang berbelit, padahal situasinya adalah situasi yang tidak normal yang bersifat extraordinary. Sekali lagi, ini butuh kecepatan. Saya minta aturan itu dibuat sesimpel mungkin, sesederhana mungkin tanpa mengurangi akuntabilitas.” (Presiden Jokowi, Presiden Republik Indonesia, Youtube, 19 Mei 2020)

Hal ini ditanggapi langsung oleh Kemensos yang menekankan pada kebutuhan untuk memprioritaskan kecepatan, ketepatan, dan akuntabillitas dalam penyaluran bansos. 

“Pesan dari Presiden adalah cepat, tepat, dan akuntabel. Jadi, memang tiga syarat ini yang kami harus lakukan walaupun tidak mudah terutama sisi akuntabel yang tetap kita harus perhatikan dan laksanakan.” (Juliari Batubara, Menteri Sosial, Youtube, 19 Mei 2020)

Di sisi lain, kasus di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi DKI Jakarta pada dasarnya menjadi cerminan adanya kebutuhan mendasar terkait koordinasi dan sinkronisasi dalam penyaluran bansos. Pada kasus di Provinsi DKI Jakarta, koordinasi antara Pemprov DKI Jakarta, Kemensos, dan Kemenko PMK menghasilkan solusi untuk penyaluran bansos pada tahap berikutnya. Oleh karena itu, penyelesaian masalah melalui koordinasi pada dasarnya dapat dilakukan tetapi terkendala oleh ketiadaan upaya untuk menyelesaikan masalah bansos secara holistis. Aktor-aktor di daerah sudah melakukan upaya untuk mengatasi masalah bansos tetapi masih secara parsial atau teknis. Aktor-aktor di tingkat pusat pun belum terlihat melakukan upaya untuk menyelesaikan masalah bansos secara holistis dari sisi regulasi dan mekanisme penyaluran bansos.

Dalam berbagai pemberitaan, Kemensos berfokus pada persoalan teknis penyaluran bansos yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam konteks koordinasi penyaluran bansos, Kemensos sebenarnya memiliki wewenang dalam hal pelaksanaan, supervisi, dan bimbingan teknis, sebagaimana diatur dalam Perpres No. 68 Tahun 2019 dan Perpres No. 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial. 

Selain itu, berdasarkan Keputusan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) No. 18 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Pelaksana Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) No. 16 Tahun 2020 tentang Uraian Tugas, Struktur Organisasi, Sekretariat, dan Tata Kerja Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), Kemensos memegang peranan utama dalam bidang operasi, subbidang pemulihan, dan layanan dasar yang bertugas memberi dukungan dan pendampingan dalam upaya percepatan pemulihan dampak sosial-ekonomi di daerah. Terkait permasalahan data, pihak Kemensos menyerahkannya kembali kepada pemerintah daerah, terutama pemerintah kota/kabupaten. 

“Oleh karena itu, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kami memang hampir bisa dibilang 100 persen mengambil data yang dikirimkan oleh daerah. Kelayakan atau tidak kelayakan dari calon-calon penerima bantuan sosial yang kami terima itu memang bukan tanggung jawab kami. Artinya, daerah yang lebih memahami, daerah ini siapa ya [yang berhak menerima bansos], dimulai dari kepala daerah sampai ke desa maupun kelurahan.” (Juliari Batubara, Menteri Sosial, Detiknews, 6 Mei 2020)

“Karena kewenangan pembaruan data ada pada pemerintah kota dan kabupaten.” (Pepen Nazaruddin, Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemenso, Tempo, 26 April 2020)

Kutipan-kutipan dari pihak Kemensos di atas diutarakan dalam konteks pandemi yang menyebabkan Kemensos tidak bisa melakukan proses validasi data di lapangan. Terlihat juga bahwa sebagian besar wewenang koordinasi dalam memastikan akurasi data diserahkan kepada tiap daerah. 

Mekanisme tersebut pada dasarnya memang sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) No. 5 Tahun 2019 yang mengatur bahwa pemerintah kota/kabupaten melakukan pendataan, verifikasi, dan validasi dan baru bersinergi dengan pemprov atau kemensos ketika sudah melewati proses berjenjang tersebut. Namun, dalam situasi pandemi seperti sekarang, daerah-daerah juga berpotensi mengalami kesulitan dalam melakukan pembaruan data, seperti terlihat pada kasus di Kabupaten Maros. Ketakakuratan data penerima bansos berimbas negatif terhadap penyaluran bansos dari Pemerintah Pusat karena basis data yang digunakan sama dengan basis data yang perlu diperbarui oleh daerah, yaitu DTKS. Dengan demikian, menyerahkan wewenang sepenuhnya kepada daerah tanpa koordinasi yang baik merupakan jalan keluar yang kurang ideal.

Dalam situasi pandemi, Ketua Gugus Tugas Nasional yang dijabat oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga merupakan aktor yang berpotensi melakukan koordinasi. Keputusan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) No. 18 Tahun 2020 yang memuat uraian tentang tugas dan struktur organisasi Gugus Tugas Nasional menyatakan bahwa Ketua Gugus Tugas Nasional berfungsi menetapkan, melaksanakan, mengoordinasikan, mengerahkan sumber daya, dan melaporkan kemajuan upaya percepatan penanganan COVID-19. 

Namun, Ketua Gugus Tugas Nasional juga mengepalai setidaknya 24 unsur kementerian sebagai anggota pelaksana, termasuk Kemensos dan Kemendes PDTT. Mensos dan gubernur semua daerah pun menjadi anggota pengarah yang diketuai oleh Menko PMK. Dengan demikian, Ketua Gugus Tugas Nasional memiliki posisi dengan wewenang untuk mengoordinasikan penyelesaian permasalahan bansos, baik dengan aktor di tingkat pusat maupun aktor di tingkat daerah.

“Ini usulan bagus dari Jawa Tengah. Bisa tidak Pak Ganjar [Gubernur Provinsi Jawa Tengah] segera buat surat ke Gugus Tugas? Nanti tembusannya ke Kemensos soal keluwesan bantuan sosial agar segera ditindaklanjuti.” (Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Nasional, Pikiran Rakyat, 3 Mei 2020)

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa urusan mekanisme evaluasi dan perbaikan penyaluran bansos diserahkan kepada Kemensos, sebagai aktor utama dalam koordinasi operasional pelaksanaan bansos. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Ketua Gugus Tugas Nasional kurang berperan dalam pemulihan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. 

Dengan demikian, protes dan penolakan masyarakat seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Maros merupakan konsekuensi logis dari tidak adanya aktor yang memegang tanggung jawab utama dalam penyelesaian masalah bansos secara holistis. Untuk melihat hal ini secara lebih mendalam, dilakukan pemetaan isu berdasarkan wacana dan aktor yang teridentifikasi di media massa.

  

Pemetaan Isu Prioritas terkait Bansos

Pemetaan isu yang dibicarakan oleh semua aktor mengidentifikasi 14 isu terkait bansos yang kemudian dikelompokkan menjadi lima kelompok isu utama (Gambar 2). Kelima kelompok isu tersebut merupakan persoalan yang secara esensial berkesinambungan. Dalam konteks wacana, tiap aktor terlihat memberikan perhatian pada isu yang berbeda, yang mengindikasikan adanya perbedaan perspektif mengenai isu yang dianggap penting. 

Aktor kunci berhubungan langsung dengan semua isu yang diberitakan media. Sementara itu, aktor-aktor lainnya memberikan penekanan pada isu yang berbeda sehingga terlihat bahwa kelompok aktor tersebut tidak berhubungan dengan klaster isu tertentu. Isu yang diperhatikan semua kelompok aktor adalah (i) koordinasi basis dan kualitas data, serta (ii) koordinasi dan implementasi penyaluran bansos; keduanya adalah masalah utama dalam konteks penyaluran bansos.


Gambar 2. Hasil pemetaan isu berdasarkan kelompok aktor
  

Kebutuhan akan Regulasi Khusus Saat Terjadi Krisis

Untuk memahami akar permasalahan pendataan sasaran dan penyaluran bansos, regulasi dan sistem yang ada perlu diletakkan dalam konteks krisis/bencana pandemi yang terjadi saat ini. Dalam hal kebencanaan dan bantuan sosial, terdapat setidaknya empat regulasi yang bisa menjadi rujukan, yaitu Undang-Undang (UU) No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, PP No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, Permensos No. 1 Tahun 2013 tentang Bantuan Sosial Korban Bencana, dan Permensos No. 4 Tahun 2015 tentang Bantuan Langsung Berupa Uang Tunai bagi Korban Bencana. 

Secara keseluruhan, teridentifikasi tiga akar masalah utama, yaitu (i) tidak ada regulasi khusus yang mengatur sistem perlindungan sosial dan penyaluran bansos/bantuan langsung ketika terjadi bencana nonalam; (ii) tidak ada regulasi yang secara khusus mengatur mekanisme  pendataan, verifikasi, dan validasi data saat terjadi krisis/bencana, khususnya bencana nonalam; dan (iii) tidak ada aturan khusus terkait bansos yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup kelompok yang terdampak krisis/bencana, seperti kelompok pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan akibat pandemi COVID-19.

Dalam UU No. 24 Tahun 2007 dan PP No. 22 Tahun 2008, dijelaskan bahwa bantuan untuk pemenuhan kebutuhan dasar merujuk pada komponen-komponen seperti penampungan sementara, bantuan pangan, sandang, air bersih dan sanitasi, serta pelayanan kesehatan. Sementara itu, dalam Permensos No. 1 Tahun 2013, dijelaskan bahwa bantuan yang diatur mencakup pembiayaan hunian, santunan ahli waris, penguatan ekonomi, dan jaminan hidup. Bantuan jaminan hidup yang dimaksud adalah bantuan tunai untuk tambahan lauk-pauk yang diberikan pada saat kondisi darurat berakhir. Dengan kata lain, tidak ada peraturan yang mengatur penyaluran bansos untuk memenuhi kebutuhan hidup selama masa bencana. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebagian besar regulasi yang digunakan sebagai rujukan pada penyaluran bansos selama masa pandemi COVID-19 merupakan regulasi untuk situasi nonbencana. 

Permasalahan ketakakuratan data juga terjadi karena pandemi COVID-19 memunculkan kelompok rentan baru yang terdampak secara ekonomi yang sebelumnya tidak termasuk dalam basis data penerima bansos. Hal ini mengindikasikan adanya kebutuhan pendataan sasaran penerima bansos yang dilakukan dengan cepat dan tepat. Selama ini, satu-satunya regulasi yang menjadi acuan dalam pendataan bansos adalah Permensos No. 5 Tahun 2019. Namun, regulasi ini hanya mengatur mekanisme pendataan bansos dalam kondisi normal, bukan saat terjadi bencana, sehingga aspek kecepatan belum diperhatikan dalam mekanisme tersebut. Hal ini terlihat dari pernyataan yang disampaikan Kepala Subdirektorat Validasi dan Terminasi Kemensos pada kutipan berikut.

“Makanya, dalam kondisi ini, saya khawatir dengan kabupaten atau kota yang tidak punya kemampuan anggaran dan tidak punya kemampuan update data. Contoh, misalnya, ketika kabupaten/kota meng-update data Oktober, November, Desember 2019 maka data ditetapkan oleh Kementerian Sosial Januari 2020.” (Slamet Santoso, Kasubdit Validasi dan Terminasi Kemensos, CNN Indonesia, 14 Mei 2020)

Makanya, dalam kondisi ini, saya khawatir dengan kabupaten atau kota yang tidak punya kemampuan anggaran dan tidak punya kemampuan update data. Contoh, misalnya, ketika kabupaten/kota meng-update data Oktober, November, Desember 2019 maka data ditetapkan oleh Kementerian Sosial Januari 2020.” (Slamet Santoso, Kasubdit Validasi dan Terminasi Kemensos

“Sebenarnya untuk tahun ini, kami sudah berencana memperbaharui data, bahkan sudah melakukan pelatihan untuk tim yang akan bertugas, tapi tiba-tiba ada wabah COVID ini, jadi terpaksa kami tunda.” (Prayitno, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Maros, TribunMaros, 14 Mei 2020)

Kedua kutipan tersebut menggambarkan bahwa prosedur pendataan yang saat ini dilaksanakan membutuhkan proses bertahap yang memakan waktu, di samping adanya permasalahan sumber daya manusia yang kurang mampu beradaptasi dalam situasi pandemi. 

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa mekanisme dan prosedur yang ada saat ini tidak mampu merespons kebutuhan masyarakat secara cepat dan tepat. Kegamangan yang dialami beberapa aktor, seperti Kemenko PMK dan Kemensos, pun dapat dipahami karena sejauh ini memang belum ada acuan yang ajek dalam merespons kebutuhan masyarakat selama pandemi. 

Koordinasi sebenarnya sudah diupayakan melalui Surat Edaran KPK No. 11 Tahun 2020 yang menegaskan bahwa DTKS harus dijadikan acuan dalam pendataan penerima bansos. Namun, surat edaran tersebut baru dikeluarkan pada 21 April 2020, yaitu 50 hari setelah kasus pertama COVID-19 di Indonesia diumumkan atau 20 hari setelah terbitnya PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Keterlambatan atau tidak sinkronnya waktu penyaluran bansos ini pada akhirnya menjadi konsekuensi logis dari ketiadaan aturan yang mengatur bansos saat terjadi krisis/bencana.

  

Mengantisipasi Penyaluran Bansos Saat Krisis

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada dua permasalahan utama yang perlu disoroti, yaitu ketaksiapan birokrasi dalam merespons situasi krisis dan kurangnya kepemimpinan (aktor dengan posisi dan kapasitas untuk mengontrol koordinasi). Permasalahan seperti ketakakuratan data, yang pada akhirnya menyebabkan penyaluran bansos tak tepat sasaran, memang bukan masalah baru. Namun, permasalahan ini menjadi makin rumit ketika cara penyelesaiannya masih menggunakan mekanisme baku yang sebenarnya dirancang untuk diterapkan dalam kondisi normal, bukan saat terjadi krisis. Pada masa krisis seperti pandemi, mekanisme tersebut tidak mampu merespons urgensi dan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan bantuan secara cepat. 

Gambar 3. Sistem penyaluran bansos saat krisis 
  

Oleh karena itu, agar kebutuhan penyaluran program perlindungan sosial saat krisis ekonomi dapat segera ditangani, setidaknya terdapat tiga hal utama yang perlu dilakukan.
a) Perancangan mekanisme dan prosedur khusus untuk pendataan sasaran dan penyaluran bantuan yang lebih cepat dan tepat, terutama saat terjadi krisis ekonomi akibat bencana nonalam. Mekanisme tersebut perlu dirancang dengan mengacu pada kelima isu utama (Gambar 2) yang saat ini mendapat penekanan dari para pemangku kepentingan (Gambar 3).   
b) Pendelegasian wewenang dan peran untuk melakukan koordinasi dalam menjalankan mekanisme khusus yang dijelaskan pada poin a).
c) Pembaruan basis data, sebagaimana telah diatur dalam Permensos No. 5 Tahun 2019, yang dijalankan secara rutin dan dibuat lebih terbuka agar bisa dipantau publik. Basis data yang ada saat ini seharusnya diperbarui secara rutin sehingga bisa menjadi modal awal bagi penerapan intervensi kebijakan yang tepat ketika terjadi bencana nonalam dan/atau krisis serupa pada masa mendatang.
  

Bagikan laman ini

Penulis

Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.