Situasi Kemiskinan Selama Pandemi

26 Juli 2021

Sorotan

  • Jumlah kasus harian COVID-19 Indonesia terus meningkat sepanjang 2020 hingga awal 2021 dan diikuti oleh kebijakan pembatasan sosial.
  • Perekonomian Indonesia belum sepenuhnya pulih sebagaimana kondisi sebelum pandemi.
  • Tingkat kemiskinan Indonesia sedikit turun dari 10,19% pada September 2020 menjadi 10,14% pada Maret 2021, tetapi angka ini masih lebih tinggi dari kondisi sebelum pandemi (9,22% pada September 2019).
  • Rumah tangga menerapkan coping mechanism dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, antara lain dengan menjual barang atau mengurangi pengeluaran.
  • Program bantuan sosial dapat mengurangi beban rumah tangga selama krisis akibat pandemi COVID-19.

 

Pandemi COVID-19 Belum Berakhir

Sejauh ini, Indonesia belum mampu mengendalikan pandemi COVID-19. Sejak diumumkan kasus COVID-19 pertama pada Maret 2020, jumlah kasus harian yang dilaporkan terus meningkat sepanjang 2020 hingga 2021. Dari kondisi terkini, secara kasat mata dapat terlihat bahwa kondisi kehidupan masyarakat Indonesia belum pulih sepenuhnya seperti masa-masa sebelum pandemi.
  

Perekonomian Indonesia Belum Sepenuhnya Membaik

Perekonomian Indonesia telah memasuki krisis sejak triwulan kedua 2020. Dua hal menjadi alasan utama di balik krisis ini. Pertama, semakin banyak populasi yang terinfeksi COVID-19 (termasuk populasi produktif). Situasi ini mengurangi kemampuan rumah tangga mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, terutama bagi rumah tangga yang terdampak langsung oleh pandemi COVID-19 ini. Kedua, pembatasan sosial yang diterapkan pemerintah membuat perekonomian tidak beroperasi 100% dari kapasitas optimalnya karena sebagian usaha harus ditutup dan sebagian pekerja terpaksa dirumahkan.

Terkait krisis ekonomi, salah satu indikatornya adalah angka pertumbuhan ekonomi. Pada 5 Mei 2021, Badan Pusat Statisitik (BPS) merilis laporan bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar -0,74% pada triwulan pertama 2021. Kondisi perekonomian pada triwulan pertama 2021 tersebut jauh lebih rendah dibandingkan kondisi sebelum pandemi meski menunjukkan perbaikan bila dibandingkan dengan kondisi pada 2020. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih berada di bawah laju kondisi normal sebelum terjadi pandemi. Pada saat yang sama, laju pertumbuhan pendapatan nasional per kapita (ukuran kesejahteraan rata-rata nasional) juga turun sebesar 3,15% pada 2020. Artinya, terjadi penurunan tingkat kesejahteraan rumah tangga Indonesia selama 2020 dibandingkan 2019.
  

Tingkat Kemiskinan Nyaris Tidak Berubah

Pada 15 Juli 2021, BPS merilis laporan bahwa pada Maret 2021 sebesar 10,14% atau sebanyak 27,54 juta penduduk Indonesia berstatus miskin. Tingkat kemiskinan Maret 2021 ini sedikit turun dari September 2020 namun masih lebih tinggi dibandingkan kondisi sebelum pandemi pada September 2019 (Gambar 1).

Jika dilihat berdasarkan jumlah orang miskin, sejak September 2019 (kemiskinan terendah yang pernah dicapai Indonesia), jumlah orang miskin meningkat sebesar 1,12 juta individu dengan peningkatan terbesar terjadi di wilayah perkotaan sebesar 1 juta dan perdesaan sebesar 120 ribu orang (Gambar 2).

Penurunan tingkat kesejahteraan rumah tangga (berdasarkan pengeluaran per kapita) salah satunya disebabkan oleh turunnya pendapatan rumah tangga. Studi SMERU[1] menunjukkan bahwa 75% rumah tangga mengalami penurunan pendapatan selama pandemi. Sebanyak 66% rumah tangga yang memiliki usaha kecil juga mengalami penurunan jumlah pembeli dan omzet usaha. Selain itu, pada Agustus 2020 terjadi peningkatan angka pengangguran sebesar 2,7 juta orang. Pada saat yang sama, rata-rata upah nominal pekerja atau buruh mengalami penurunan sebesar -5,2% dari upah nominal sebelum pandemi.

 

Tingkat Kesejahteraan Menurun Selama Pandemi

Salah satu ukuran kesejahteraan adalah tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita. Pengeluaran rumah tangga dapat menggambarkan daya beli rumah tangga yang sesungguhnya atau kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Gambar 3 menunjukkan perubahan tingkat pengeluaran rumah tangga (dalam %) untuk periode sebelum pandemi (September 2019) sampai selama pandemi (September 2020). Pada Gambar 3, rumah tangga diurutkan menggunakan 100 persentil, mulai dari yang paling miskin (persentil 1) sampai yang paling kaya (persentil 100).

Secara nasional, terlihat bahwa secara rata-rata seluruh rumah tangga mengalami penurunan pengeluaran sebesar -2.3% atau dengan penurunan pengeluaran median -3.1%. Namun, tidak semua rumah tangga mengalami perubahan yang sama. Rumah tangga pada rentang persentil 41–95 mengalami penurunan pengeluaran rata-rata sebesar -4%. Untuk rumah tangga dalam persentil 40 ke bawah, pengeluaran mereka rata-rata turun sebesar -0.4% dengan rumah tangga dalam persentil 5 ke bawah mengalami penurunan cukup besar yakni sebesar -1% sampai -1.6%. Sedangkan pada periode ini, rumah tangga pada persentil 95 ke atas mengalami peningkatan tingkat kesejahteraan sebesar 2% sampai 5%.

Jika dibagi berdasarkan wilayah, pola pada Gambar 3 juga terjadi pada wilayah perkotaan dan perdesaan. Namun, penurunan pengeluaran rumah tangga di wilayah perkotaan relatif lebih besar dibandingkan rumah tangga di wilayah perdesaan. Hal ini terjadi karena rumah tangga di wilayah perkotaan relatif lebih terdampak oleh pandemi dibandingkan dengan rumah tangga di wilayah perdesaan.

 

Siapa Jatuh Miskin, Siapa Naik Kelas?

Untuk melihat rumah tangga mana yang jatuh ke bawah garis kemiskinan, diperlukan data yang memiliki informasi dua titik waktu dari rumah tangga yang sama. Rumah tangga dan individu yang disurvei pada Susenas September 2020 dan Susenas Maret 2020 adalah rumah tangga dan individu yang sama. Maka dari itu, data ini dapat menunjukkan perubahan peringkat dari seorang individu atau rumah tangga berdasarkan kelas kesejahteraan. Kelas kesejahteraan ini sendiri dibagi menjadi lima, yakni rumah tangga miskin (poor), rentan miskin (vulnerable), calon kelas menengah (aspiring middle class), kelas menengah (middle class), dan kelas atas (upper class) (World Bank, 2019). Gambar 4 menunjukkan dinamika perubahan tingkat kesejahteraan dari Maret sampai September 2020 berdasarkan jumlah individu.

Dari Gambar 4, dapat dilihat bahwa jumlah individu miskin bertambah dari Maret sampai September 2020. Separuh dari individu yang tinggal di rumah tangga miskin pada September 2020 adalah mereka yang juga berada di bawah garis kemiskinan pada Maret 2020, sedangkan separuhnya lagi berasal dari rumah tangga yang rentan miskin pada bulan Maret 2020. Kabar baiknya, sebanyak 40% orang miskin pada Maret 2020 keluar dari kemiskinan, namun hanya naik menjadi kelompok rentan miskin pada September 2020. Dari kelompok rentan miskin pada Maret 2020, separuhnya tetap rentan miskin pada September 2020 dan seperempatnya berhasil naik kelas menjadi kelompok calon kelas menengah.

Dinamika juga terjadi di kelompok kelas menengah. Sebanyak 16% kelompok calon kelas menengah pada Maret 2020 turun kelas menjadi kelompok rentan miskin pada September 2020, 9% naik menjadi kelompok kelas menengah pada September 2020, dan sebagian besar sisanya tetap berada di kelas yang sama pada September 2020. Sebesar 40% dari kelompok kelas menengah turun dan masuk ke dalam kelompok calon kelas menengah dan hanya 1% yang naik menjadi kelompok kelas teratas. Sepertiga dari kelompok kelas teratas tetap pada kelompok yang sama, sedangkan dua-pertiganya berganti posisi dengan rumah tangga dari kelompok kelas menengah.

 

Cara Bertahan (Coping Mechanism) Rumah Tangga Selama Krisis

Dari penjelasan di atas terdapat bukti bahwa tingkat kesejahteraan sebagian besar rumah tangga di Indonesia menurun selama krisis akibat pandemi COVID-19. Untuk mencukupi kebutuhan hidup selama pandemi, beberapa strategi diterapkan oleh rumah tangga. Gambar 5 menunjukkan beberapa coping mechanism yang umum dilakukan untuk mengatasi penurunan kesejahteraan. Cara yang paling umum dilakukan rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari antara lain dengan menjual atau menggadaikan barang, mengurangi pengeluaran nonmakanan, meminjam uang kepada kerabat, mengurangi pengeluaran makanan, dan mekanisme lainnya. Hanya 15% rumah tangga yang melaporkan bahwa kebutuhan hidup mereka sudah terpenuhi.

Banyak faktor memengaruhi kemampuan rumah tangga dalam mengatasi krisis; salah satunya adalah adanya tabungan (berupa uang yang mudah dicairkan) atau barang (yang mudah dijual atau digadaikan). Gambar 6 menunjukkan proporsi kepemilikan tabungan uang atau barang rumah tangga secara nasional. Sebanyak 51% rumah tangga di Indonesia tidak memiliki tabungan uang ataupun barang. Sementara itu, 14% rumah tangga memiliki tabungan yang dapat mencukupi kebutuhan keluarga selama lebih dari 6 bulan, 10% memiliki tabungan yang dapat mencukupi kebutuhan selama kurang dari sebulan, dan selebihnya memiliki tabungan yang dapat mencukupi kebutuhan selama 1–6 bulan.

Gambar 5. Beberapa coping mechanism yang dilakukan sejak April 2020 dalam mengelola kebutuhan saat krisis. Sumber: Survei Rumah Tangga 2020.

Gambar 6. Kepemilikan tabungan atau barang. Sumber: Survei Rumah Tangga 2020.

 

Bantuan Sosial Sebagai Pengurang Beban Pengeluaran

Selain usaha coping mechanism dari rumah tangga sendiri, selama 2020 pemerintah juga telah menyalurkan sejumlah program perlindungan sosial baik dalam bentuk subsidi maupun uang tunai atau bantuan sosial (bansos) sebagai bagian dari Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Hasil Survei Rumah Tangga 2020 menunjukkan bahwa 85% rumah tangga menerima setidaknya satu program bantuan dari pemerintah. Sementara itu, 95% dari rumah tangga di persentil 20 ke bawah mendapatkan bantuan tersebut.[2]

Empat program besar berupa bantuan tunai, yakni Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), BLT Dana Desa (BLT DD), dan Bantuan Sosial Tunai (BST), digunakan untuk memudahkan penghitungan dalam mengukur kecukupan nilai program bantuan. Empat program tersebut mencakup setidaknya 35 juta atau 50% rumah tangga.

Gambar 7 menunjukkan cakupan program bansos dari data Susenas September 2020. Sebanyak 69% rumah tangga termiskin di wilayah perkotaan dan 76% rumah tangga termiskin di wilayah perdesaan menerima setidaknya satu bantuan sosial. Rumah tangga yang lebih miskin memiliki proporsi lebih tinggi sebagai penerima bantuan dibandingkan rumah tangga yang lebih kaya. Pola ini terjadi karena program bansos selama ini memang menarget rumah tangga miskin.


Gambar 7. Cakupan program bantuan sosial. Sumber: Susenas, diolah.

 

Sementara itu, Gambar 8 menunjukkan rata-rata kecukupan nilai bantuan sosial terhadap pengeluaran rumah tangga berdasarkan peringkat desil pengeluaran rumah tangga pada Maret 2020. Jika empat besar program bansos tunai di atas dikombinasikan, nilai bantuan sosial bernilai sebesar 21% dari total pengeluaran rumah tangga termiskin di wilayah perdesaan dan bernilai sebesar 18% untuk rumah tangga termiskin di wilayah perkotaan. Makin kaya sebuah rumah tangga, relatif makin berkurang proporsi manfaat bantuan sosial yang dirasakan. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat relatif bansos untuk rumah tangga miskin relatif lebih besar.


Gambar 8. Kecukupan nilai bantuan sosial (empat program besar) terhadap pengeluaran rumah tangga berdasarkan desil Sumber: Susenas, diolah.

Selain itu, dari Survei Rumah Tangga 2020, 67% rumah tangga penerima bantuan secara subjektif menyatakan bahwa bantuan yang mereka terima sangat bermanfaat. Di antara penerima bantuan kombinasi tiga hingga empat program, 80% sampai 86% rumah tangga menyatakan bantuan yang mereka terima sangat bermanfaat.

 

Tantangan Pemulihan

Dari status terkini (per 15 Juli 2021), kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Menanggapi hal ini, Bank Indonesia bahkan sampai menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2021 dari 4%–5% menjadi 3,8%. Salah satu langkah utama yang harus diambil oleh pemerintah untuk mengendalikan pandemi adalah mempercepat vaksinasi secara nasional. Selain itu, bantuan sosial masih sangat diperlukan untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga, terutama rumah tangga miskin, dalam situasi krisis saat ini.

Secara sederhana, ada tiga langkah yang dapat diambil pemerintah untuk meningkatkan efektivitas bantuan sosial.

Pertama, pemerintah bisa memperbesar nilai bantuan. Misalnya, nilai bantuan dapat diperbesar dari rata-rata Rp300.000 per bulan per rumah tangga pada 2020 menjadi Rp600.000 per bulan per rumah tangga pada 2021. Pada 2020, rata-rata nilai bantuan sosial tunai periode April–Juni sebenarnya sudah sebesar Rp600.000 per bulan, tetapi pada periode Juli–Desember nilai bantuan ini turun menjadi Rp300.000 per bulan per rumah tangga. Angka nominal ini dinilai kurang memadai mengingat beban rumah tangga makin berat selama krisis berkepanjangan akibat pandemi. Sebagai perbandingan, rata-rata garis kemiskinan nasional adalah Rp2.216.714 per rumah tangga miskin per bulan. Untuk menambah nilai bantuan, satu program dapat saling melengkapi atau dikombinasikan dengan program lain untuk memperbesar dampak program terhadap pengeluaran rumah tangga.

Kedua, pemerintah dapat memperluas cakupan program-program perlindungan sosial yang telah ada, terutama untuk rumah tangga miskin dan rentan miskin yang belum tercakup bantuan sosial mana pun. Gambar 7 menunjukkan bahwa sekitar 25%–30% dari 10% rumah tangga termiskin tidak menerima satu program bantuan sosial pun. Angka rumah tangga yang tidak tercakup juga masih cukup besar untuk 40% rumah tangga termiskin. Untuk keperluan ini, perbaikan pangkalan data rumah tangga miskin, rentan miskin, dan yang terdampak pandemi pun menjadi krusial karena pangkalan data yang baik menentukan tepat sasaran dan berhasil atau tidaknya sebuah program.

Ketiga, pemerintah perlu memastikan tersalurkannya program bantuan sosial secara tepat waktu, yakni sebelum dampak krisis menjadi terlalu besar terhadap rumah tangga. Ketepatan sasaran dan ketepatan waktu penyaluran bantuan menjadi kunci efektivitas program dalam menanggulangi penurunan kesejahteraan rumah tangga.

 

[1]UNICEF, UNDP, Prospera, dan SMERU (2021) ‘Analysis of the Social and Economic Impacts of COVID-19 on Households and Strategic Policy Recommendations for Indonesia.’ Laporan Penelitian. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.

[2]UNICEF, UNDP, Prospera, dan SMERU (2021) ‘Analysis of the Social and Economic Impacts of COVID-19 on Households and Strategic Policy Recommendations for Indonesia.’ Laporan Penelitian. Jakarta: The SMERU Research Institute. Program bantuan yang tercakup adalah Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sembako/BPNT, BLT Dana Desa, Bantuan Sosial Tunai (BST), subsidi listrik, Kartu Pra-Kerja, BLT UMKM, subsidi untuk pekerja bergaji di bawah 5 juta rupiah, pemotongan pajak, bantuan internet, dan penundaan cicilan.

Bagikan laman ini

Penulis

Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.