Ketakpastian Penyelenggaraan PSBB dalam Penanganan COVID-19

28 Juli 2020

Pandemi COVID-19 memberi pembelajaran yang sangat berharga mengenai pengelolaan sebuah situasi yang disebut sebagai darurat kesehatan. Penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang menggunakan skenario pembagian kewenangan antara pusat dan daerah menghadapi tantangan besar. Efektivitas skenario ini diuji ketika pandemi sudah meluas melewati batas kewenangan daerah. Bagaimana skenario tersebut dijalankan? Siapa yang seharusnya memegang kewenangan pengaturannya?

PSBB mulai diberlakukan Pemerintah sejak 31 Maret 2020 melalui PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang menjadi rujukannya, pembatasan yang diatur dalam PP ini sedikitnya meliputi (i) peliburan sekolah dan tempat kerja, (ii) pembatasan kegiatan keagamaan, dan (iii) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Jika melihat sekilas ke belakang, dikeluarkannya PP tersebut tampaknya merupakan jawaban atas situasi yang berkembang selama fase awal pandemi di Indonesia. Pada satu sisi, pengaturan itu seperti hendak menyudahi polemik dan menjawab kritik terhadap efektivitas imbauan pemerintah agar masyarakat tetap tinggal di rumah–suatu kebijakan yang tidak memiliki landasan hukum dan sanksi yang jelas. Di sisi lain, penetapan PP tersebut juga bermaksud menertibkan kebijakan sepihak yang dibuat oleh beberapa pemda dalam upaya mengatasi penyebaran COVID-19. Contohnya, Pemkot Tegal dan Pemkot Surakarta sempat memberlakukan local lockdown (karantina kewilayahan setempat) di wilayahnya.

Dengan terbitnya PP ini semuanya jelas. Para kepala daerah saya minta tidak membuat kebijakan sendiri-sendiri yang tidak terkoordinasi. Semua kebijakan di daerah harus sesuai dengan peraturan, berada dalam koridor Undang-Undang dan PP serta Keppres tersebut.” (Presiden Joko Widodo, setkab.go.id, 31 Maret 2020)

Dengan pernyataan tersebut, Presiden menegaskan bahwa kewenangan penetapan kebijakan penanganan COVID-19 berada di tangan Pemerintah Pusat. Namun, jika menilik isi PP dan implementasinya, kewenangan yang masih dipegang oleh Pemerintah Pusat hanyalah kewenangan untuk menetapkan status PSBB, sementara keputusan untuk memulai, memperpanjang, atau menyudahi PSBB diserahkan kepada pemda.

Di atas kertas, kebijakan PSBB yang menyerahkan kewenangan kepada daerah tampak sebagai skenario ideal dalam penanggulangan dampak ikutan nonkesehatan dari pandemi ini. Namun, hasil pemantauan media mulai 21 April 2020 sampai 4 Juni 2020 memperlihatkan setidaknya dua masalah utama dalam implementasi kebijakan tersebut. Di satu sisi, terdapat masalah sinkronisasi kebijakan antardaerah, terutama pada daerah di kawasan episentrum pandemi COVID-19. Di sisi lain, sinkronisasi antara kebijakan Pemerintah Pusat dan pemda menjadi masalah karena perbedaan pandangan dan sikap dalam pelaksanaan teknis PSBB.
 

Ketakselarasan Kebijakan PSBB Antarpemda

Kebijakan penyelenggaraan PSBB sangat bergantung pada pertimbangan tiap-tiap kepala daerah. Pada kenyataannya, keputusan pemda tidak semata didasari pertimbangan epidemiologi. Pertimbangan yang lebih utama adalah justru kemampuan keuangan daerah terutama dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dan pelaksanaan jaring pengaman sosial.

Pengaturan teknis kebijakan PSBB tertuang dalam Permenkes No. 9 Tahun 2020 yang ditandatangani pada 3 April 2020. Pasal 4 Permenkes ini menyebutkan bahwa selain pertimbangan epidemiologi, kepala daerah yang mengusulkan PSBB harus juga menyampaikan pertimbangan tingkat kesiapan daerahnya dalam hal ketersediaan kebutuhan dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan keamanan. Sementara itu, pertimbangan epidemiologi yang dimaksud dalam Permenkes tersebut meliputi data tentang (i) peningkatan jumlah kasus menurut waktu, (ii) penyebaran kasus menurut waktu, dan (iii) kejadian transmisi lokal.

Menindaklanjuti ketentuan itu, sebagian besar kepala daerah yang daerahnya berada di kawasan episentrum pandemi COVID-19 kompak mengusulkan PSBB. Contohnya daerah-daerah di wilayah Jabodetabek yang segera mengusulkan dan menerapkan kebijakan PSBB dalam waktu yang berdekatan, yaitu pada pertengahan April 2020. Hal yang sama bisa dilihat di wilayah episentrum Surabaya Raya, Jawa Timur. Kota Surabaya bersama Kabupaten Gresik dan Kabupaten Sidoarjo serempak memberlakukan PSBB pada akhir April 2020.

Namun, Bupati Kabupaten Maros enggan memberlakukan PSBB, padahal daerahnya merupakan bagian dari kawasan episentrum Sulsel. Menurut keterangan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah, Presiden Joko Widodo sudah menganjurkan Kabupaten Maros untuk menerapkan PSBB guna menekan angka penularan COVID-19 di Sulsel. Sementara itu, daerah tetangganya, yaitu Kota Makassar dan Kabupaten Gowa, sudah memberlakukannya.

Ada dua alasan yang melatarbelakangi keengganan Bupati Maros untuk menerapkan PSBB di daerahnya. Pertama, penerapan PSBB di Makassar dianggap tidak efektif karena masih padatnya kendaraan dari arah Makassar yang melintas di jalan poros Makassar-Maros. Kedua, daerahnya tidak siap mengalokasikan anggaran untuk paket bantuan sosial sebagai bagian dari syarat penerapan PSBB.

"Kami masih lihat dulu lah bagaimana Makassar dengan Gowa menerapkan PSBB. Karena khawatirnya orang lebih takut tidak dapat sembako, daripada takut sama corona, sekarang kan kejadiannya seperti itu." (Hatta Rahman, Bupati Maros, tribun-timur.com, 28 April 2020)

Tidak ditemukan pernyataan atau tindakan apa pun dari Kemenkes terkait sikap Bupati Maros ini, padahal sesuai peraturan yang ditandatanganinya, Menkes berwenang menetapkan wilayah PSBB. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Gugus Tugas COVID-19) pun setali tiga uang, walaupun lembaga ini berhak memberi masukan kepada Menkes untuk menetapkan wilayah PSBB. Alhasil, selain tak ditanggapi oleh Bupati, permintaan Presiden juga tidak ditindaklanjuti oleh para pembantu di bawahnya.

Walau secara formal PSBB tidak diberlakukan, praktik kebijakan yang diterapkan oleh Bupati Maros sejatinya tidak jauh berbeda dengan pengaturan di daerah yang melaksanakan PSBB. Di kabupaten ini sekolah dan tempat usaha juga ditutup, kegiatan keagamaan dan mobilitas masyarakat dibatasi, lalu lintas di perbatasan diperketat, dan fasilitas umum, seperti taman dan tempat wisata, ditutup untuk mencegah terjadinya kerumunan.

Cerita tentang Kabupaten Maros dan daerah tetangganya terjadi pula pada Sumbar dan Bali. Dalam rangka menekan peningkatan jumlah kasus positif COVID-19, dua provinsi ini mempunyai pandangan dan pendekatan yang berbeda, yaitu dengan menerapkan PSBB atau tidak sama sekali. Pemprov Sumbar memutuskan untuk memberlakukan PSBB pada tingkat provinsi. Salah satu alasannya adalah agar pemprov ini bisa menerapkan Permenhub No. 25 Tahun 2020 yang mengatur larangan mobilitas orang masuk dan keluar wilayah PSBB. Dengan kata lain, Sumbar menganggap bahwa PSBB diperlukan untuk mencegah masuknya pendatang atau pemudik yang berpotensi membawa virus.

Sebaliknya, Pemprov Bali justru berpandangan bahwa PSBB hanya diperlukan jika kejadian penularan diakibatkan oleh transmisi lokal karena PSBB merupakan kebijakan yang membatasi aktivitas masyarakat di dalam wilayah. Usulan Pemkot Denpasar untuk menerapkan PSBB pun ditolak Pemprov Bali. Di berbagai pemberitaan, Gubernur Bali I Wayan Koster berulang kali menegaskan bahwa kasus positif di daerahnya didominasi oleh imported case (kasus kiriman dari daerah terjangkit) sehingga strategi yang perlu diterapkan pun berbeda. Dengan argumen ini, kebijakan yang diberlakukan adalah pengawasan dan pembatasan ketat mobilitas orang yang masuk ke Bali, tanpa perlu ada PSBB.

Namun, Bali pun sejatinya melakukan pembatasan mobilitas warganya. Hanya saja, pelaksanaannya mengandalkan kekuatan komunitas desa adat. Dengan pendekatan tersebut, pembatasan mobilitas keluar masuk masyarakat diterapkan di tingkat desa.

"Karena desa adat punya hukum adat, warga jadi tertib dan disiplin, sejauh ini berjalan dengan sangat baik. Selain itu kelebihan desa adat juga punya satu keyakinan ritual agama dalam bentuk niskala. Para leluhur mengajarkan kalau ada wabah ada cara sendiri penanganan secara ritual." (I Wayan Koster, Gubernur Bali, cnnindonesia.com, 12 Mei 2020)

Selain itu, peran desa adat juga dimaksimalkan dengan menggunakan sebagian aset desa adat untuk bantuan sosial. Pemprov Bali mengeluarkan instruksi agar Dana Desa Adat Tahun 2020 digunakan untuk penanganan pandemi COVID-19 dan bantuan sosial. Sementara itu, di sejumlah kabupaten, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) milik desa adat turut mengalokasikan bantuan sosial yang berasal dari keuntungan usaha.

Skenario kebijakan yang bertumpu pada daerah membuat setiap pemda bermain dengan iramanya sendiri-sendiri. Baik daerah yang menerapkan maupun tidak menerapkan PSBB sempat sama-sama dinilai berhasil menekan penyebaran COVID-19. Namun, menjelang akhir penerapan kebijakan di dua kelompok daerah masing-masing, angka kasus positif baru masih fluktuatif dan belum menunjukkan tanda-tanda menurun. Di Bali, temuan baru kasus positif kembali merangkak naik dan malah makin didominasi oleh transmisi lokal, sementara di wilayah Surabaya, jumlah kasus positif melonjak. Sebagai kebijakan dasar nasional, PSBB menjadi sulit diukur efektivitasnya.

  
Tarik-menarik Kepentingan Pusat dan Daerah

Wilayah Jabodetabek yang paling awal menerapkan PSBB lain lagi ceritanya. Tantangan efektivitas penerapan PSBB bukan berasal dari ketakselarasan kebijakan antardaerah karena tiap-tiap pemda kompak menerapkannya. Tantangan justru muncul akibat tidak sinkronnya kebijakan pemda dengan kebijakan beberapa kementerian. Kebijakan penerapan PSBB yang bersengkarut ini tampak dari adanya kewenangan yang bertumpang-tindih dan tarik-menarik kepentingan di antara keduanya. Walaupun PP No. 21 Tahun 2020 memberi peran besar kepada pemda, beberapa sektor tidak bisa mereka kendalikan karena bersinggungan dengan kewenangan yang dimiliki Pemerintah Pusat.

Salah satu topik yang berkali-kali mencuat dalam pemberitaan di media adalah usul penghentian operasional KRL di wilayah Jabodetabek. Tercatat tiga kali hal tersebut diangkat oleh kepala daerah DKI Jakarta dan Jawa Barat dalam pemberitaan di media: pertama, pada pertengahan April 2020 ketika fase awal penerapan PSBB di Jabodetabek; kedua, pada akhir April 2020 ketika pelaksanaan PSBB dinilai tidak efektif dengan masih tingginya temuan kasus positif; dan ketiga, pada awal Mei 2020 ketika tiga orang penumpang KRL ditemukan positif terinfeksi COVID-19.

"Saya dua hari yang lalu mengusulkan kepada Pak Menhub Ad Interim untuk operasi kereta Commuter dihentikan dulu selama kegiatan PSBB berlangsung." (Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, kompas.com, 16 April 2020)
  
“Kami lima kepala daerah akan tetap mengusulkan kepada Kemenhub untuk menghentikan sementara KRL selama PSBB. Kami yakin salah satu penyebab maraknya positif itu karena KRL. Dari data yang ada rata-rata dari penumpang KRL. Kasus positif pertama yang di Bojonggede itu dari KRL. Paling tidak membatasi, menutup stasiun tertentu dan menyeleksi orang-orang yang akan bepergian menggunakan KRL.” (Ade Yasin, Bupati Bogor, cnnindonesia.com, 27 April 2020)
  
“Sekarang mengemuka lagi (penghentian KRL), saya juga sangat mendukung. Karena problemnya adalah OTG (Orang Tanpa Gejala). Jadi, walau sudah ada protokol kesehatan (di KRL), OTG ini tidak ketahuan padahal ada virus.” (Ridwan kamil, Gubernur Jawa Barat, tempo.co, 9 Mei 2020)

Namun, semua usul itu ditolak. Dalam hal ini, Permenhub No. 18 Tahun 2020 memang hanya melakukan pembatasan jumlah penumpang KRL dan menerapkan protokol kesehatan. Berdasarkan aturan ini, jam operasional KRL dibatasi menjadi hanya pada pukul 06.00–18.00. Dengan pembatasan itu, Kemenhub mengeklaim bahwa penumpang KRL sudah berkurang 80%–90% dibanding keadaan sebelum PSBB.

“Kami melihat belum ada hal mendesak untuk melakukan penghentian. Kami masih melihat sesuai Permenkes No. 9 Tahun 2020 ada beberapa sektor yang dikecualikan seperti tenaga kesehatan, tenaga pengamanan, dan beberapa instansi strategis yang masih tetap secara fisik harus datang ke kantor. Banyak mereka yang lokasi permukimannya di daerah sekitar DKI. Itu yang kami lihat [pelayanan KRL] tetap dibutuhkan. Yang penting protokol kesehatan tidak dilupakan dan kami tetap bisa melayani.” (Adita Erawati, Juru bicara Kemenhub, kompas.tv, 29 April 2020)

Masih banyaknya penumpang KRL berkelindan dengan masih beroperasinya perusahaan-perusahaan yang sebenarnya tidak termasuk dalam daftar sektor yang dikecualikan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No. 33 Tahun 2020. Perusahaan tersebut terus beroperasi karena mengantongi Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Perindustrian No. 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Operasional Pabrik dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Coronavirus Disease 2019. Kemenperin beralasan bahwa izin operasional tersebut perlu diberikan untuk mencegah kerugian usaha yang besar.

Pada 22 April 2020, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebenarnya sudah meminta Kemenperin untuk meninjau ulang IOMKI yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang bukan merupakan bagian dari sektor yang dikecualikan. Pemda DKI dan Kemenperin pun dikabarkan berembuk. Namun, di tengah pembahasan bersama, Kemenperin masih terus menambah IOMKI.

"Pembahasan tetap jalan terus, kami enggak ngerti. Penambahan jalan terus. Kami pertanyakan, dalam mengeluarkan IOMKI kenapa kita tidak dilibatkan.” (Andri Yansyah, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta, ayojakarta.com, 6 Mei 2020)

Hingga 29 April 2020 ketika polemik KRL memuncak, Kemenperin telah mengeluarkan IOMKI bagi 14.533 perusahaan. Paling banyak di antaranya berasal dari sektor industri agro; industri kimia, farmasi, dan tekstil; industri logam, mesin, alat transportasi, dan elektronika; industri kecil, menengah, dan aneka; serta kawasan industri dan jasa industri. Kemenperin berdalih bahwa SE itu tidak bertentangan dengan Permenkes No. 9 Tahun 2020.

"Pada lampiran bagian D, pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar, halaman 24 mensyaratkan adanya izin dari Kementerian Perindustrian bagi sektor industri yang membutuhkan proses berkelanjutan." (Achmad Sigit Dwiwahjono, Sekjen Kemenperin, detik.com, 29 April 2020)

Terkait polemik mengenai operasional KRL dan IOMKI ini, lembaga-lembaga yang sejatinya merupakan pengendali utama dalam penanganan COVID-19 malah terlihat ragu-ragu. Baik Kemenkes maupun Gugus Tugas COVID-19 cenderung menyerahkan penanganan masalah tersebut kepada daerah, tanpa menyikapi akar masalah ketiadaan sinergi kebijakan; padahal sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 7 Tahun 2020, Gugus Tugas COVID-19 bertugas meningkatkan sinergi kebijakan operasional antara kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam penanganan COVID-19.

“Masih banyak pekerja yang di kantor. Ini yang diupayakan. Kami mengimbau, memberi teguran dan kita harap gugus tugas (di daerah) lebih tegas lagi untuk perusahaan-perusahaan yang belum memenuhi protokol kesehatan." (Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas COVID-19, kompas.com, 20 April 2020)
  
"Sudah barang tentu pemerintah daerah yang memahami betul dinamika yang ada di masyarakat setempat. Jadi, pelaksanaan operasional dari PSBB diserahkan sepenuhnya kepada kepala daerah yang menghasilkan peraturan." (Achmad Yurianto, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, bisnis.com, 4 Mei 2020)

Kebijakan Kemenperin untuk memberikan izin operasional kepada perusahaan yang tidak termasuk dalam sektor yang dikecualikan berbuah munculnya beberapa klaster penularan COVID-19 di lokasi-lokasi pabrik. Di Kabupaten Bekasi salah satu contohnya. Dua pabrik di Cikarang harus ditutup karena ditemukan hasil reaktif berdasarkan rapid test di kalangan buruhnya, dengan satu orang meninggal dunia berstatus positif. Sementara itu, di Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya, salah satu pabrik rokok juga ditutup setelah dua karyawannya meninggal akibat COVID-19 dan 100 karyawan lainnya dinyatakan reaktif setelah menjalani rapid test.

Untuk mengantisipasi terulangnya kejadian penularan COVID-19 di pabrik-pabrik, Kemenperin hanya menerbitkan SE No. 8 Tahun 2020 tentang Kewajiban Pelaporan bagi Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan yang Memiliki IOMKI.

“Selama masa PSBB, kami wajibkan perusahaan industri yang memiliki IOMKI untuk memberikan pelaporan secara online seminggu sekali.” (Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Perindustrian, beritasatu.com, 9 Mei 2020)

Para kepala daerah di kawasan Jabodetabek akhirnya bersiasat dengan kewenangan yang mereka miliki. Mereka berbarengan menerapkan aturan yang mewajibkan setiap penumpang KRL untuk membawa surat tugas. Hanya orang-orang yang bekerja di sektor yang dikecualikan dan dapat membuktikan identitas diri dengan surat tugas boleh menggunakan KRL.

“Kalau mau naik KRL boleh, tapi dipastikan punya itu (surat tugas). Tidak punya surat itu enggak boleh dan bisa dikenakan sanksi.” (Bima Arya, Walikota Bogor, kompas.com, 11 Mei 2020)

Polemik yang terjadi dalam penerapan PSBB di kawasan Jabodetabek berakar pada bertumpang-tindihnya kewenangan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Patut disayangkan bahwa polemik tersebut tak mampu ditengahi oleh Gugus Tugas COVID-19 yang sebenarnya memiliki tugas melakukan sinergi kebijakan. Gugus Tugas COVID-19 tampaknya ragu-ragu karena lembaga ini tidak memiliki wewenang apa pun atas masalah tersebut. Dalam Keppres No. 9 Tahun 2020, Gugus Tugas COVID-19 hanya diberi kewenangan mempercepat izin impor barang yang digunakan untuk penanganan COVID-19. 

  
Perlunya Mengakhiri Saling Lempar dan Berebut Wewenang  

Kurang harmonisnya koordinasi antardaerah serta tarik-menarik kebijakan antara pusat dan daerah merupakan buah dari skenario PSBB yang dibuat. Penyerahan kewenangan kepada daerah justru menimbulkan komplikasi dalam pelaksanaannya. Alih-alih mengefektifkan penanganan pandemi COVID-19, hal tersebut malah menimbulkan silang sengkarut kebijakan akibat tiap-tiap pihak bersikukuh dengan kepentingannya.

Pemberian kewenangan kepada daerah dalam penanganan pandemi COVID-19 sesungguhnya memang kurang tepat. Prinsip desentralisasi di Indonesia adalah pembagian kewenangan, bukan pemisahan kekuasaan. Kewenangan daerah dibatasi oleh (i) batas administratif wilayahnya dan (ii) kewenangan Pemerintah Pusat sebagai otoritas tertinggi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, pandemi COVID-19 menyebar melewati batas kewenangan dan administratif wilayah daerah.

Belajar dari pengalaman penerapan kebijakan PSBB di berbagai daerah dalam empat bulan terakhir, pengendalian bencana, seperti pandemi COVID-19, perlu dikembalikan sebagai tanggung jawab penuh Pemerintah Pusat. Hal ini diperlukan karena dengannya akan ada jaminan kesatuan kebijakan yang berlaku nasional sehingga prosesnya dapat berjalan lebih efektif. Lagi pula, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang menjadi dasar pijakan PSBB memang mengisyaratkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat dipegang oleh Pemerintah Pusat.

Dalam hal ini, posisi Gugus Tugas COVID-19 sebagai lembaga yang diserahi tanggung jawab menyelenggarakan percepatan penanganan COVID-19 perlu dipertegas. Fungsi-fungsi yang saat ini dimilikinya perlu dilengkapi dengan sejumlah kewenangan yang memberdayakannya untuk mengakhiri polemik atau perbedaan. Tanpa kewenangan yang jelas, Gugus Tugas COVID-19 hanya akan dipandang sebelah mata oleh virus corona yang tak kasat mata.

Bagikan laman ini

Penulis

Peneliti
Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.