Buah simalakama subsidi energi: Bagaimana sebaiknya pemerintah melindungi kelompok miskin?

10 Agustus 2022

.

Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia.

.

Per bulan Maret 2022, persentase kemiskinan di Indonesia akhirnya turun di bawah 10 persen, setelah sebelumnya melonjak akibat imbas pandemi COVID-19.

Penurunan kemiskinan ini tak lepas dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkisar di atas 5 persen selama trimester pertama dan kedua tahun ini, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Sebagai salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia, Indonesia mendapatkan untung dari lonjakan harga komoditas di awal tahun 2022 akibat tensi geopolitik Rusia dan Ukraina. Bahkan, Bank Dunia meramalkan perekonomian Indonesia tumbuh 5,1 persen pada 2022 dan 5,3 persen pada 2023.

Pertumbuhan ekonomi pada umumnya mendorong penurunan angka kemiskinan di negara-negara berkembang. Akan tetapi, tingkat pertumbuhan memiliki dampak berbeda di bawah kondisi yang berbeda, tergantung pada sejauh mana orang miskin berpartisipasi dalam proses pertumbuhan dan mendapatkan hasilnya.

Sayangnya, kenaikan harga energi menjadi bayang-bayang yang menghantui pertumbuhan ekonomi Indonesia, serta mengancam kesejahteraan mereka yang tak berpunya. Sementara, strategi pemerintah yang mengandalkan subsidi belum tentu bisa menahan gejolak perekonomian yang mungkin muncul dari lonjakan harga energi.

Jika hal ini tidak diatasi, bisa jadi penurunan angka kemiskinan ini bukanlah awal mula dari sebuah tren positif, namun hanya bersifat sementara. Kami melihat program bantuan jangka panjang dan realokasi subsidi dapat menjawab tantangan ini.

 

Harga energi naik, anggaran subsidi membengkak

Per 1 Juli 2022, pemerintah menaikkan tarif dasar listrik dari Rp 1.447 menjadi Rp 1.669.

Kenaikan harga batu bara menjadi faktor utama dalam kenaikan tarif tersebut. Hal ini berujung pada naiknya ongkos produksi listrik PLN dan memicu kenaikan tarif listrik untuk rumah tangga. Lonjakan harga minyak saat ini juga membebani Indonesia sebagai net importer (impor lebih banyak daripada ekspor) minyak mentah, sehingga mendongkrak harga BBM dalam negeri.

Untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintah menambahkan anggaran subsidi dan kompensasi energi dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dari Rp 152,5 triliun menjadi Rp 349,9 triliun. Anggaran subsidi ini turut mencakup subsidi BBM, listrik dan LPG. Tambahan kompensasi terbesar ditujukan untuk BBM, meroket dari yang sebelumnya Rp 18,5 triliun menjadi Rp 234 triliun.

Akan tetapi, sampai kapan Indonesia bisa menahan gejolak harga minyak dengan subsidi?

 

Kebijakan subsidi tidak berkelanjutan

Menurut kami, keberlanjutan dari kebijakan subsidi ini sulit tercapai mengingat tidak ada jaminan bahwa keuntungan yang didapat oleh Indonesia dari peningkatan harga komoditas lainnya, seperti batu bara, akan dapat berlangsung lama.

Laporan Bank Dunia mengenai prospek ekonomi Indonesia, terbit pada Juni 2022, menyampaikan hal serupa. Menurut temuan dalam laporan tersebut, subsidi energi lebih menguntungkan rumah tangga kalangan menengah dan atas. Pasalnya, golongan inilah yang mendominasi konsumsi bahan bakar, menyerap sekitar 42%-73% subsidi BBM.

Menimbang hal-hal tersebut, Bank Dunia mendorong pengalihan subsidi kepada bantuan sosial untuk masyarakat miskin, rentan, dan kalangan calon kelas menengah. Pengalihan ini juga dapat mengefisienkan fiskal negara.

Kebijakan subsidi energi juga bertolak belakang dengan upaya pemerintah untuk menekan jumlah subsidi, terutama subsidi BBM.

Sebagai contoh, pemerintah menghapus subsidi BBM untuk jenis Premium dan menetapkan subsidi tetap untuk minyak tanah dan solar pada 2014. Selain itu, pemerintah pun sejak 2008 telah mengembangkan biodiesel dan, sejak 2016, mulai gencar mengejar campuran biodiesel sebesar 30% (B30) dalam BBM, guna meningkatkan ketahanan energi serta mengurangi konsumsi dan impor bahan bakar.

Mengingat kebijakan yang cenderung tidak berkelanjutan dan misi pemerintah untuk berhenti menambal selisih harga, pemerintah sebaiknya melakukan realokasi subsidi saat ini untuk menunjang masyarakat miskin daripada menambah anggaran subsidi. Namun, realokasi tersebut harus dilakukan secara matang.

 

Pemerintah perlu pastikan subsidi tepat guna dan tepat sasaran

Studi yang pernah dilakukan SMERU tentang reorientasi kebijakan subsidi merekomendasikan program jangka panjang, seperti program jaminan sosial, sebagai bantuan bagi masyarakat paling miskin yang tidak mampu bekerja produktif. Studi tersebut menemukan bahwa program sesaat cenderung menimbulkan kesulitan dan kerawanan atau konflik sosial di tingkat masyarakat.

Pemerintah juga perlu selektif dalam menentukan jenis bantuan sosial yang menjadi sasaran peralihan subsidi BBM.

Studi jangka panjang SMERU pada periode 2014–2020 menemukan bahwa program bantuan tunai tidak bersyarat, seperti Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS), memberikan ruang yang lebih luas bagi rumah tangga sasaran dalam mengalokasikan dana yang diterima pada pos-pos pengeluaran prioritas. Pemerintah daerah pun dapat ikut serta dengan melakukan inovasi-inovasi program perlindungan sosial yang dirancang sesuai dengan karakteristik kemiskinan dan penghidupan masyarakat daerah setempat.

Berdasarkan studi yang sama, kami melihat kebijakan realokasi juga harus memperhatikan perspektif gender. Hal ini mengingat dampak kebijakan subsidi BBM berbeda antara laki-laki dan perempuan, terutama mengingat meningkatnya peran perempuan sebagai kepala keluarga, dengan kapasitas dan karakteristik pengelolaan risiko yang berbeda dengan keluarga yang dikepalai laki-laki.

Oleh sebab itu, pemerintah dapat merancang program perlindungan sosial yang ditargetkan khusus kepada perempuan miskin. Misalnya, pemerintah dapat memberikan subsidi biaya siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk anak yang berasal dari keluarga miskin. Hal ini dilakukan untuk menggantikan peran pengasuhan anak yang tidak berjalan optimal pada keluarga miskin yang kedua orang tuanya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Dalam pelaksanaannya, pemerintah perlu memutakhirkan basis data yang konsisten dan akurat melalui mekanisme yang sistematis dan tersosialisasi.

Studi kami menilai bahwa mekanisme musyawarah desa berpotensi tinggi untuk meningkatkan akurasi dari basis data yang digunakan pemerintah pusat. Namun, diperlukan pendampingan dan peningkatan kapasitas tenaga kesejahteraan sosial kecamatan.

Pemerintah juga perlu memperhatikan ketepatan waktu pelaksanaan pencairan bantuan agar manfaat dari bantuan bertepatan dengan terjadinya guncangan akibat perubahan kebijakan subsidi BBM.

Walaupun belum ada rencana untuk mengalihkan subsidi energi ke perlindungan sosial, namun Kementerian Keuangan telah memberi sinyal bakal menghapus kebijakan subsidi BBM dan listrik.

Ke depannya, untuk mempertahankan capaian penurunan kemiskinan saat ini, pemerintah perlu memikirkan bagaimana membuat subsidi saat ini lebih optimal sehingga dapat membantu masyarakat miskin di tengah ketidakstabilan ekonomi global.

Bagikan laman ini

Penulis

Peneliti Junior
Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.
Peneliti Senior
Penafian:
Posting blog SMERU mencerminkan pandangan penulis dan tidak niscaya mewakili pandangan organisasi atau penyandang dananya.